Dosa Orang-Orang Kota (Semakin megah sebuah kota, semakin sakit manusianya)

dosa orang-orang kota
Sumber gambar | favim.com

Satu hal yang masih saya kagumi dari sebuah kota adalah lampu taman. Cahayanya tetap memberi ruang untuk kegelapan. Tidak arogan. Di Suropati, taman kota yang saya sukai, ada lampu yang semacam itu dan saya kerap menikmati kesyahduannya, sambil berpikir bahwa saya tidak sedang berada di Jakarta. Kendati akhirnya saya selalu kecewa saat menyadari bahwa saya ternyata masih tinggal di kota.

Banyak hal yang membuat saya benci pada kota. Dari yang paling mendasar; orang kota terbiasa berpikir bahwa kemajuan adalah sebuah tindakan yang baik, progresif, dan harus selalu digerakkan oleh semangat yang tak ada habisnya. Niatan yang bagus, saya tahu. Tapi kesalahan fundamentalnya kemudian: kita tidak pernah mereproduksi atau meninjau ulang ide tentang kemajuan, dengan lebih doyan memproyeksikan kemajuan dari sudut pandang sebuah spesies yang dominan dan merasa berhak melakukan apa saja.

Kemajuan diartikan sebagai deretan lampu di sepanjang jalan, gedung-gedung tinggi berkaca bening, aspal yang rata, warung makan yang menyediakan menu gurih dan cepat saji, anak-anak yang rapi dan bersih, perempuan atau lelaki seksi yang bisa dibeli, perpustakaan dengan buku-buku yang bisa disombongkan ketebalannya—dan apa lagi yang harus kita sebutkan? Terlalu banyak. Tetapi dari mana asal itu semua? Maksud saya, ada berapa orang kota yang tahu asal muasal emas yang melingkar di jarinya?

Bukan cuma soal emas atau berlian, tentu. Amat sangat sedikit orang kota yang tahu bahwa untuk membangun sebuah gedung kita perlu melubangi sebuah gunung; untuk membikin pintu kayu yang berukir dibutuhkan sebatang pohon berusia puluhan atau bahkan ratusan tahun; untuk mengaspal dan menjalankan mobil kita butuh menguras perut bumi.

Pekerjaan-pekerjaan itu dilakukan oleh orang lain dan orang kota hanya mengerti barang yang sudah kinclong. Mereka melompati bagian kotor dan keji dari sebuah kegiatan konsumsi, dan karenanya mereka merasa—dan ingin tampil—benar belaka dalam segala tindakan konsumtifnya. Mirip seperti penguasa yang memakai pion-pionnya untuk melakukan kerja-kerja kotor. Karena itulah banyak yang betah tinggal di kota.

Banyak pula hal irasional di perkotaan. Manusia kota merasa jadi makhluk paling berharga, berada di atas makhluk lain, sekaligus gemar mencari perhiasan dari batu. Untuk membodohi diri sendiri, dan akhirnya jadi bodoh betulan, mereka sebut batu-batu itu sebagai batu mulia. Kendati mereka tentu saja tidak mau dituduh telah memuliakan batu. Contoh lain, mereka iba lalu menolong anak ayam yang hendak disantap ular, tapi di lain hari mereka akan dengan santai merobek daging ayam di meja makan. Kemudian mereka terbiasa merendahkan manusia-manusia kampung (atau merasa lebih mulia) sekaligus makan nasi dan lauk kiriman orang kampung. Menjadi amat jelas bahwa semakin megah sebuah kota, semakin sakit manusianya.

Dalam Islam ada cerita tentang Dajjal, sebuah makhluk akhir zaman yang kemunculannya akan merusak banyak hal. Dajjal digambarkan memiliki kekuatan yang luar biasa dan bermata satu. Terlalu polos jika kita memahami cerita itu secara literal lalu melupakan “ketelah-hadirannya” di dalam jiwa orang-orang kota. Matanya yang hanya satu bisa menjadi gambaran bahwa dia sudah tak mampu melihat sesuatu dengan perspektif tiga dimensi agar utuh. Dia hanya melihat permukaan. Urusan kemampuan merusak, tidakkah orang kota sangat memadai untuk melakukannya sembari terkekeh?

(Ah, iya, mohon maafkan jika saya mulai memakai kata “mereka”, bukan “kita”. Sebagaimana kalian, saya pun orang kota dan saya kerap ingin benar sendiri.)

Tapi Dajjal yang gagah itu sebetulnya sakit. Kanker, stroke, diabetes, mata minus, adalah beberapa penyakit fisik yang bisa diacu untuk mengukur kualitas tubuh orang kota. Mental-disorder bahkan sudah jadi sesuatu yang sangat lumrah. Gaya hidup mereka telah terlalu jauh dari tanah air—dalam arti sebenarnya, mereka tak lagi tinggal di alam, dan lebih cocok dilihat sebagai makhluk yang mengandangi dirinya sendiri dalam beton.

Untuk memerangi alienasi diri, beberapa orang kota akan berkunjung seminggu sekali ke pedesaan (orang Jakarta biasanya ke kawasan Puncak), menjejakkan tapal kaki mereka kepada tanah, kepada lumpur, dan menghadapkan lubang hidung mereka kepada udara yang jernih, lalu merasa seakan telah sebenar-benarnya pulang. Tentu mereka tak pernah benar-benar pulang; mereka telah merantau terlampau jauh dan sialnya menjadi durhaka terhadap ekosistemnya. Pulang seminggu sekali seakan sukses sungguh menjadi penawar bagi dosa yang panjang.

Dalam Psikologi Kepribadian, Lynn Wilcox sempat menyinggung tentang kondisi psikologis orang kota pasca-revolusi industri. Dia menyoroti pekerjaan pabrik yang menurutnya telah membuat manusia terasing dari sesuatu yang mereka ciptakan sendiri. Misal, di bagian assembling sebuah pabrik bingkai, kita bisa menemukan orang yang hanya merangkai stik kayu menjadi persegi, sebagian lain hanya memasang gantungan di kayu tersebut, lalu yang lain hanya memasang kacanya. Mereka tidak betul-betul paham secara utuh pada benda yang mereka ciptakan, dan karena itu mereka tidak punya kelekatan emosional dengan hasil kerjanya sendiri. Menguaklah lalu sebuah lubang besar dalam jiwanya.

Kalau boleh, saya ingin menyalahkan kapitalisme; ideologi kampret warisan renaisans yang menjalar dalam darah orang kota, yang melihat semua hal atau benda dalam ukuran harga kendati mengenyahkan jiwanya. Ia selalu mengajari manusia untuk melulu menumpuk kapital, sebab dalam sistem yang ia jalankan hanya yang menguasai kapital yang akan bertahan.

Sistem semacam itu tidak berdaya, misal, di Kanekes, negeri orang Badui. Kehidupan orang Badui tidak banyak berubah, tetap lestari. Sudut pandang kapitalistis lalu dengan sok kuasa melabeli orang-orang Badui atau sebagian besar orang Sunda sebagai manusia pemalas.

Saya jelas menentang klaim belagu kapitalisme itu. Bagi saya, orang Sunda justru terdidik sejak lama untuk mengerti kapan harus berhenti, kapan harus merasa cukup; bahwa dalam maju ada langkah konstan yang mesti ditempuh, tidak gurung-gusuh; memahami kemajuan sebagai tindakan melestarikan hidup seluruh makhluk, bukan semata diri sendiri.

Lalu sebagai orang Sunda yang tinggal di kota, saya dengan lantang mengambil sikap ekologis-politis untuk tidak memakan ayam pabrik (tidak ke resto cepat saji), tidak memakai perhiasan terutama yang dari batuan bumi, tidak membeli kendaraan pribadi selain sepeda. Semua itu tentu bukan perjuangan yang sulit-rumit sama sekali bagi pemuda kere macam saya; dan itulah alasan saya untuk berendah hati tidak membanggakannya. Saya hanya percaya bahwa selain sebab tanah dan pepohonan di Suropati, keputusan-keputusan politis-ideologis demikianlah yang bisa membuat saya tidak terlalu merasa berdosa atas candu saya terhadap kota.

Reza Nufa
Latest posts by Reza Nufa (see all)

Comments

  1. EDI AH IYUBENU Reply

    Saya senang sekali gaya reflektif n teknik pnulisan esai ini. Cakep.

  2. Dessy iriany Reply

    Sudut pandang yg mencerahkan…

  3. Ahmad Farid Reply

    Bagus ih, kang. Reseup macana. 🙂

  4. khaswandi Reply

    keren banget nih. makasih sudah menuliskannya…. hehehe

  5. Ihsan Ariswanto Reply

    pernah seperti itu juga, tapi dulu, gak mau masuk mall, gak mau makan di resto milik korporat besar
    tapi sekarang… sudah menyerah dengan peradaban.

  6. Syarah Dzihani 💜 Reply

    Ini fakta yg menarik untuk di ungkap ke permukaan. Pemikiran” anda benar adanya serta akurat sebab berdampingan langsung dg suasana kota. Semoga pemikiran” dan karya anda bermanfaat dan memberi kesadaran murni pada banyak jiwa yg membacanya.
    Barokallah. Terimakasih karya nya kak💜

Leave a Reply to EDI AH IYUBENU Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!