Cerita Pilu Manusia Modern

gambar cerita pilu manusia modern
Sumber gambar boston.com

“Ironisnya, setelah kita menggali tradisi mistik dan arus utama kebudayaan dan menyatakannya tak relevan dengan zaman ini, kita semua merasa hampa tanpa kehadiran hal-hal yang mistik.”

Kritik David Maybury-Lewis terhadap modernisme ini dimuat oleh Huston Smith dalam bukunya, Kebenaran yang Terlupakan (2001). Mengapa modernisme dikritik oleh orang Barat sendiri?

Mari simak sedikit saja fatwa dari simbahe modernisme, Rene Descartes, dalam bukunya, Diskursus Metode (2001). “…tidak memasukkan apa pun dalam pandangan saya kecuali apa yang tampil amat jelas dan gamblang di dalam nalar saya, sehingga tidak akan ada kesempatan untuk meragukannya; …asalkan kita menolak untuk menerima apa pun yang tidak benar sebagai benar, dan kita selalu mempertahankan urutan yang seharusnya untuk menyusun masalah satu per satu, tidak ada hal yang begitu saja jauh sehingga tak mungkin kita capai, ataupun begitu tersembunyi sehingga tidak mungkin kita temukan; …menggunakan nalar saya dalam segala sesuatu.

Cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada); sebuah gong penahbis modernisme yang mewartakan kepada dunia bahwa kepastian bukanlah mustahil dan bisa untuk segala hal. Apa gerangan yang tidak lagi dikangkangi kepongahan sok pasti modernisme? Hukumnya jelas, pasti, dan permanen: apa-apa yang tidak bisa dipastikan dengan sendirinya tidak sahih dibenarkan. Apalagi diimani. Ya, begitu.

Kita ini adalah anak-anak yang lahir dan besar di ruang-ruang kehidupan yang sepenuhnya dikangkangi modernisme; tetapi saya tak sudi menjadi anak saleh modernisme. Saya memutuskan dengan sadar untuk berdurhaka pada modernisme.

Tanyalah pada anak-anak kecil; apa cita-citamu, Nak? Jawabannya takkan jauh-jauh dari: menjadi dokter, pilot, tentara, dan sederet profesi yang beraras pada kalkulasi materi sebagai kiblat kecemerlangan masa depan. Maaf, bukan hasrat saya menista profesi apa pun di muka bumi ini, termasuk yang saya sebutkan sebagai contoh tadi.

Saya hanya begitu resah, mengapa sangat sulit untuk menemukan anak yang mengatakan bahwa cita-citanya adalah menjadi khatib, pelukis, penyair, petualang, dan segala jenis “profesi” yang diklaim oleh traktak modernisme sebagai tidak searas dengan materi?

Siapa yang mendidik anak-anak itu? Kita. Bahkan sejak dari alam rahim, kita mencekoki janin-janin itu dengan peradaban mekanis-materialis modernisme: harus minum susu kehamilanlah, harus banyak istirahatlah, harus mengasup omegalah, bahkan harus cecar agar vaginanya tetap rapatlah, dan sebagainya, dan sebagainya. Oh ya, jangan lupakan lupa betapa sebagian kita tega memaksa janin yang masih bobok meringkuk di kehangatan rahim ibunya dibrojotkan demi mengejar tanggal, bulan, dan tahun cantik.

Lantas, doktrin modernisme yang berdenyar di kepala dan batin kita terus kita jejalkan menjajahi anak-anak dengan mematuhi secara absolut nasihat-nasihat kemodernan yang syahdan saintifik sembari membasmi tuntas wejangan-wejangan simbah.

Usia sekian tahun, dicekokilah anak-anak yang seharusnya main dan main itu dengan sekian les, sekian pelajaran, yang menginstankan pengetahuan mereka sembari membabat habis belantara ruhaninya. Ngaji ke surau, mandi di sungai, main petak umpet, ke manakah kini? Habis; digantikan tablet, aplikasi, game di mal-mal, dan sebagainya.

Mohon tak usah heranlah bila di kala beranjak remaja, kita menyaksikan anak-anak kita begitu cemas dengan jarum timbangan dan sejumput jerawat di keningnya. Ingatlah fatwa modernisme yang sekejam kapitalisme, bahwa cantik adalah langsing; cantik adalah putih; cantik adalah tidak berjerawat; cantik adalah seksi; cantik adalah jilboob.

Begitu masa kuliah, kita waswas benar saat melihat pilihan jurusan anak-anak tak berpangkat ilmu ekonomi, administrasi, dan sejenisnya. Kita lalu mendikte mereka agar tak keluar dari jurusan-jurusan yang kita gadang-gadang sebagai tol kecemerlangan masa depannya. Iya, masa depan materi, karier, profesi, bukan etika, nurani, apalagi ruhani.

Lantas, bagaimana bisa kita kini hendak tersedu lagi sedan kala menjumpai anak-anak itu tak patuh pada kata-kata kita; memilih pergi dengan pacarnya dibanding makan bersama keluarga di rumah simbah; menjawab di telepon tak bisa pulang menengok ibu yang lagi sakit keras karena sibuk meeting?

Siapa yang salah?

Kita. Kita para pemberhala modernisme sungguhlah merupakan penjajah ruhani anak-anak yang kita dambakan jadi anak yang saleh atau salehah. Kini, kita menuai akibat-akibatnya.

Memang, yang salah pada dasarnya secara ideologis adalah modernisme. Tetapi yang melanjutkan sejarah kesalahan itu adalah kita; untuk kita wariskan kepada anak-anak kita, lalu akan mereka wariskan kepada cucu-cucu kita.

Saya teringat penyimpulan Mircea Eliade, bahwa dalam masyarakat arkais (primitif), hierarki ontologi kehidupan adalah Yang Sakral dan Yang Profan. “Masyarakat arkais selalu berusaha untuk hidup dalam Yang Sakral.”

Kini, di tengah melesatnya teknologi komunikasi sosial media, misal, sekadar contoh, di mana semua orang bisa berbicara atau membicarakan siapa pun dalam kadar apa pun, yang tersisa hanyalah “Yang Profan”: kefanaan, kenisbian, dan tentu kekurangajaran. Kok bisa begini? Dibunuhnya dimensi ruhani, nurani, spiritual, Yang Sakral, oleh jaring-jaring teknologi komunikasi masa kini.

Bukankah kini begitu murah hati saja seorang pandir yang kenal Machiavelli saja tidak untuk menyerang Jokowi sedemikian hinanya?

Bukankah kini begitu tanpa beban saja seseorang yang baru tahun lalu kenal huruf Hijaiyah untuk mengkafirkan Quraish Shihab?

Bukankah amatlah mudah kini untuk menemukan seorang siswa menyindir-nyindir gurunya melalui akun-akunnya?

Bukankah amat jamak kini menjumpai seorang istri menista-nista suaminya sedemikian menyedihkannya di sosial media?

Hakikat komunikasi telah mati sekadar tersisa sebagai “Yang Profan”: fungsi komunikasinya belaka. Sementara dimensi Yang Sakral-nya telah dikalangkan tanah. Suasana ini mencitrakan betapa dimensi ruhani, nurani, dan spiritual telah lunglai dihajar pencapaian peradaban teknologi komunikasi manusia yang menakjubkan?

Benarkah itu peradaban?

Saya jadi teringat sebutan “jahiliyah” kepada masyarakat Arab di awal kedatangan Islam. Jahiliyah sama sekali bukanlah kebodohan, keterbelakangan. Kita membaca sejarah bahwa masyarakat Arab masa itu sangat piawai mengarang syair-syair, puisi-puisi, sampai sering diadakan festival atau lomba antarmereka. Kita pun mengetahui bahwa kegiatan perdagangan lintas negeri (ekspor-impor) telah marak di masa itu.

Jahiliyah masa itu ialah kematian Yang Sakral; diinjak-injak berhala Yang Profan.

Bukankah masa kini setamsil betul tipikalnya? Bukankah ini indikasi yang amat mengerikan bahwa ternyata hari ini adalah hari di mana kemajuan sains dan teknologi begitu lesat tetapi di waktu yang sama melontarkan kita kembali ke masa lalu kejahiliyahan?

Masyarakat arkais saja sangat mafhum bagaimana cara menempuhi hidup yang tenteram, yakni dengan merawat nilai-nilai Yang Sakral (sekalipun bentuk ritual-ritualnya dalam kacamata agama kontemporer disebut syirik-primitif); lantas mengapa kita begitu bebalnya untuk sekadar menyadari bahwa modernisme, beserta murid kejinya bernama kapitalisme, merupakan biang kerok penyebab hidup kita sangat barbar, kejam, dan memuakkan?

Jika bukan untuk merawat kenyamanan, ketenteraman, dan kebahagiaan, lalu apa lagi gunanya kita mengenakan pangkat manusia yang berakal dan berhati?

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!