Tinggal di Musim Penghujan di Bandar Dalam Mungkin Akan Membuatmu Bosan Makan Ini

Tinggal di Musim Penghujan di Bandar Dalam Mungkin Akan Membuatmu Bosan Makan Ini
Tinggal di Musim Penghujan di Bandar Dalam. Sumber gambar: dok. Penulis

Pekon (Desa) Bandar Dalam adalah salah satu dari empat pekon terisolasi di pesisir barat Provinsi Lampung. Terletak di Kecamatan Bengkunat Belimbing, Kabupaten Pesisir Barat, desa ini memang berada di daerah pantai, tapi hal tersebut tidak lantas membuatnya mudah diakses. Sejak beberapa tahun yang lalu, permukaan air laut selalu tinggi dengan ombak yang relatif beringas dan berkejaran tanpa henti. Di jam-jam tertentu (masyarakat lokal menggunakan perhitungan tertentu untuk menentukannya) laut relatif tenang. Masyarakat umumnya akan mulai bepergian di jam-jam ini. Selain ombaknya yang ganas, pantai berkarangnya juga hanya memungkinkan perahu nelayan kecil untuk bisa mendarat. Meski terletak di pesisir, hanya sedikit dari masyarakat lokal yang berprofesi sebagai nelayan—apalagi kalau bukan karena keganasan lautnya. Di musim-musim tertentu saat laut relatif lebih tenang, beberapa nelayan akan menyeberang ke Pulau Betuah untuk mencari lobster dan hasil laut lainnya. Kebanyakan masyarakat lebih memilih untuk memancing di pinggir laut atau muara dan memasang jala daripada melaut.

Selama lima bulan tinggal di Bandar Dalam, saya mengalami lebih banyak hari berhujan daripada tidak. Tak bisa dibilang juga saya sering makan ikan, meski saya berkesempatan mencicipi, salah satunya adalah ikan simba. Justru, seringnya saya makan sayur-sayuran yang sangat jarang saya makan di tanah Jawa. Terutama saat musim penghujan, dengan curah hujan yang tinggi (lebih dari 2.000 mm/tahun)[1], para tukang gerobak sapi dan tukang ojek yang biasanya membawa sayur-mayur dari Pasar Way Heni di Pekon Sumber Rejo, urung membawanya. Perjalanan yang tidak mudah melewati pantai berpasir–berkarang dan jalanan berlumpur di pinggir hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, (apalagi jika hujan turun dan tak memungkinkan untuk meneruskan perjalanan sehingga mereka harus menginap di hutan) membuat sayur-mayur yang dibawa akan rentan busuk di jalan. Oleh karena itu, masyarakat lokal bertahan hidup dengan sayuran yang bisa didapatkan dari dalam desa itu sendiri.

Di saat hujan datang terus-menerus selama berhari-hari, masyarakat lokal akan makan makanan seadanya. Tak jarang, yang dimasak setiap hari itu-itu saja. Di satu titik, hal ini akan melewati batas marginal dan membuat para pelahapnya bosan. Berikut adalah beberapa bahan makanan yang mungkin akan membuatmu bosan jika kamu tinggal di Bandar Dalam di paruh terakhir tahun 2016 yang penuh hujan:

 

Tangkil (melinjo)

Ini bukan kali pertama saya makan sayur melinjo. Di tanah Jawa, saya sering menjumpai kulit luarnya yang sudah merah di dalam sayur asem. Tapi bagaimana jika yang disayur bukan cuma kulitnya, tapi seluruh biji, bahkan juga daun dan pentil buahnya yang masih bergelantungan di tangkai?

Di Bandar Dalam, awal musim penghujan atau sekitar bulan Agustus menandai awal musim tangkil. Hampir setiap hari sebagian masyarakat akan memasak tangkil. Andalannya adalah dimasak dengan santan; masakan ini disebut gulai taboh. Bukan hanya tangkil yang bisa dimasak taboh; ikan, nangka muda, ayam, daging sapi, dan mungkin banyak lagi, bisa dimasak taboh. Bumbunya antara lain, kunyit, cabe, garam, bawang merah, bawang putih. Sedap nian! Apalagi buat pencinta masakan pedas dan asin, masakan khas Lampung pesisir ini akan sangat memanjakan lidah.

Biji tangkil sekaligus kulitnya direbus dulu dengan air biasa, lalu setelah lumayan empuk, baru dicampur dengan bumbu dan santan. Jika belum terbiasa, memakan sayur tangkil ini akan sangat merepotkan. Setelah melahap kulit luarnya yang empuk dan agak berdaging, kamu harus berjuang memecah kulit tengahnya yang keras dengan gigi, mengelupas kulit dalamnya, lalu baru memakan isinya. Jika yang tidak berpengalaman dan tidak belajar dari masyarakat lokal, mungkin tidak paham dan hanya akan memakan kulit luarnya saja.

Kadang-kadang, kulit luar tangkil yang sudah memerah akan dipisahkan dari bijinya dan dimasak tersendiri. Biasanya digunakan sebagai campuran sayur lain, misalnya dimasak oseng-oseng bersama kacang panjang atau kangkung, atau dicampurkan ke dalam mi instan goreng. Sementara itu, biji yang masih berselaputkan kulit dalam akan direbus sampai lumayan empuk, lalu satu per satu dipukul pakai ulek-ulek untuk memecahkan kulit tengahnya. Kulit tengah dan kulit dalam dibuang, sementara bijinya dimasak taboh. Kalau begini, kamu tak akan kerepotan lagi harus mengupas biji tangkil dengan gigi. Kamu hanya tinggal memasukkan biji tangkil ke dalam mulut, mengunyah, dan menelannya. Rasakan juga kenikmatan taboh yang kental, gurih, dan pedas. Tapi untuk memukuli satu per satu melinjo itu… membutuhkan tenaga ekstra.

 

Pepaya

Di tanah Jawa, saya pernah makan daun pepaya, tapi belum pernah makan dengan lauk dari buah pepaya mentah atau pun bunganya. Di Bandar Dalam, jika sayur lain seperti kangkung dan kacang panjang sedang susah diperoleh tapi sedang bosan makan tangkil terus-menerus, maka solusi yang paling mudah adalah memetik buah pepaya yang masih muda dari pohon pepaya di halaman rumah. Oya, di sini, pepaya disebut kates atau gedang (sepertinya sebutan ini terbentuk akibat penyerapan budaya yang dibawa oleh para pendatang Jawa dan Sunda).

Buah pepaya tersebut seringnya akan dimasak oseng-oseng atau dijadikan bakwan. Buah pepaya yang belum matang diparut panjang-panjang dan agak tipis lalu dimasak. Yang unik bagi saya adalah pepaya dibikin bakwan. Biasanya bakwan dibuat dari jagung atau sayuran seperti kol, toge, dan wortel. Namun karena sayuran jenis itu susah didapatkan di sini, para penduduk lokal memanfaatkan pepaya sebagai gantinya. Rasanya? Gurih dan ada manis-manisnya. Lebih enak lagi kalau dimakan dengan cuka yang terbuat dari rebusan gula merah, asam, dengan ulekan cabe dan bawang putih, nyam! Sayangnya, gula merah agak susah didapatkan di sini. Waktu itu saya pernah membantu kakak angkat (saya memanggilnya “Uwo”—sebutan untuk kakak perempuan tertua) memasak bakwan pepaya dan menjualnya saat ada acara di kampung. Dijual dengan harga seribu sebuah, bakwan pepaya ini laris manis!

Lain lagi dengan daun dan bunga pepaya. Kedua bagian pohon pepaya itu terkenal karena rasa pahitnya. Tapi, penduduk lokal punya cara untuk menghilangkan rasa pahitnya, yaitu dengan merebusnya bersamaan dengan daun tertentu. Kedua bahan ini biasanya dimasak oseng-oseng atau dimasak taboh.

Demikianlah aneka masakan dari beberapa bagian tanaman tangkil dan pohon pepaya yang dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Bandar Dalam demi memenuhi kebutuhan nutrisinya saat sayuran lain susah diperoleh. Meski pernah sampai di titik bosan memakan sayur tangkil terus-menerus, kini rindu menghampiri terutama akan rasa gurih–pedasnya taboh dan sensasi memecahkan kulit biji tangkil. Rasanya begitu menyenangkan ketika mendengar bunyi “klethuk” dari kulit yang pecah.[]

[1] Kkji.kp3k.kkp.go.id.

Frida Kurniawati

Comments

  1. sengat ibrahim Reply

    judul tulisan ini tidak begitu diperhatikan oleh penulis dan redaktur. setelah dibaca akan terasa menjanggal dan jelas tak sempurna sebagai kalimat

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!