Budi dan Burhan

ilustrasi budi dan burhan

Hidup sebatang kara adalah kepedihan bagi Wak Amin. Kesepian menjadi ulam pahit yang dari tahun ke tahun ia telan. Selepas kepergian dua anaknya, Wak Amin dililit kesepian. Usia renta adalah karibnya maut. Ia tak ingin sendirian saat malaikat menagih nyawanya. Namun, tanpa Wak Amin tahu, nun jauh di sebuah kota, takdir ternyata berkata lain.

***

“Apa yang paling kalian inginkan, Anak-anakku?” tanya Wak Amin.

“Aku ingin jadi orang kaya,” kata Budi, menepuk dada dengan nada penuh semangat. “Bagaimana caranya menjadi orang kaya?”

Hening. Tak ada tanggapan yang meluncur dari bibir arang Wak Amin. Lelaki setengah baya itu tak menjawab pertanyaan anak bungsunya. Bisa dimengerti mengapa Wak Amin terdiam, sebab ia sendiri bukanlah orang yang kaya, jadi wajar apabila ia tak bisa menerangkan pada anaknya bagaimana menjadi kaya. Ia terdiam cukup lama, hingga akhirnya mata itu beralih tatap pada Burhan, anak tertua sekaligus anak emasnya.

“Dan kau ingin menjadi apa?”

“Aku ingin belajar ilmu agama,” kata Burhan pelan, namun pengucapannya terdengar sangat mantap.

“Kenapa?” tanya Wak Amin.

“Karena aku ingin mengajak Bapak masuk surga,” Burhan menjawab tanpa ragu. “Bagaimana caranya agar kita bisa masuk surga?”

Senyum di wajah Wak Amin serekah matahari. Inilah jawaban yang diharap-harapnya. Ia tahu, tak ada hal lain yang dicintai Burhan selain Tuhan, orang tua, dan agama. Ia bangga. Memang sejak kecil Wak Amin membesarkan anak-anaknya di surau, di mana ia menjadi datuk dan imamnya. Maka dengan sangat lugas, meluncurlah segala nasihat dan wejangan dari mulutnya yang bersikejar dengan kepulan asap tembakau lintingnya. Seperti biasa, nasihat yang hanya ditujukan untuk Burhan. Burhan menyimak, Budi masuk ke bilik tidurnya.

Budi dan Burhan adalah dua kutub yang berseberangan. Jika Burhan fanatik pada ilmu-ilmu agama, Budi justru melakukan ibadah seadanya. Ketika Burhan bercita-cita ingin melanjutkan pendidikannya ke sekolah agama, Budi justru ingin pergi ke kota. Adik dan kakak ini tak pernah memiliki minat yang sama. Keduanya bagai terlahir dari orang tua yang berbeda.

Kerap keresahan terbit di hamparan batin Wak Amin, kenapa Budi tak seperti Burhan. Ia menyayangi Budi, tapi tak pernah melampaui sayangnya terhadap Burhan. Saat Burhan mengutarakan niatnya mendalami ilmu agama, Wak Amin bahagia bukan buatan. Niat mulia memang tak sepantasnya ditentang, pikirnya. Lelaki itu melambungkan angan, kelak Burhan menjadi tokoh agama ternama dan menjelma penerang jalan menuju surga. Ah, muluk benar angan Wak Amin.

Sedangkan Budi, ia bagai anak yang ditirikan. Saat Budi berniat merantau dan menyusuri mimpinya menjadi orang kaya, lelaki itu bungkam. Seperti gunung yang menyimpan lava menggelegak, ia menentang keinginan anak bungsunya dalam diam yang karang. Diamnya Wak Amin menyimpan api kemurkaan. Namun agama melarangnya mengumbar kata-kata buruk, itu sebabnya ia lebih memilih diam. Ia ingat, mendiang istrinya juga tak pernah berlaku kasar pada Budi. Istrinya teramat menyayangi Budi.

“Kau tak perlu merisaukan keinginan Bapak,” kata Burhan. Saat itu, Budi bersedih, sebab bapaknya tak merestui cita-citanya merantau ke kota. Kota adalah muara segala dosa. Tempat bertumpuknya perangkap-perangkap iblis untuk menjerat umat manusia, demikian keyakinan di hati Wak Amin.

“Aku akan pergi,” kata Budi tegas. Tekadnya membaja. “Telah kukatakan pada Bapak, bahwa aku akan kembali dan pasti bisa membuatnya bangga.”

“Apa yang hendak kau lakukan, Budi?”

“Aku akan pergi ke kota dan mencari kerja.”

“Lalu setelah itu?”

“Aku tak akan pulang sebelum berhasil mengumpulkan uang.”

“Untuk apa uang? Uang tak akan bisa menyelamatkanmu dari ganasnya lidah api neraka.”

“Tapi dengan uang, kita bisa menciptakan surga dan menghalau neraka di dunia,” jawab Budi seraya mendengus.

Burhan terdiam. Itu percakapan terakhir mereka. Setelahnya, Budi betul-betul pergi dan Burhan belajar agama pada seorang guru agama, dan dengan begitu ia pun terpaksa meninggalkan bapaknya seorang diri. Bertahun kakak-adik ini berpisah. Budi merantau ke kota, sedangkan Burhan kian dalam menyelami lubuk-lubuk ilmu agama. Bertahun-tahun setelah itu, Wak Amin memamah sepi yang telah menjadi menu utama hidupnya sehari-hari.

***

“Agama itu nyawa. Lakukan semuanya demi agama, jika agama menuntutmu mengorbankan nyawa, maka berikan. Jangan pernah ragu, sebab kematian seperti itu adalah kematian yang terhormat lagi mulia,” khutbah sang guru selepas subuh. Burhan takzim mencerna semua petuah itu dan menjadikannya pedoman.

Di sekolah itu, Burhan ditempa, baik lahir maupun batin. Jiwa belianya bermandikan beragam pemahaman yang membuatnya memandang agama adalah kebenaran mutlak yang wajar dibela. Burhan dijejali buku-buku yang berisi kisah pahlawan-pahlawan agama yang menegakkan ajaran dengan jiwa, raga, dan harta. Burhan pun terilhami.

“Tak ada tiang agama yang ditegakkan tanpa pengorbanan,” ucap sang guru berapi-api, seperti api obor yang berkilau membelah temaram subuh. “Semua butuh tenaga, darah, dan air mata.”

“Caranya bagaimana, Guru?” tanya seorang murid.

“Dengan kesungguhan. Ketahuilah, kehidupan ini sifatnya fana dan surga adalah sebaik-baiknya tempat kembali.”

“Apa imbalan bagi mereka yang berhasil menegakkan tiang agamanya itu, Guru?” tanya Burhan.

“Surga,” jawab sang guru tanpa setitik pun keraguan yang tersirat di mimik wajahnya. “Dan kau bisa menjamin keluargamu masuk surga.”

Jawaban sang guru membuat Burhan terdiam. Sang guru menanamkan dalam-dalam di otak para murid—termasuk Burhan—berpuluh paham-paham radikal. Burhan tersulut, jiwa mudanya terlecut. Dikisahkan pula oleh sang guru betapa di belahan bumi yang lain, saudara-saudara seagama mereka diperkosa, dijajah, dianiaya, dan dibunuh semena-mena.

Burhan perlahan menjadi anak muda yang menutup diri. Di benaknya, semua agama—selain agamanya—adalah kesesatan yang mesti dihabisi. Burhan menabuh genderang perang untuk segala bentuk penistaan yang ditujukan pada keyakinan-keyakinannya. Ia melihat semua manusia telah tersesat dan harus segera ditaubatkan, jikapun tidak bisa, maka jalan kematian adalah solusinya.

Seperti khutbah dari sang guru, bahwa tidak ada perjuangan yang tak membutuhkan pengorbanan. Burhan menentukan apa yang mau ia korbankan. Tentu saja semua ada imbalannya. Imbalannya adalah sesuatu yang paling diinginkannya, yaitu surga. Surga yang akan ia persembahkan untuk keluarganya.

“Kau terpilih,” ucap sang guru pada suatu hari.

“Maksud Guru?”

“Kau yang terbaik, Anakku.” Sang guru mengusap kepala Burhan. “Kau yang paling mampu memahami ajaran-ajaranku.”

Burhan mengangguk. Ia mulai memahami apa yang dibicarakan sang guru. “Aku siap menjadi jembatan surga untuk keluargaku,” kata Burhan tersenyum bangga.

“Bagus. Jangan pernah biarkan keraguan mengurungkan niatmu, Anakku.”

“Aku melakukannya dengan sukacita, Guru,” kata Burhan dengan wajah merah merona. “Tugas ini akan kulakukan dengan ikhlas. Semoga Tuhan membalas semua kemurahan hatimu, Guru.”

“Tentu saja, Anakku, tentu saja. Kini seorang pahlawan telah lahir.”

Sang guru berhasil membeli jiwa Burhan. Dengan sukacita, sang guru membawanya untuk dididik menjadi pejuang agama. Ia diberi gelar indah, “Pengantin Surga”. Betapa bangga dan bahagianya hati Burhan menerima gelar itu. Tak semua murid berhasil mendapatkannya, hanya murid terpilih dan memiliki kesucian hati yang dapat menjadi “Pengantin Surga”.

Di hari-hari selanjutnya, Burhan dilatih menggunakan senjata api, merakit peledak, dan dilatih fisik agar kuat. Ia menjelma prajurit tangguh. Burhan meraih penghargaan tertinggi dan dipilih sebagai pembawa amanah. Burhan bahagia tiada terkira. Waktu yang dijanjikan tiba. Burhan dianggap lulus dengan sangat memuaskan. Satu langkah lagi, maka surga akan menjadi tempatnya berdiri. Ia membayangkan dirinya menjadi jembatan surga bagi adik, ibu, dan bapaknya.

Bagai tiada lagi yang lebih indah dari isi dunia. Burhan merasa dunia hanyalah dusta dan fana. Ia berikrar untuk mengorbankan diri demi kesucian dunia dari noda-noda kotor yang ditebar para pendosa. Ia harus membuat dunia ini lebih beradab, demikian janji Burhan dalam hati.

Bertahun-tahun lamanya, Burhan tak pernah lagi berhubungan dengan bapak dan adiknya. Burhan merasa semua itu tak perlu, sebab kelak di surga ia akan memberi kejutan. Burhan melihat dirinya tegak menanti. Gagah, berdampingan dengan tujuh puluh dua bidadari.

“Selamat jalan, Anakku,” kata sang guru pada petang sesaat sebelum Burhan menunaikan tugas suci lagi mulianya. “Doaku menyertaimu.”

Burhan mencium tangan sang guru. “Aku akan menyambutmu kelak, Guru,” jawab Burhan terharu. “Terima kasih atas jasamu yang tiada terhingga kepadaku.”

“Iya, Anakku, doaku menyertaimu,” jawab sang guru sembari memeluk dan mencium kening Burhan.

Burhan meninggalkan gerbang sekolah yang telah menunjukinya jalan ke surga. Ia berjalan lurus dengan kemantapan hati yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Malam menua dan Burhan bermunajat. Ia meminta agar langkahnya tiada berat, serta keimanan yang berlipat.

Surga adalah sebaik-baiknya tempat kembali. Terngiang kembali petuah gurunya. Burhan memelihara petuah itu dan meletakkannya di jambangan emas dalam hatinya. Ia menggenapkan mimpi-mimpinya: ia akan menjamin adik, ibu, dan bapaknya masuk surga.

***

Cepat waktu merayap, sebat angin berkelesah, musim pun mengikuti aturan alam dengan taat. Budi telah membulat niat. Hari itu ia betul-betul pergi. Bertahun ia meninggalkan bapaknya dan Burhan. Selama itu pula ia memendam kerinduan. Perasaannya meleleh jika ingat wajah bapak dan kakaknya. Tapi demi mimpinya, ia menimbun keinginan untuk bertemu mereka.

Perlahan, ia buka lipatan selembar foto. Ia usap-usap dan cium-cium dengan mata terpejam. Ia mencium aroma tubuh bapaknya. Ia melangkah ke lemari besi yang tegak dingin di sudut ruang kerjanya. Di dalam satu laci, ia mengeluarkan beberapa lembar kertas.

“Sebentar lagi, Pak, sebentar lagi. Sebentar lagi Bapak pasti naik haji,” kata Budi terharu.

Telapak tangannya mengusap permukaan kertas-kertas tersebut penuh perasaan, lalu memasukkannya kembali ke lemari besi. Baru dua langkah meninggalkan lemari besi itu, pandangan mata Budi mengarah ke sekat pembatas antara ruang kantor dan kafe miliknya.

Seorang lelaki memasuki kafe. Bentuk wajah, tubuh, dan cara berjalannya mengingatkan Budi pada Burhan. Tak salah lagi! Itu memang kakaknya, Burhan. Dengan rindu menggelegak ia berlari dan di saat itulah terdengar ledakan keras. Api berkobar. Asap hitam mengepul. Seluruh bangunan hancur lebur dan nun jauh di sebuah kampung, Wak Amin duduk melamun. Ia yang telah renta, duduk menunggu kepulangan anak-anaknya. (*)

Adam Yudhistira
Latest posts by Adam Yudhistira (see all)

Comments

  1. Adelwan Margeri Reply

    cool…

  2. Pandir Kelana Reply

    Cocok buat menemani waktu ngopiku yang berharga, Dam.

  3. Shofiyurokhim Reply

    Saya suka cerpen bergenre seperti ini. Mantap

  4. Diy Ara Reply

    kayanya ara pernah baca. Tapi ini udah direvisi dan keren banget! Sukses kak adam!

  5. Erin Reply

    Kata-kata lembut yang penuh tenaga 🙂
    Aku jatuh cinta …

  6. izul rahman Reply

    Ini luar biasa, keren, dari awal udah ngeduga bakal ada twist.. tapi engga nyangka kayak gini.. sukses terus ^^

  7. kadarwati TA Reply

    keren…

  8. Laely Nurokhmah Reply

    Luar Biasa……

  9. Zainuddin Muza Reply

    benar-benar berbasa-basi. Kerinduan akan surga ternyata menyulut murka Tuhan. Oh, oh.

  10. Haris Firmansyah Reply

    Huaaaaaaaa. Saya sudah menebak endingnya bakal begini. Tapi tetap terasa tak rela. Kenapa? Kenapa?

  11. Vita Fatimah Reply

    Kasihan Wak Amin

  12. Izhary Reply

    Twist ending & ironi ceritanya, luar biasa …!

  13. Yusna Reply

    Ending yang keren.

  14. Adam Yudhistira Reply

    Waah, ternyata banyak komentar positif. Makasih semuanya…. 🙏

Leave a Reply to Zainuddin Muza Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!