Keajaiban Campalok dan Kutukan Tembakau

Kutukan tembakau
Sumber gambar furnishingthecloud.net

Melihat banyak kasus, yang membuat saya cemas saat akan menulis esai tentang tembakau adalah adanya praanggapan pembaca tentang kampanye rokok, terutama bagi kelompok antirokok. Rasa benci yang terlampau tinggi terkadang menyebabkan kesimpulan dibuat sebelum teks dibaca, seperti seorang tukang nujum. Entah bagaimana asumsi semacam ini dibangun, menciptakan pandangan inferior untuk sesuatu yang sejatinya tidak dipahami arusnya secara detail, dari hulu ke hilir, sehingga hal-hal baik yang tersembunyi pun tertutup oleh asumsi negatif. Agar tidak dirasuki dosa ilmiah berkepanjangan seperti ini, mari tenang dan duduklah, lalu baca tulisan ini.

Pada bulan-bulan berakhir “ber”, puncak kekeringan menimpa masyarakat Madura yang tanahnya memang kerontang dari sononya. Pulau yang dikitari bebatuan karst ini tergolong tandus secara keseluruhan dan subur hanya di beberapa bagian kecil lainnya, terutama di daerah Kabupaten Sumenep. Pohon-pohon tembakau terbaiknya tumbuh terutama di areal tegalan perbukitannya. Prancak, Montorna, dan Bakeong adalah nama tiga desa penghasil tembakau Sumenep bermutu masyhur. Akan tetapi, “artis”-nya hanya ada di satu dusun saja, yakni Dusun Jambangan, di Desa Bakeong.

Pada tanggal 28 Juli 2012 silam, saya mendampingi dua orang awak National Geographic, wartawan dan fotografer, berkunjung ke Dusun Jambangan tersebut untuk menelisik rahasia—atau misteri—Tembakau Campalok. Secara geografis, ia berada di Kecamatan Guluk-Guluk, Sumenep.

Satu hal yang menjadi magnet bagi wartawan tersebut adalah karena harganya yang tidak masuk akal untuk ukuran tembakau sejenis. Saya bumbui sekalian, Campalok ngetop juga sebab didongkrak oleh beberapa mitos: tanah itu pernah disinggahi Pottre Koneng; jika Tembakau Campalok dipanen, harga tembakau lainnya cenderung merosot, bahkan anjlok; juragan tembakau tertentu bahkan menggunakannya sebagai jimat wewangian tembakau, tidak dibuat rokok, hanya digantung di gudang tembakaunya dan diyakini akan memberikan efek wangi pada tembakau yang lain. Jika dilinting, dinyalakan, lantas disundut (dimatikan), Tembakau Campalok tidak meninggalkan bau apek sebagaimana puntung.

Tembakau Campalok merupakan varietas tembakau Madura biasa, namun ditanam dan tumbuh secara eksklusif hanya pada 3 petak kecil di Dusun Jambangan. Tiga petak yang melingkupi makam dan sebatang pohon campalok itu begitu masyhur sebagai salah satu tembakau termahal di dunia yang harganya pernah tembus di angka 2 juta per kilogram. Inilah yang barangkali mengundang penasaran tim NG untuk meliput tembakau ini dan menurunkan liputannya pada edisi akhir tahun (Desember, 2012), dengan judul “Riwayat Tembakau: Daun nan Kontroversial dalam Adat Nusantara”.

Meskipun hanya diwakili Campalok, secara umum tembakau Madura sebetulnya telah dikenal secara internasional. Setahun sebelum laporan NG (Indonesia) ini diturunkan, saya pernah menjumpai tembakau rajangan dijual di kota Leipzig, Jerman. Di kemasannya, tertera “Madura Leaf” yang artinya “Daun Madura”. Tentu saya tidak tahu apakah tembakau tersebut benar-benar berasal dari Madura origin atau Jember atau bahkan Temanggung atau mungkin pula dari Lombok dan Adonara. Yang jelas, dari situ saya mengambil kesimpulan sementara bahwa setidaknya bagi masyarakat Bavaria, nicitiana tabacum itu telanjur identik dengan tembakau Madura. Ada pula produsen cerutu Italia (Romeo Y Julieta Medalla de Oro) yang menggunakan “Maduro tobacco” untuk produknya, meskipun, setahu saya, tembakau Madura itu umumnya dijual dalam bentuk rajangan, bukan helai kering (na’us).

Yang ironis, di bulan dan tahun ini, Oktober 2015, harga tembakau di Madura (begitu juga di tempat lainnya, di Jawa Timur khususnya) masih sama dengan tahun-tahun yang lewat, berkisar 25–40 ribu per kilogram dan mungkin akan terus melorot, tidak bisa naik lagi seperti kolor. Ketimpangan harga di atas bisa diukur pada cermin yang lain: sejak zaman saya kecil dulu harganya juga tidak jauh-jauh amat dari angka tersebut. Sementara harga rokok (yang berbahan baku tembakau) terus melambung, bahkan konon akan dipatok pada angka yang sekiranya membuat orang lebih dulu stres sebelum membelinya sehingga mikir untuk berhenti merokok.

Sepintas, melihat kenyataan ini, tata niaga tembakau berarti tergolong perdagangan yang unik. Seingat saya, sejak kecil hingga sekarang, harga tembakau tetap tidak jauh berubah, sementara produk jadinya (rokok) sudah naik entah berapa kalinya. Jika tembakau mungkin gagal panen, rokok tidak pernah gagal jual. Semakin unik, bukan? Lebih unik lagi karena tembakau merupakan barang yang harganya ditentukan bukan oleh penjual (petani), melainkan oleh pembeli. Mengukur kualitasnya pun, antara lain, dengan indera penciuman dan lirikan mata sekilas pandang, seperti melihat calon tunangan. Sulit dirasionalisasi. Jika ada yang bisa menjelaskan urutan rangkaian perilakunya hingga dapat membuat kita percaya, maka sungguh itu pertanda kita sudah sama dengan orang beriman: sepintas tidak rasional, tapi kita percaya saja.

Seperti daerah-daerah lain tempat tembakau ditanam (Lombok, Tuban, Temanggung, misalnya), para petani tembakau di Madura selalu diterkam resah setiap tahun. Mereka senantiasa mengeluhkan hal yang sama: hasil kerja yang dibayar tidak setimpal. Namun, mengapa tembakau terus ditanam?

Pernah saya dengar istilah “kutukan tembakau”. Namanya juga katanya, susah dicarikan alasannya. Ia mungkin semacam mitos; dipercaya oleh sebagian karena terbukti bagi sebagian, tidak dipercaya oleh yang lain karena tidak empiris. Dari seorang petani saya pernah menerima curhatan bahwa dengan menanam tembakau, utang-utangnya lebih mudah dilunasi daripada saat ia menanam bawang dan cabe, misalnya, di musim yang sama. “Kutukan” yang lain adalah bahwa menanam tembakau itu adalah leluri leluhur. Tidak menanam berarti tidak menghargai warisan budaya. Sungguh berat ya ancamannya.

Sejatinya, masih ada banyak alasan nonbisnis yang menghantui benak petani sampai-sampai mereka “terpaksa” menanam tembakau. Pakar folklor mungkin perlu turun tangan untuk menganalisis; benarkah ini mitos “ori” yang berasal dari nenek-moyang atau hanya mitos “KW” yang dibuat baru saja oleh kelompok pemilik modal?

Petani tembakau, jika untung besar, mirip dengan petani cengkih: keuntungan dalam masa tanam 3 bulan cukup untuk hidup 1 tahun. Akan tetapi, derita mereka tampaknya lebih banyak hingga bahkan tidak selesai dikisahkan dalam 1001 malam. Pengambilan poster (contoh) tembakau per satu bal (50–60 kg) yang menyakitkan itu adalah salah satunya. Bagi “bandul” (pembeli, perantara petani dan pemilik gudang tembakau), poster (bisa 3–5 kg atau lebih) dapat dikumpulkan dan akan jadi keuntungan tersendiri karena ia telah jadi tumbal untuk setiap bal, menjadi bagian yang harus raib dari catatan keuntungan petani dalam per setengah ton. Tembakau jadi mirip makhluk halus yang identitasnya tidak banyak diketahui secara nyata tetapi wujudnya tetap dipercaya adanya.

Dari paparan di atas, niaga tembakau begitu banyak dihiasi ironi, mirip puisi. Makin ironis karena pemerintah pun serba bingung mengurus hal ini; di satu sisi ada tuntutan (entah dari asing atau dari pihak tertentu yang memiliki kekuatan besar) agar areal dan lahan tanam tembakau dibatasi dengan cara rokok dilarang di sana sini, di sini lain adanya keuntungan menakjubkan yang dapat dicomot dari cukai rokok yang dalam setahun saja dapat membuat 30-an lebih sejenis Jembatan Suramadu. Gila, kan?

Saya berandai, kalau saja para petani bersatu dan membuat paguyuban atau koperasi, atau sebaliknya; lantas mereka merencanakan mogok tanam selama tiga tahun agar harga tembakau bisa melambung sesuai hukum pasar, saya yakin, pabrik rokok akan tetap enjoy aja. Pasalnya, tembakau yang ngendon gudang-gudang di luar sana itu sangatlah banyak dan melimpah. Embargo model ini tidak akan signifikan, sebab tidak mungkin secara serentak masyarakat bisa mogok massal untuk sesuatu yang mereka anggap sebagai sumber penghidupan. Yang dapat mengubah situasi hanyalah alam. Jika iklim dan cuaca tidak bersahabat selama beberapa tahun hingga terjadi kelangkaan, baru akan terjadi sebuah evolusi atau revolusi (dan mungkin juga revisi) harga tembakau dengan sendirinya.

Akan tetapi, masalah petani saat ini bukan itu. Tata niaga tembakau yang tidak didukung oleh kekuatan hukum dan harus berhadapan dengan modal besar itulah biang keroknya. Kemenduaan negara dan pemerintah daerah juga merupakan masalah. Seperti disebut barusan, satu-satunya lawan seimbang adalah alam. Adanya la nina dan el nino yang membuat cuaca sukar ditebak bagai asmara inilah yang akan membuat dampak secara mengejutkan di tahun-tahun yang akan datang.

Pada saat melihat nasib orang yang lebih tidak lebih beruntung daripada kita, rasa turut prihatin mengumbar. Kita menjadi lebih miris bila memasukkan ocehan orang yang mencaci-maki petani sebagai pengundang azab karena telah menanam tumbuhan yang menopang bid’ah. Apakah hidup sengsara itu kehendak diri sendiri? Baiknya kita tidak melulu berburuk sangka terhadap apa pun yang tumbuh di muka bumi. Tuhan tentu tidak menciptakan tembakau secara iseng. Seperti halnya gadung yang memabukkan sebelum kita tahu cara mengolahnya, di antara kita mungkin ada yang berburuk sangka kepadanya bahwa ia sama sekali tidak berguna. Oleh sebab itu, manusia wajib berpikir positif untuk kesehatan hati dan nalarnya sebelum menganggap lebih penting hal lainnya, apalagi seraya melupakan bahwa kikir dan korupsi jauh lebih berbahaya dan nyata.

M. Faizi
Latest posts by M. Faizi (see all)

Comments

  1. EDI AH IYUBENU Reply

    Tuhan tentu tidak menciptakan tembakau secara iseng. – See more at: http://basabasi.co/keajaiban-campalok-dan-kutukan-tembakau/#sthash.MEnyq34Z.dpuf

  2. Bernando J. Sujibto Reply

    kiai faaizi selalu special kalau soal tembakau plus kopi yg pasti 🙁

  3. Muhammad Ulum Reply

    Biasanya pesta panen tembakau digelar malam hari. Para lelaki ada yang “nyeksek” tembakau, ada yang “adirdir” tembakau yang sudah di-seksek. Sementara para emak masak hidangan untuk para lelaki.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!