Cendekiawan Kok Sikut-Sikutan Publikasi Karya

Sumber gambar
Sumber gambar we-heart.com

Mau mengutip Ali Shariati, Anthony Giddens, hingga Jurgen Habermas yang menakhodai Mazhab Frankfurt yang memuja rasionalitas-teoretis, atau pula orang kita sendiri macam Mohamad Sobary, bahkan Agus Mulyadi (Gus Mul), junjungan saya, semuanya menyatakan bahwa penulis merupakan bagian dari agent of social change. Bagian dari kaum cendekiawan.

Pangkat ini mudah dimafhumi kenapa melekat pada para penulis sastra (puisi, cerpen, novel, dan kritik), lantaran semua genre itu selalu melibatkan kerja: kognitif (analisis-logis, ilmiah, akademik), imajinasi (intuisi, estetika), hingga kontemplasi (refleksi realitas). Perdebatan lama tentang puisi dan cerpen yang disinyalir “khayalan” (akibat lekatan status fiksi) semata jelas telah terbantahkan andai Anda berkenan sejenak saja menyimak nasihat Jean-Paul Sartre tentang psikologi dan imajinasi; di mana imajinasi dinisbatkan sebagai “create the world”, penciptaan yang tidak ada dalam dunia realitas dengan diproyeksikan sedemikian rupa sebagai sebuah “Realitas”. Jelas di sini diperlukan kemampuan analisis-logis yang notabene merupakan kerja intelektual.

Dalam argumen paling prinsipil, intelektual memikul tugas moral pada: kebenaran, kebaikan, dan keadaban. Dalam karya dan perilaku; dalam tausyiyah (wacana) dan uswah (teladan). Pertanyaannya, benarkah kita selalu sadar dengan pangkat ideal ini?

Teks dan Publikasi

Sebuah karya jelas perlu dipublikasikan agar bisa dibaca publik; lalu lahirlah internalisasi di kepala pembaca; lantas nilai-nilai moralnya menghunjam ke kedalaman batin pembaca, menjadi prinsip dan sudut pandang hidup. Sebutlah Laskar Pelangi Andrea Hirata yang menyajikan inspirasi kegigihan memperjuangkan pendidikan; Dunia Anna Jostein Gaarder yang mewartakan persoalan efek rumah kaca; Dear Life Alice Munro yang merefleksikan makna keterasingan dan kesendirian; Kambing dan Hujan Mahfud yang mengulik sejarah pelik sentimen keagamaan; Seratus Tahun Kesunyian Gabriel Garcia Marquez yang menapaki falsafah hidup yang reflektif-kontemplatif.

Sebagai sebuah teks, saat diasup ragam pembaca, karya meniscayakan lahirnya keragaman tafsir dan opini pula. Ini sah-sah saja, seperti dituturkan Borges sebagai “penulis telah mati”. Dalam sudut ini, tak perlu diragukan bahwa teramat banyak karya kita yang berasas intelektual begini.

Namun jika ditilik dari aspek publikasi, terutama di media massa yang kaplingnya sangat sempit, baik offline atau online, pangkat intelektual penulis tampak cenderung gagap, sumir; untuk tidak disebut penuh iklim ambigu-anomali. Dengan mata telanjang, kita bisa melihat praktik sikat-sikut antarpenulis (sastra) sendiri, dalam rupa arogansi kekaryaan hingga negativitas cara publikasi.

Arogansi kekaryaan ini bisa ditemukan pada merunyaknya trend untuk mendaku karya sendiri sebagai “baik”, anti-kritik, sembari menegasi karya-karya orang lain. Lebih-lebih pada karya yang mengusung tema, genre, setting, dan lanskap yang identik. Orang yang menulis tentang hujan dan senja, sontak dinegasi sebagai follower Seno Gumira Ajidarma;  yang menulis wanita cantik dan kota, sontak diklaim pengekor Agus Noor; yang menulis laut dan garam sontak dinista peniru D. Zawawi Imron; yang menulis novel religi segera didaku sebagai anak bawang Habiburrahman el-Shirazy.

Sungguh ini kondisi yang memilukan jika dikaitkan dengan argumen bahwa setiap karya adalah produk pemikiran kreatif yang otonom; bahkan kendati di dalamnya ada proses intertekstualitas. Kita tahu, batasnya hanyalah orisinalitas dalam maksud bukan plagiasi. Toh apalah hal baru hari ini kecuali semata soal sudut perspektifnya, kan?

Lalu cara publikasi. Koran, misal, yang sangat terbatas ruang publikasi sastranya benar-benar jadi jujukan semua penulis. Persaingan sesak pun tak terhindarkan. Jika ada seorang penulis yang “jatuh” pada publikasi ganda, misal, tanpa perlu tahu duduk perkaranya, semua penulis sontak berduyun-duyun menistanya pecundang. Beramai-ramai seolah penulisnya adalah bromocorah fee.

Sayang seribu sayang, secara teknis sebetulnya kita semua tahu bahwa  ada berbagai tantangan problem dalam konteks ini. Boleh jadi penulisnya bersengaja melakukan penggandaan publikasi, tetapi boleh jadi juga ada persoalan teknis antara penulis dengan medianya. Di titik ini, secara moral kita mafhum, seyogianya hal demikian afdhal dibiarkan menjadi urusan komunikasi penulis dan medianya. Urusan blacklist sama sekali bukan wewenang kita, tetapi redaktur beserta sederet ketentuan dan klarifikasinya dengan penulis terkait. Kita adalah penulis yang bertugas hanya untuk selalu merawat nilai-nilai moral sebagai anugerah kecendekiawanan, bukan penjaga gawang publikasi yang mensyaratkan seperangkat ketentuan teknis dan moralnya.

Kalau kita ikutan gagal merawat “cara mengada” demikian, lalu apa bedanya kita dengan Chelsea yang kampiun banget… memarkir bis dan mencuri gol melalui serangan balik?

Penulis seyogianya bukan Mourinho….

Edi AH Iyubenu

Comments

  1. Teguh Irawan Reply

    Selalu, santai tapi berbobot.

  2. Aris Kurniawan Reply

    Ini sah-sah saja, seperti dituturkan Borges sebagai “penulis telah mati”. Maksudnya Barthes kali yah, pak

  3. Muara Ibrahim Husein Reply

    Saya suka dengan pembicaraan ini, terkesan menyadarkan kita – para ‘cendikia’ – untuk saling bersatu padu, bekerja sama dalam memandang yang seharusnya kita ‘utamakan’, adalah ketulusan, bukan ‘Mahkota’.

Leave a Reply to Muara Ibrahim Husein Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!