Kentutlah yang Benar

punakawan_wp2

Karang Kedampel kembali heboh. Setelah hilangnya Semar dalam jagat Arus Bawah-nya Cak Nun, si tua bertubuh tambun itu pun muncul kembali. Kini, kehadirannya untuk menentukan keputusan yang nggak amat-amat penting, tetapi sangat diperlukan untuk meluruskan sejarah dan menjaga adat budaya.

“Sudah semestinya Petruk diberi pelajaran, Romo,” ujar Gareng, sambil melinting tembakau srintil-nya.

“Hmm…, apa sebetulnya kamu ingin mengatakan kalau Romomu ini tidak mendidik adikmu, Reng?” tanya Semar yang leyeh-leyeh di dipan bambu.

“Bukan begitu, Mo. Tetapi alangkah baiknya jika si hidung panjang itu dikasih pelajaran lagi. Ya, agar tindak-tanduknya tidak merusak kebangsawanan keluarga.”

Semar yang mendengar hanya mesem kecut. Ia paham maksud anaknya, tetapi salah apa si Petruk. Bukankah memang begitu kelakuannya: menerjang aturan yang berlaku?

“Tingkah laku Petruk sudah menjadi perbincangan hangat di jagat maya, Mo. Kemarin, saat merti desa tiba-tiba ia kentut yang tidak selazimnya,” ungkap Gareng.

Lha dalah…, apa kentut bukan hal yang lazim, Reng? Bukankah kentut memang begitu adanya: keluar dan menyesap ke semua hidung?”

“Tetapi kentut Petruk sudah merusak tatanan, merobohkan paugeran desa, Mo. Boleh saja kentut, tetapi mbok ya sesuai dengan aturan yang berlaku.”

“Hahaha…. Kamu mengada-ada, Reng. Kentut kok merusak paugeran. Sejak kapan kentut masuk paugeran?”

“Sejak orang menyepakati perihal bunyi kentut, Mo.”

“Siapa yang menyepakatinya?”

“Orang-orang yang ahli kentut dan membunyikannya dengan baik. Lalu,  ilmu berkentut itu diturunkan kepada orang-orang di sekitarnya.”

“Apa mereka yang menerima ilmu berkentut itu mengikuti?”

“Iya, Mo. Bahkan, saking banyaknya peminat, para suhu itu akhirnya membuka kursus berkentut. Semakin hari semakin banyak peminatnya. Mereka sampai kerepotan mengasuhnya. Kemudian, mereka mempunyai ide untuk membuat jadwal kursus kentut yang sahih.”

Semar hanya bisa dlongob mendengar ujaran anaknya.

“Romo nggak usah heran. Itulah kenyataannya di Kareng Kedampel ini. Seharusnya Romo sebagai lurah lebih mafhum perihal kentut.”

“Yang aku heran, kok ya ada orang tertarik dengan cara berkentut, Reng.”

Lhah, Romo ini bagaimana, bukankah kentut menunjukkan kepribadian seseorang? Semakin pintar berkentut berarti orang yang bersangkutan juga lihai dalam kehidupannya, Mo. Apa Romo tidak pernah kentut sehingga seolah-olah tidak tahu cara berkentut?”

Ngawur kamu. Aku kentut saat orang-orang sedang tidur, sedang berkelana di alam mimpinya. Bahkan, kentutku di alam mimpi, Reng.”

“Romo hebat.”

Semar menggeliat, perutnya sedikit mules. Ada sesuatu yang ingin menyeruak dari lubang anginnya, tetapi cepat-cepat ia menahannya. Sebab, ia sudah terlanjur berucap kalau kentutnya hanya pas saat mimpi. “Lantas, apa yang dihebohkan dari kentutnya Petruk, Reng?” tanyanya kemudian.

“Kentut Petruk tidak selumrahnya kentutnya orang-orang Karang Kedampel, Mo. Boleh dibilang, kentutnya Petruk membuat runyam Jonggring Saloko. Nah, yang dikhawatirkan para penduduk Karang Kedampel adalah murkanya Sang Hyang.”

“Wah, segitu gawatkah, Reng?”

“Bisa jadi, Mo.” Gareng berhenti sejenak. Hidungnya yang mulai mbeler ia usap dengan kaus partai yang ia dapatkan dari kampanye kemarin. Ia bertutur lagi, “Romo pasti tahu, kalau tata cara membunyikan kentut di Karang Kedampel hanya ada lima jenis: cis, cus, ces, tiut, dan tot. Kemarin, bunyi kentutnya Petruk tidak memenuhi kelima jenis cara berkentut tersebut.”

“Terus, bunyi kentutnya Petruk bagaimana Reng?”

“Pokoknya lucu, Mo. Konon, kentutnya Petruk membuat telinga orang merasa geli. Ada yang beda.”

“Hahaha…, jangan-jangan mereka yang protes itu memang tidak akrab dengan bunyi kentutnya Petruk?”

“Jelaslah, Mo. Kalau akrab tentu mereka tidak akan protes dan menganggap kentutnya Petruk itu bid’ah mughaladhah!”

“Hahaha…, pasti orang-orang protes itu ketularan penyakit dari Negeri Kolo-Kolo, Reng.”

“Aku tidak tahu, Mo. Yang pasti, tugas Romo sekarang adalah membenarkan cara berkentutnya Petruk. Jangan sampai Sang Hyang murka hanya gara-gara kentut yang merusak paugeran.”

“Sebentar, Reng. Sebelum kita menegur Petruk, alangkah baiknya kalau kita mencoba menelisik bunyi kentut yang sudah menjadi pakem di Karang Kedampel ini.”

Keduanya diam sejenak, tetapi tangan mereka saling berebut ubi rebus yang tinggal secuil. Ah, akhirnya Gareng yang berhasil mengambil sisa camilan tersebut.

“Apakah kamu tahu, Reng, kalau sejatinya Sang Hyang memakemkan bunyi kentut?”

“Tidak, Mo. Yang aku tahu sekadar ‘berkentutlah yang sopan’. Itu saja.”

“Kalau begitu, berarti Dia membolehkan hamba-Nya kentut dengan suara-suara tertentu, misalnya kentut ala Petruk?”

“Aku juga tidak tahu, Mo. Mungkin saja boleh.”

“Kalau kamu tidak tahu, kenapa ikut-ikutan menghujat kentutnya Petruk?”

“Karena orang-orang mengatakan kentutnya Petruk tidak sesuai pakem, Mo.”

“Pakem yang lima itu?”

“Iya, masak ada lagi?”

“Lantas, kamu tahu asal-usul, sejarah, munculnya tata cara membunyikan kentut yang lima itu?”

“Tidak, Mo. Yang aku tahu, konon, bunyi kentut yang sudah menjadi pakem itu diajarkan oleh para guru yang datang dari negeri seberang.”

“Bagaimana kalau ternyata pakem perkentutan yang telah diajarkan oleh para guru itu tidak lain sebuah kebiasaan melagukan kentut dari negeri asalnya? Gampangnya, kentut itu hanyalah hasil budaya dari negeri tersebut?”

“Bisa jadi, Mo. Namun, itu sudah menjadi lagu yang diamini banyak orang, Mo. Siapa yang ingin berkentut, selagi masih di Karang Kedampel, harus manut dengan paugeran tersebut.”

“Nah, inilah celakanya kita. Tidak pernah menelisik asal-usul tersebut. Kita hanya manut dan menganggap bunyi kentut yang lima itu seolah-olah dari langit. Padahal, Sang Hyang menciptakan kentut yang sama. Yang membedakan adalah dari silit siapa gas beracun itu keluar. Soal bunyi, itu sangat tergantung bentuk dan tebal tipisnya lubang angin tersebut. Tak ada perintah melagukan kentut, yang ada adalah berkentutlah dengan baik.”

“Kalau begitu, apa kelak akan ada kentut yang dibunyikan dengan jazz, Mo?”

“Boleh jadi. Tetapi, aku kira sangat-sangat tidak mungkin.”

“Kenapa, Mo?”

“Ya, selagi masih ada paugeran seperti yang kamu katakan itu.”

Hingga sekarang kentut Petruk menjadi berita hangat di media-media online Karang Kedampel. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Padahal, masyarakat kahyangan adem ayem menghadapi kentutnya Petruk. Biasalah dunia online, maya, siapalah yang tahu batang hidungnya.

Dan kehidupan Karang Kedampel yang suka membesar-besarkan masalah akan terus begitu sampai elek, sampai tuek. Pokoknya njeplak, eksis, njeplak, eksis. Makanya berisik!

Sumber gambar: wayang.wordpress.com

Pangruwating Diyu
Latest posts by Pangruwating Diyu (see all)

Comments

  1. Wahidian Reply

    bajigor…ngentut ae pakek yang benar-benar, yo ayoh kapan kita ngentut bareng, ambunya entutmu mbah…apek…

  2. Riski Francisko Reply

    hahaa.. 😀
    keren, keren..

    tapi, ada yg ngganjel di otak saya, apa kentut yg dibicarakan di sini benar-benar ‘kentut’ yang ‘itu’? atau hanya pengalihan dari hal lain; nama samaran? 😀

  3. Aisy Az Zahra Reply

    Esai ni lg nyindir yg sempet heboh beberapa wkt yg lalu, diganti ma kentut, kasihan pak menterinya dihujat pasukan sok suci yg merasa jd sekretaris Tuhan, asal ngejudge kek mereka dah ke-PD-an dpt jatah tanah surga. Ambruxx

Leave a Reply to Wahidian Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!