Alangkah Baiknya Jika Drama Korea Itu Sekadar Urusan Yang-yangan Semata

korea-lover.com

“Industri pertelevisian sudah lesu” agaknya menjadi sesuatu yang terlalu sering digaungkan oleh media pemberitaan akhir-akhir ini. Tapi, apakah kenyataannya memang seperti itu? Mungkin “ya” bagi Indonesia, tapi bisa juga “tidak” untuk negara lain.

Paragraf di atas memang terlalu konyol, meskipun memberikan gambaran nyata bahwa ada sesuatu yang salah dan, sayangnya, tidak disadari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Di sana ada pertanyaan, di sana pula disuguhkan jawaban, aneh memang. Ketika menyalakan televisi misalnya, bisa dipastikan jika yang dicari adalah tayangan-tayangan berbau hiburan. Bahkan, demi hiburan itu sendiri banyak dari masyaqtakat Indonesia yang memilih untuk berlangganan siaran digital. Kira-kira seperti itu—di situ masalahnya, di situ pulalah jawabannya.

Di 2018 ini, tentunya HBO, Cartoon Network, National Geography, bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat urban. Tapi, bagaimana dengan KBS, TVN, atau Arirang yang seharusnya masih berada jauh dari angan-angan. Kira-kira berapa banyakkah jumlah masyarakat urban yang menyebut KBS sebagai kependekan dari Kebun Binatang Surabaya? TVN sebagai Televisi Nasional (sepertinya yang ini agak mengada-ada)? Atau siapa yang tidak tahu apa itu Arirang?

Aneh memang, dari sekian banyak kanal televisi digital di Asia, mengapa hanya kanal dari Korea Selatan yang disediakan oleh operator Indonesia? Mengapa bukan Hunan TV, atau GMM TV mungkin? Lalu, apakah di Korea Selatan sendiri ada yang menonton RCTI, SCTV, Indosiar, dan sebagainya, dan sebagainya itu? Apakah di Korea Selatan sana ada anak yang menangisi kematian Boy (diperankan oleh Stefan William), sampai membuat presiden pribadi pun turun tangan ikut menenangkan?

Itulah “kekuatan drama”. Sesuatu yang, sayangnya, dimanfaatkan secara salah di masyarakat kita. Seperti disinggung sebelumnya, masyarakat urban rela menyeberang jauh sampai ke Korea Selatan hanya demi hiburan (secara harfiah ataupun kiasan). Semua serbahiburan. Oppaoppa tampan, noonanoona cantik, musik jingkrak-jingkrak, tarian-tarian energik, lirik-lirik yang susah diucapkan, dan sejenisnya. Bukan sesuatu yang berbau seperti BBC, CNN, Metro TV, ataupun TV One. Sedikit banyak, mungkin, itulah yang membuat industri pertelevisian kita mangkrak: hiburan ala Korea Selatan. Masyarakat berlangganan televisi digital karena hiburan, ya, hiburan yang semacam itu.

Dari titik ini, saya tidak ingin menggiring siapa pun ke bahasan korporasi, kapitalisme, atau apa pun yang kedengaran seperti itu. Saya lebih ingin menggiring semuanya ke “kekuatan drama Korea” dengan segala mantranya yang membuat cowok-cowok sekalipun memaksakan diri menontonnya.

Mari kita mulai dengan pertanyaan: kira-kira berapa banyak cewek Indonesia yang membayangkan diri menjadi wolnam saban kali menjumpai oppa tampan?

Saya kira banyak yang berkeinginan menjadi wolnam dan mungkin jumlahnya akan terus bertambah seiring makin mudahnya manusia berpindah tempat. Dan, mungkin, di suatu pagi yang cerah nanti akan ada seorang menteri yang mengumumkan anjuran, atau peringatan, akan bahaya tayangan drama Korea, persis seperti yang dilakukan oleh seorang menteri di Tiongkok ketika Descendant of the Sun tayang di sana.

Begitulah kira-kira sedikit gambaran kekuatan drama Korea, yang sanggup memukul sisi terlemah patriarki, tepat di pusatnya.

Saya ingin memulainya dari School Series. Salah satu yang paling populer—karena mempertemukan kembali pasangan fenomenal Choi Daniel dan Jang Na–ra—adalah seri pertamanya: School 2013. Akan lebih baik jika drama ini didominasi oleh adegan-adegan percintaan antara guru beridealisme sosialis dan guru beridealisme kapitalis. Akan lebih baik jika drama ini dikuasai oleh anak-anak SMA yang saling pegang tangan, saling peluk, saling kecup. Tapi, kenyataannya ….

Dengarkan saja theme song-nya; Kim Bo–kyung menyanyikan Blue Frog. Liriknya dipenuhi kisah seorang murid yang mengenang kisah masa sekolahnya. Bagaimana dia membenci gurunya yang suka marah-marah, tapi lambat laun disadarinya sebagai tindakan sayang dari sang guru yang tidak ingin muridnya mengambil langkah yang salah. Bagaimana penyesalan itu mendorong si murid untuk meminta maaf kepada sang guru. Tragis, bukan?

Dramanya sendiri tidak berbeda jauh dari theme song-nya. Meskipun begitu, nilai ketragisannya tidak bisa dibandingkan dengan kisah dalam lagu yang lebih personal. School 2013 melangkah terlampau ke dalam ranah yang biasanya lebih ingin dihindari: kebobrokan sistem. Dalam drama ini, penonton dibawa ke hadapan sang kepala sekolah yang saking tidak ingin direpotkan dengan keberadaan pelajar-pelajar badung mengupayakan sebuah konspirasi untuk menyingkarkan pelajar-pelajar yang dimaksud dari sekolah. Sederhana memang kelihatannya, bahkan mungkin tidak hanya akan didukung oleh dewan sekolah, tapi juga para orang tua di dunia nyata. Buat apa membiarkan anak-anak berada satu ruangan dengan pembuat masalah, mengganggu belajar mereka saja. Tapi, di satu sisi, kehadiran seorang guru Jung In–jae (diperankan oleh Jang Na–ra) membuat kita berpikir apakah tepat mengusir pelajar-pelajar seperti itu dari sekolah tanpa mengupayakan apa pun. Di situlah, di antara ancaman pemecatan dari kepala sekolah dan upaya pelaporan ke Dewan Pendidikan, Jung In–jae memasang badan demi pelajar-pelajar badung yang dinilainya masih punya kesempatan. Bahkan, idealismenya menular ke guru lainnya, Kang Se–chan (diperankan oleh Choi Daniel), yang sebenarnya ditugaskan oleh kepala sekolah untuk melakukan yang sebaliknya.

Seperti halnya hal-hal klise, seperti itu pulalah dramanya. Mereka yang dinilai buruk belajar menjadi baik dan mereka yang baik belajar untuk mendengarkan. School 2013 tidak hanya berhenti dari sekadar tayangan hiburan. Ia menasbihkan dirinya sendiri bersama deretan drama-drama sekolah lain untuk menghentikan penyalahgunaan wewenang para petinggi sekolah, tekanan dewan sekolah yang tidak memberi ruang bagi pelajar-pelajar ranking bawah untuk menuntaskan pendidikannya.

Dari drama ini, kita bisa melihat bagaimana kemudian Korea Selatan berbenah dengan sistem pendidikannya. Meskipun begitu, School 2015 kembali menunjukkan bagian mana saja yang masih tidak sesuai. Rokok, palak-memalak, perundungan, bunuh diri, menjadi sorotan yang tidak hanya diperhatikan oleh para aktor dan aktris yang melakoni perannya, tapi juga oleh media, dalam dan luar negeri.

Tidakkah ini kemudian bisa disebut “kekuatan drama Korea”?

Tahun 2017, School Series kembali dengan cerita yang lebih menonjolkan romansa. Apakah artinya memang sudah terjadi perubahan pada sistem pendidikan sehingga tidak memberikan banyak ruang untuk kritisi, ataukah kita harus menunggu seri 2019 untuk mengetahui bahwa yang sebenarnya terjadi bukanlah sesuatu yang sebaliknya?

2013, 2015, 2017, apakah ini observasi penelitian ilmiah? Terkadang saya mempertanyakannya kepada diri sendiri: mengapa para pekerja seni ini membuat sesuatu yang seperti ini, dan laku, dan berhasil dengan caranya sendiri untuk membuat perubahan di sistem pendidikan Korea Selatan? Di mana letak perbedaannya?

Betapa tidak masuk akal (?).

Tentunya sistem pendidikan bukanlah satu-satunya yang bermasalah di negara itu. Pinocchio, Queen of Mystery musim pertama dan kedua, Prosecutor Princess, Mad Dog, adalah sedikit dari drama-drama yang mempertontonkan kebobrokan sistem hukum dan undang-undang. Terkadang, saya bersyukur bahwa saya bukan bagian dari Korea Selatan. Rasa ini tentu saja datang di akhir setiap episode perdana. Bayangkan, bagaimana seandainya kita menjadi korban kasus pidana berat di mana saksi polisi yang tidak bisa mengupayakan apa pun karena tidak adanya surat perintah pengadilan? Bagaimana rasanya mengetahui sang tersangka bebas berkeliaran hanya karena obrolan singkat sang pengacara yang mengandalkan koneksi ke berbagai pihak? Apakah kita bersedia menunggu salah satu anggota keluarga terkecil kita mengorbankan dirinya untuk menangani kasus kita di masa yang akan datang? Seperti Choi Dal–po (diperankan oleh Lee Jeong–sook) yang memutuskan menjadi seorang jurnalis demi membersihkan nama ayahnya yang dituduh sebagai pelaku pembakaran pabrik yang menelan korban jiwa, atau seperti Seo In–woo (diperankan oleh Park Si–hoo) yang memutuskan menjadi seorang pengacara demi membersihkan nama ayahnya yang dituduh sebagai pelaku pembunuhan?

US$80.00 atau sekitar Rp1.000.000,00, itulah angka yang disebutkan dalam Queen of Mystery apabila seorang petugas berhasil menyelesaikan satu kasus pidana. Tiga kali lipat memang dari honor penulis BasaBasi.co. Tapi, tetap saja, satu mempertaruhkan nyawa, sementara satu lainnya mempertaruhkan waktu tidurnya. Belum lagi jika bertemu polisi-polisi seperti Ha Seung–woo (diperankan oleh Kwon Sang–woo) di episode-episode perdananya. Betapa tidak beruntungnya dirimu.

Terkadang, apa yang mereka lakukan mengingatkan saya pada uji bau sianida yang dicampur kopi. Pertanyaan-pertanyaan menyerang kepala saya secara bergantian. Bagaimana mereka bisa mencium aroma almond jika setiap kali masuk mal, tiga lantainya tercemari oleh baru roti Boy yang baru keluar oven? Bagaimana bisa mereka melakukan uji seberbahaya itu di depan publik? Apakah mereka tidak mempertimbangkan keselamatan warga sipil? Sianida tidak hanya berbahaya ketika ditelan, tetapi juga ketika disentuh. Tidakkah mereka mempertimbangkan itu? Ke mana mereka akan membuang bahan seperti itu, yang sudah bercampur kopi? Ke bak cuci piring? Lalu, bak cuci itu dipakai mencuci piranti makan? Jadi, mereka mengharapkan bahan sekeras itu melukai tangan si pencuci piring? Menempel di piranti makan dan mengontaminasi tubuh pelanggan kafe berikutnya yang berkunjung? Tahukah mereka jika itu bisa menyebabkan kanker? Atau, pertanyaan sederhananya, apakah petugas yang melakukan uji itu tahu bagaimana bau almond? Almond segar merupakan bahan yang langka dan mahal. Satu-satunya cara termudah mendapatkan almond adalah dari produk cokelat import dan tentu saja bau almond-nya sudah tersamarkan oleh bau susu yang menjadi bahan campurannya. Lalu, bisakah pernyataan petugas, yang kira-kira sama-sama tidak pernah menjumpai almond segar, yang melakukan uji bau di tengah area makan, di antara berbagai aroma menyengat makanan baru matang, dipercaya kesahihannya? Tapi, kenyataannya tidak ada yang memperdebatkan itu, sekalipun semuanya salah, seperti yang selalu dikatakan Yoo Seol–ok (diperankan oleh Choi Kang–hee) kepada Ha Seung–woo yang asal cepat selesai, asal dapat uang, asal dapat promosi.

Betapa mengerikannya “kekuatan drama Korea” itu. Di satu sisi, ia bisa membuatmu menjadi seorang paranoid. Tapi, di sisi lainnya, ia melatih kemampuan berpikirmu. Kita tidak hidup dalam manga Gosho Aoyama, yang menganggap wajar ujicoba di hadapan publik. Kita hidup di dunia yang membutuhkan faktor laboratorium untuk mencapai makna “sahih”. Kita mendapatkannya dari Tunnel. Laboratorium forensik sama pentingnya dengan kecakapan lari seorang polisi ketika menangkap penjahat.

Tapi, kenyataannya, ada yang lebih mengerikan dari sekadar “kekuatan drama Korea”. Ia adalah seorang anak yang menangisi kematian Boy, yang menurut rumor, aktor yang memerankannya dipecat di dunia nyata. Entah benar atau tidak, hal itu sedikit banyak menunjukkan kegagalan kita dalam mengisi kanal-kanal televisi. Kita terbukti tidak sanggup menolak sihir pundi-pundi keuntungan dan membiarkan generasi-generasi anak yang menangisi kematian Boy dengan urusan pacaran, menikah, punya anak, menyemprot jomblo di ruang publik, menodong setiap lajang dengan pertanyaan “Kapan nikah?”, dan sebagainya, dan sebagainya. Kita tidak punya keberanian seperti yang dimiliki oleh para pekerja seni Korea Selatan yang menjerumuskan generasi mudanya dalam kolam tanpa dasar kritik dan kontrol sosial. Sesuatu yang hanya kita miliki dalam omongan Seno Gumira Ajidarma: Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.

Di suatu laman obrolan Facebook, saya pernah membaca komentar yang menyebutkan tentang ke-alay-an pemuja selebritas Korea Selatan. Siapa pun dia, pastilah tidak memiliki kesadaran bahwa manusia itu menua. Di antara itu, tentu saja, manusia juga akan bertambah dewasa. Mungkin, hari ini dia hanyalah alay yang menggunjingkan ketampanan dan kecantikan selebritas Korea Selatan dalam drama yang ditontonnya, tapi besok mungkin dia akan membicarakan soal cerita-cerita drama tadi sehingga lusanya dia bisa mendengar bagaimana para pekerja seni Korea Selatan ini menjerit: inilah Korea Selatan dan saat ini kami putus asa.

Drama Korea sebagai bentuk kritik dan kontrol sosial, itulah yang saya percaya di hari ini. Meskipun sebenarnya saya masih ingin menjadi alay yang mendiskusikan bagaimana para hyung itu bisa terlihat begitu flawless di hadapan kamera HD dan perawatan kulit macam apa yang dilakukannya.

Korean madness adalah keniscayaan. Tidak bisa dipungkiri, kita sudah tidak mempunyai tenaga untuk membendungnya. Saya pun sudah menyerah padanya, tapi seperti halnya puisi Na Tae–joo yang dibacakan Lee Jeong–sook di School 2013 dan Hwang Min–hyun di Weekly Idol, seperti itulah “kekuatan drama Korea”.

Bunga Liar, oleh Na Tae–joo

Kau harus melihatnya dari jarak dekat

supaya tahu betapa ia terlihat cantik

Kau harus melihatnya sedikit lebih lama

supaya tahu betapa ia terlihat memesona

Dirimu juga adalah sesuatu yang sama[1] (*)

Blitar, 20 Maret 2018

 

Catatan:

[1] Merupakan versi terjemahan bebas dari penulis

W.N. Rahman

Comments

  1. Indri Reply

    👏👏👏👏 harapanku terhadap industri pertelevisian negeriku

  2. X Reply

    Bukannya seri “School” yang pertama tahun 1999, ya?

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!