Kengawuran Hidup Mark Twain

Judul               : Roughing It (Blusukan)

Penulis            : Mark Twain

Penerjemah    : Djokolelono

Penerbit          : PT. Gramedia Pustaka Utama

Cetak              : Pertama, 2017

Halaman         : 684 halaman

ISBN               : 978-602-03-3876-7

Sebelum menjadi tenar, Mark Twain adalah Samuel L. Clemens yang pernah melewati 7 tahun keluyuran atau blusukan di Nevada, California, dan Sandwich Island atau Hawaii. Inilah episode-episode Mark Twain mengikuti sang Kakak yang menjadi Tuan Sekretaris Nevada, berdamai dengan segala rupa pekerjaan sebelum akhirnya melarat (lagi) dengan cepat, serabutan menikmati zaman Wild West, dan tentu ikut tertular demam perak yang membuat diri sempat berfantasi kaya-makmur dengan amat cepat, tapi nihil. Mark Twain mengisahkan perjalanan tidak tentu arah dan sering salah sasaran di masa 1860-an dengan paduan kocak, lugu, menggebu, dan terkadang mengharu dalam 79 bab buku Roughing It (Blusukan).

Di pengantar, Mark Twain memberikan peringatan tidak keras, “Buku ini sekadar catatan pribadi. Aku tidak berambisi menjadikannya catatan sejarah, atau makalah filsafat. Ini catatan beberapa tahun perjalanan blusukan. Tujuannya sekadar menghibur pembaca yang sedang iseng, bukan mencekokinya dengan metafisika, atau menggiringnya ke suatu ilmu.” Entah sengaja atau tidak, Mark Twain memang lebih ingin membawa pembaca menyimak cerita ngalor-ngidul.

Sejak halaman permulaan, kita sudah mendapati gelagat Mark Twain sebagai seorang pencerita ulung atas peristiwa, tokoh, benda, atau apa saja yang pernah melintas waktu. Bahkan bertemu dengan coyote alias anjing padang rumput atau serigala pertama, menjadi satu bab serius sekaligus mengharukan. Makhluk tidak beruntung, tidak punya kawan, selalu lapar, dan penggertak yang gagal, ternyata sedikit bermartabat memantik sisi filosofis Mark Twain, “Coyote selalu merupakan bentuk hidup kerakusan […] Mengingat keadaannya yang menyedihkan dan nasibnya yang buruk, kami hanya berharap semoga dia mendapat keberuntungan hari itu dan mendapat persiapan makanan cukup untuk esok hari.”

 

Humor

Beralih dari cerita berkuda, coyote, kuda, kriminal paling horor, poni ekspres, tambang, begal, kusir kereta pos, pekerjaan, koran, editor, dan sungguh banyak hal sepele lainnya, Mark Twain tidak gagal mempersembahkan humor yang juga tampil “mengacaukan” dengan khas dalam sketsa humor surat kabar atau novel-novel garapannya. John Mccain dan Mark Salter (2013) mengatakan humor Twain “mengajari kita tentang diri kita, mengungkap kemanusiaan, kekurangan, maupun rahmatnya, demi menelaah moral kita sendiri.” Cerita dan kuliah lucu Twain dari perjalanan ke Hawaii juga, “menandai kebangkitan seorang Sam Clemens dari Hannibal, Missouri, pekerja magang percetakan, mualim kapal uap, pencari emas, dan orang yang mengakui kegagalannya, menjadi Mark Twain—bintang besar yang menanjak dengan cepat, si pengejek jenaka bagi orang-orang yang sombong, angkuh, dan tidak jujur.” Tentu, korban kecerdikan satirenya tidak hanya orang lain, tapi juga dirinya sendiri.

Di bab “Kerja Apa Lagi”, kita bisa mendapati betapa satire hidup Mark Twain melakoni hal yang tidak terlalu disukainya: bekerja, yang sah menahbiskannya sebagai pengomel, pemalas, dan pembantah. Namun, kegagalan-kegagalan Mark Twain jadi wujud perlawanan pada hal yang tidak sreg dijalani. Ia bercerita, “Pernah bekerja di toko buku, tapi aku merasa para pembeli terlalu banyak mengganggu sehingga aku tidak bisa membaca buku dengan tenang. Pemilik toko buku memberiku cuti dan lupa membatasi cuti itu sampai kapan. Aku bekerja di toko obat merangkap toko minuman ringan selama sebagian musim panas, tetapi agaknya aku terlalu banyak menganjurkan pelanggan membeli pompa-perut daripada membeli soda. Jadi, aku terpaksa pergi lagi.” Meski sempat girang menulis lepas, seperti untuk koran Virginia Daily territorial Enterprise, Mark Twain masih sempat lugu-melankolis mengakui, “Akhir-akhir ini rasa senangku pada redaksi koran itu menurun, karena agaknya mereka selalu mempunyai tulisan lain selain tulisanku untuk dimuat.” Aduh!

Pada masa puncak demam perak, tidak hanya bar-bar, kantor polisi, tempat judi, dan rumah pelacuran, bahkan penjara juga menjadi penuh. Mark Twain menandai dinamika kota yang bertumbuh menjadi cepat, ramai, dan liar, termasuk lewat kemunculan koran-koran “bermutu sastra”. Salah satunya Mingguan Occidental di Virginia. Namun, mingguan ini terlalu lemah menghadapi masalah internalnya sendiri. Apesnya, pada edisi yang seharusnya memuat puisi Mark Twain, mingguan gagal naik cetak dan setelahnya mati dengan damai. Sebagai pembalasan dendam, Mark Twain memuat sendiri puisinya di halaman 413-418 Roughing It. Dalam kegagalan hidup bertubi-tubi, Mark Twain masih pernah berbangga dengan puisinya yang dikatakan sebagai “puisi terhebat pada zaman itu”.

Pada beberapa cerita, kita pun mendapati betapa dekat jarak antara Mark Twain dan kematian. Namun, kita boleh bersyukur pada Tuhan karena tidak lekas memanggil Mark Twain di usia muda, di masa-masa demam perak, sebelum membuat Amerika dan dunia tertawa. Dan tentu saja, membaca 680-an halaman catatan keluyuran Mark Twain sungguh menjadi jeda pelarian atau malah tindakan “kurang kerjaan” menyimak hal-hal sepele. Barangkali, hanya orang-orang yang sungguh nganggur, tidak gemar bekerja, dan siap menertawakan diri atau apa saja, sanggup merampungkan buku catatan tebal ini dengan kelegaan penuh bahagia. Menyimak sukarela potongan hidup Mark Twain yang sangat sempat ngawur, gagal, melarat, dan konyol.

Setyaningsih
Latest posts by Setyaningsih (see all)

Comments

  1. Anggraini Reply

    Jadi, buku ini direkomendasikan untuk “sebaiknya” dibaca atau tidak? 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!