Karikatur Sepotong Telinga

blogger.com

-Dongeng untuk Hanie         

Hanie, banyak orang di dunia mengambil keputusan di luar logika, di luar penalaran. Termasuk soal telinga. Bukankah kamu pernah mendengar cerita tentang seorang pelukis di Eropa yang namanya sangat tersohor justru ketika ia sudah meninggal itu? Sepanjang hidupnya, dia mengalami depresi yang luar biasa. Tekanan persoalan hidup tanpa ampun menghajar dirinya. Terkucil. Menggigil. Kedinginan. Kelaparan. Merana. Dunia pun menampik lukisannya. Halusinasi menggerogoti jiwanya. Setiap saat, telinganya digerayangi suara-suara yang menerornya. Mendadak ia nekat mengiris sepotong telinganya, lalu diberikan pada seorang pelacur yang dicintainya. Kontan, pelacur itu pingsan.

Hanie, tak semua kejadian punya logika yang patuh pada kemauan kita, pada logika dan penalaran yang serba normatif. Begitu juga tokoh yang kisahnya hendak kuceritakan padamu, malam ini. Nikmati saja, seperti kamu menikmati film kartun yang tak pernah mengenal logika manusia lumrah. Tokoh kartun tak bisa mati meskipun ia jatuh dari lantai 500 dan terlindas truk. Benar Hanie, dunia kartun tak pernah ada perkabungan karena pembuatnya tak ingin penonton sedih. Membatalkan tawa berarti kerugian. Penonton harus tertawa melihat kekonyolan yang absurd. Terasa tidak logis, tidak normatif tapi ada dan nyata! Begitu pula dengan perilaku tokoh utama dalam dongengku ini: seorang politikus papan atas dari sebuah negeri yang jumlah koruptornya melebihi jumlah penduduknya. Kamu tertarik mendengarkan, Hanie?

Kuharap engkau tak bergidik ketika dongeng ini kumulai dari adegan di tempat cukur rambut, di Elpha Maze ibu kota Republik Dobozhy. Di negeri ini hampir setiap hari terjadi demonstrasi. Menuntut para petinggi korup diadili. Tapi, jeritan para demonstran dianggap tak lebih dari letusan petasan lombok rawit.

Oke, kumulai….

Setetes darah masih terpahat di mata pisau cukur, ketika hendak dilipat Rhamiriz, tukang cukur yang masih tampak muda itu. Dia sengaja membiarkan tetesan darah itu mengering di pisaunya, sebelum disimpan. Hari itu, dia telah memutuskan tidak akan menggunakannya kembali untuk sebuah pekerjaan yang ganjil: memotong telinga orang!

Goobracksky, pemilik dua daun telinga yang baru saja diiris Rhamiriz, tak tampak kesakitan. Ia justru tertawa. “Nikmat kali…. Eee…, Anda ini memang pintar kali menyayat itu barang. Ndak sakit. Pokoknya ngeri-ngeri sedap.” Tawa Goobracksky berderai sambil memasukkan dua daun telinganya ke dalam kantung plastik.

“He, Sista, rekam adegan ini! Nanti akan kujadikan bukti, bahwa Goobracksky benar-benar seorang gentleman! Berani memotong telinganya sendiri…. Rekam ini, Sista!”

Perempuan yang dipanggil Sista, mengangguk sambil terus memainkan kameranya, merekam semua adegan. “Beres, Mister…. Gambar-gambarnya fantastis!”

“Baguslah. Nanti kau edit. Dan, malam nanti juga akan kuputar di TV Nine!

“Siap, Mister.…”

Kamera tetap on.

Rhamiriz tersenyum memandang kepala Goobracksky yang tanpa telinga. Lucu dan unik, seperti manusia planet. Ia pun merasa “puas” tapi juga sedih telah menjalankan tugas yang “penuh kekejaman” itu dengan sukses.

“Kelak, kalau aku bisa jadi presiden, aku akan kasih kamu gelar kehormatan, Tukang Cukur Teladan,” Goobracksky menggenggam tangan Rhamiriz sambil terus tertawa.

“Presiden tanpa telinga?” ujar Rhamiriz tertawa.

“Ah…justru menariknya di situ, kawan. Dengan tanpa telinga, aku malah bisa tenang menjalankan tugas keprisidenanku. Tanpa harus mendengar kritik sana-sini….” Goobracksky terkekeh.

“Lho, bukankah tanpa daun telinga Anda masih bisa tetap mendengar?”

“Iya, dikit-dikit….” Goobracksky memberikan beberapa lembar uang, lalu pamit.

***

Memotong daun telinga bukan pekerjaan mudah, pikir Rhamiriz. Harus terampil. Hati harus teteg, kuat hati alias tega. Lebih tega daripada ketika menyembelih ayam, ular, anjing, kambing, lembu, atau babi. Celakanya, ia sendiri tak pernah belajar tentang ketegaan. Semasa hidupnya, ia sangat jauh dari kekerasan, termasuk menyembelih ayam sekalipun. Ia sangat takut melihat darah. Bahkan, seandainya rambut itu mengeluarkan darah ketika dipotong, pasti dia membatalkan diri menjadi tukang cukur, profesi yang dijalaninya hampir empat tahun.

Ia merasa hanya tukang cukur biasa, meskipun punya sertifikat dari Salon Rafijalie, lembaga kursus terkenal, milik Tuan Lerby Amitta Bachan, seorang warga keturunan India. Ya, dia hanya dididik untuk mencukur. Urusannya hanyalah soal gunting-menggunting rambut dan menata rambut sesuai modal yang diinginkan klien. Juga, memainkan pisau cukur untuk merapikan cambang, kumis, dan jenggot. Pisaunya yang berkilat memantulkan ketajaman berlipat-lipat hingga bisa memotong rambut dengan tepat, pasti, penuh presisi dan rapi. Tak ada luka goresan. Tak ada rasa perih yang ditinggalkan.

Meskipun merasa hanya menjadi tukang cukur biasa, ia dikenal banyak orang sebagai “tukang cukur yang benar-benar ahli”. Orang pun antre untuk memaras rambutnya. Termasuk Goobracksky yang sudah dikenal lama Rhamiriz. Dia datang bersama Sista yang menenteng kamera video.

“Rhamiriz…, aku datang bukan untuk cukur rambut. Lihatlah kepalaku. Gundul, kan? Nah, aku cuma minta kau untuk….” Goobracksky memuntahkan kata-katanya, namun dipotong Rhamiriz.

“Untuk membersihkan kumis? Begitu, kan?”

“Ah, bukan. Aku ingin, kau memotong kuping aku….”

Rhamiriz tersengat. Keningnya berkerut. Ia menatap tajam wajah Goobracksky. Ia menduga laki-laki muda itu baru saja keluar dari rumah sakit jiwa.

“Memotong telinga?”

“Benar. Tepat sekali.”

“Maaf, saya sudah mau tutup. Cari tukang cukur lain saja.”

“Ah…kau ini, kok ketus amat. Tenanglah, tenang, Kawan. Ini permintaan murni. Muncul dari hati nurani aku. Terserah kau mau pasang tarif berapa. Pasti aku bayar. Jangan khawatir. Aku ini Goobracksky, terkenal bermurah hati. Semua tahu itu, Kawan.” Tawa Goobracksky berderai.

“Cari saja dokter bedah. Selamat malam.”

“Kau ini kenapa ragu? Kau sangat ahli memainkan itu pisau. Percayalah. Dan yang penting, aku tidak akan menuntut kau, meski aku ini ahli hukum. Gelarku doktor. Oke, ya…. Potonglah telinga aku ini dengan smooth and softly….” Goobracksky bergumam lagu kesukaannya “Killing Me Softly”.

Jantung Rhamiriz berdegub keras. Tangannya gemetar. “Kenapa Anda ingin kuping Anda dipotong?” ujar Rhamiriz.

“Ah. Tak usah tahu lah….”

“Saya tidak bisa melakukan tanpa alasan….”

“Tidak semua tindakan punya alasan, Kawan…. Ayo, potonglah.”

“Nggak bisa. Tolong katakan alasannya….”

“Oke…, oke…. Agaknya kau ini ingin semuanya terang benderang. Baik. Kenapa aku ingin memotong telinga aku, karena aku harus konsisten dengan ucapanku….”

“Ucapan apa?”

“Kau ngikuti berita korupsi di koran atau televisi?”

“Kebetulan enggak. Saya suka nonton film kartun.”

“Ah…kau ini…suka gurau. Tapi baiklah, orang susah memang suka guyon. Begini. Aku ini seorang pemuja kejujuran dan petaruh kejujuran, oke? Majalah, koran, televisi sudah memuat berita aku. Negeri ini heboh karena aku berani pasang telinga untuk membela kejujuran….”

“Maksud Anda?”

“Tunggu dulu. Jangan suka main potong. Kepada kawan-kawan aku, kepada semua orang, aku selalu bilang…, kalau Bapak Presiden Apphuzzky benar-benar korupsi, potong telinga aku! Omongan saya ini dikutip semua media….”

“Lalu?”

Wajah Goobracksky tampak sedih. “Eeee nggak tahunya Pak Presiden benar-benar korupsi. Harus hilang lah telinga aku…. Jelas?”

“Tapi apa hubungannya Anda dengan Presiden Apphuzzsky? Sampai Anda mau mengorbankan telinga segala…?”

“Tuan Presiden Apphuzzky itu, guru aku, pemimpin aku…. Beliau lah yang menjadikan aku anggota parlemen, ahli membuat undang-undang. Kerna itu, aku selalu membela beliau, apa pun risikonya.”

“Cuma itu?”

“Kok cuma? Ya, enggak lah…. Ah sudah…, cepat potong telinga aku.”

“Saya nggak mau sebelum persoalannya jelas.”

“Rewel kali orang ini. Oke…, oke…. Pak Presiden itu bos besar aku. Paham?”

Rhamiriz membuka pisau lipat. Mata pisau itu mengkilat-kilat. Matanya terpejam ketika pisau itu mengiris daun telinga Goobracksky seinci demi seinci. Darah segar mengucur.

“Sudah.”

“E, yang satunya kan belum?”

Pak Rhamiriz menghela napas. “Aku hanya sanggup memotong satu. Yang satunya silakan cari tukang cukur yang lain….”

“Ah bagaimana kau ini? Sudah telanjur. Ayo potong, dong.”

“Anda saja yang motong….”

“Ayolah. Tak apa-apa”

Akhirnya Rhamiriz pun melakukannya. Pisau itu bergerak. Daun telinga itu tanggal.

“Asyik, kan? Darah itu indah, bukan?” Goobracksky terkekeh.

***

Itulah pengalaman pertama yang sangat mengerikan bagi Rhamiriz. Dan ia tak berharap mengulanginya. Namun, beberapa bulan kemudian, Goobracksky kembali datang bersama Sista yang membawa kamera video dan lampu. Rhamiriz kaget melihat dua daun telinga Goobracksky sudah tumbuh dan kembali normal. Orang ini sakti, pikirnya. Atau jangan-jangan dia bukan manusia, tapi sejenis mutan?

“Halo Mister Rhamiriz, tukang cukur terbaik di dunia ini. Tak usah kaget. Hidup ini penuh keajaiban. Terutama buat orang jujur macam aku. Jangankan soal telinga, menumbuhkan kaki di kepala pun, Tuhan mampu, kalau Dia berkenan dan mau.” Tawa Goobracksky berderai.

“Anda mau potong telinga lagi?”

Goobracksky mengangguk. Senyumnya mengembang. “Nasib saya memang lagi apes. Ternyata Tuan Presiden korupsi lagi. Padahal saya sudah bilang ke kawan-kawan, potong telinga Goobracksky jika Tuan Presiden korupsi lagi. Eh, ternyata benar. Kali ini korupsinya lebih gede.”

Kemera on. Rhamiriz langsung mengiris dua daun telinga Goobracksky. Operasi berjalan sangat cepat. Tanpa ada rasa sakit terpahat. “Ini yang terakhir, ya,” ujarnya sambil memasukkan pisau cukur ke dalam laci.

Ternyata beberapa bulan kemudian, Goobracksky datang lagi bersama Sista. Telinganya sudah kembali tumbuh normal. Dan minta dipotong. Peristiwa ini berjalan berpuluh kali. Telinga dipotong, tumbuh lagi, dipotong lagi, tumbuh lagi, dipotong lagi, tumbuh lagi, lagi-lagi dipotong, lagi-lagi tumbuh….

“Pak Presiden memang suka berbohong…,” ujar Goobracksky.

“Dia korupsi lagi?”

“Iya, kali ini jauh lebih gede.”

“Kenapa tetap percaya pada dia?”

“Ya, namanya sudah cinta…, gimana lagi….”

“Cinta?”

“Eee Maksud aku, aku sangat hormat pada beliau.”

“Orang macam itu masih layak untuk dihormati?”

“Ini sudah di luar ukuran-ukuran nalar orang umum macam kau.”

“Tunggu dulu. Kenapa Tuan Presiden tak pernah diadili, meskipun berkali-kali terbukti korupsi?”

“Tahu sendirilah…. Udahlah, tak usah tanya macam-macam. Yang penting potong telinga aku. Nanti aku bayar, berapa pun…. Oke?”

Demonstrasi anti Presiden Apphuzzky terus terjadi. Massa menuntut presiden diadili. Tuntutan itu dijawab istana dengan panser dan senapan. Belasan demonstran terkena timah panas. Namun, mereka tak menyerah. Demonstrasi terus digelar, dengan jumlah massa yang terus meningkat hingga jutaan orang. Mereka tak dibayar karena memang bukan demonstran bayaran. Kemarahan massa terus berkobar.

***

Sudah lima tahun, setelah Partai Scorpio Ungu milik Tuan Presiden Apphuzzsky kalah dalam pemilu, Goobracksky tidak muncul lagi menemui Rhamiriz. Rhamiriz menduga Goobracksky sudah tobat atau menemukan jalan lain. Mungkin dia sudah membelot dari Presiden. Atau ada alasan lain yang mendasar.

Didorong rasa penasaran, Rhamiriz pun berusaha menemui Goobracksky. Ia harus naik bus kota dan ganti naik trem. Ia sampai ke sebuah kompleks perumahan mewah.

“Maaf, apa benar di kompleks sini ada warga yang bernama Goobracksky?” Rhamiriz bertanya kepada seorang perempuan yang sedang hamil.

“Di sini ada banyak nama Goobracksky. Goobracksky yang mana?”

“Goobracksky yang eee orangnya pendek, wajahnya lonjong, kepalanya gundul, suka tertawa….”

“Yang kerjanya di rumah judi itu?”

“Bukan itu. Dia itu orang parlemen. Sering tampil di tivi. Eee, dia itu dikenal sangat dekat dengan Pak Presiden.”

“O…, Goobracksky yang itu…. Ya, bener, dia tinggal di sini. Itu rumahnya, yang dicat biru.”

Rhamiriz pamit dan berjalan menuju rumah bercat biru. Ia mengetuk pintu dan dipersilakan masuk seorang perempuan yang mengaku istri Goobracksky. Rhamiriz menjelaskan siapa dirinya dan maksud kedatangannya.

Perempuan hamil itu bicara datar. “Dia sudah meninggal. Dia bunuh diri. Menenggak oplosan spiritus, obat nyamuk, obat anti tikus, dan obat sakit kepala.” Mata perempuan itu sembap.

Rhamiriz gemetar. Wajahnya memucat. Seluruh tubuhnya basah keringat.

“Boleh tahu kenapa Tuan Goobracksky bunuh diri?”

“Soal telinga.”

“Iya, lima tahun lalu dia minta saya memotong telinganya….”

“Ooo…, Anda ya tukang potong telinga langganan dia itu?”

Rhamiriz mengangguk. “Ada apa dengan telinga dia?”

“Sesudah telinganya Anda potong, berhari-hari, berbulan-bulan Goobracksky menunggu telinganya tumbuh kembali. Tapi nahas. Telinganya tidak bisa tumbuh lagi. Bahkan malah infeksi. Membusuk. Menjalar di seluruh kepala…. Kepala membesar sebesar magic jar…. Suami saya pun malu. Apalagi sejak Presiden Apphuzzsky ditangkap dan dipenjara. Dia kehilangan semangat. Down. Akhirnya dia bunuh diri.” Istri Googracksky menangis sesenggukan.

Tubuh Rhamiriz membeku. Dari tasnya ia mengeluarkan dan membuka lipatan pisau cukur yang dilekati noktah darah yang sudah mengering.

“Saya merasa punya kewajiban untuk menyerahkan pisau cukur saya ini kepada Anda. Pisau ini sudah saya gunakan berkali-kali untuk memotong daun telinga suami Anda. Terimalah.”

Perempuan itu gugup menerima pisau cukur itu. Ramiriz pun pamit.

Hanie, mungkin kamu tertawa mendengar kisah ini. Cerita ini memang tidak untuk direnungkan apalagi dipercayai, seperti halnya kita juga tidak selalu percaya pada semua dogma, ideologi, atau apa pun yang tampak sakral itu. Semua sudah mencair, Hanie. Semua sudah memudar. Begitu juga kejujuran yang dibela mati-matian oleh Goobracksky, tokoh ceritaku tadi.

Hanie, tidurlah, semoga kamu tidak bermimpi bertemu dengan dua daun telinga Goobracksky yang terbang, menuntut kejujuran….

Yogyakarta, 2014-2016

Indra Tranggono
Latest posts by Indra Tranggono (see all)

Comments

  1. Slmt Wicaksono Reply

    Wh, telinga Van Gogh bisa jd cerpen. Mas Indra top.

  2. Junaidi Khab Reply

    Aku suka sekali dengan cerita dan metafor yang dibangun dalan cerpen ini. Mebampar naluri, menukik hati.
    Tapi…
    Pada kalimat setelah bintang 3 yang ke-2 ada kalimat yang sepertinya kurang lengkap. “Goobracksky kembali datang bersama Sista yang kamera video dan lampu”. Gak penting sih, tapi mungkin perlu dipikirkan lagi.

    Ada lagi, pada kalimat “Matanya terpejam ketika pisau itu mengiris daun telinga Goobracksky seinci demi seinci.” Masak Rhamiriz memotong telinganya itu seinci demi seinci? Bagi saya absurd, karena dalam ceritanya minta potong smoth and softly. Kalau seinci demi seinci, itu bukan smoth and softly, karena inci itu ukurannya agak panjang, sementara ukuran telinga itu sekitar dua inci. Dua kali tarik, selesai, jadi ada dua tarikan pisau lipat.

    Nuwun, kaso’on, thank you, xie xie, SYUKRON. 😀

    • Junaidi Khab Reply

      Ada lagi…
      Cerita ini membuat saya penasaran dan seakan tak selesai, tapi bagus jika demikian.
      Kesimpulannya, Goobracksky itu yang menurut Rhamizi telinganya tumbuh itu salah. Goobracksky berikutnya, bukan Goobracksky yang sebelumnya tapi Goobracksky2 yang lain yang gila menghormati presiden.

    • Admin Reply

      Terima kasih.

Leave a Reply to Junaidi Khab Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!