Kota-Kota Peristiwa dan Kemungkinan Lain

Judul               : Pacarku Memintaku Jadi Matahari

Penulis            : Reza Nufa

Penerbit           : Basabasi

Tebal               : 180 halaman

Cetakan           : Juni, 2017

ISBN               : 978-602-66511-9-8

Kota-Kota Peristiwa yang diciptakan Reza Nufa, bukan berkonsep arsitektur kisah: Ibergekumene tsores iz gut tsu dertseylin.

Pepatah bangsa Yahudi tersebut adalah template bagi cerita kegemaran manusia lumrah. Dari lintasan zaman—pintasan ruang—retasan waktu; sama polanya. Dan Reza Nufa ini kali berisik, dan berbisik: “di antara”. Ia kadang nongol dengan tengil, dan usil, untuk menjadi “yang mungkin”. Meski, tak sepenuhnya. Walau, tak seutuhnya. Namun, ia menarik adanya.

Saya senang membayangkan sebuah teks-kisah sebagai kota. Juga teks-kisah dalam buku ini.

Di hadapan ragam dan bangunan kata-kata, bukankah seorang pembaca hanyalah pelancong?

Lihat saja Anda, si Pembaca Itu, kini sedang berjalan jauh di dalam duduk-statis. Anda tengah berbicara di dalam khusyuknya diam. Anda sedang melihat semesta lain di hadapan ciutnya lembaran buku.

Anda, juga saya, apabila memulai kata pertama dalam teks-kisah seakan menapak kaki di gerbang Kota-Kota Asing dengan serba-neka penghuninya.

Anda mencoba bertemu dengan kemungkinan. Anda mencoba tersesat atau terperangah—bertamu atau terusir—memeluk atau memukul—tertawa atau menangis—kecewa atau terpana—teringat atau terlupa—bergejolak atau hambar—mampir atau melipir—dan seterusnya.

Dan, di dalam Kota Teks Fiksi, pre-reading-plan hanyalah brosur kelabu.

Ia mengurangi kenikmatan menjadi seorang musafir di antara Kota-Kota Peristiwa; di antara kota-kota pada kunjungan pertama. Namun, bukan berarti ia tidak berguna sama sekali seolah hanya tanda baca ziq, yang baru saja saya temukan saat menulis pengantar ini, dan tidak tahu untuk apa fungsinya.

Dan saya telah berjalan di dalamnya.

Ada kalanya, kota-kota itu terbuat dari negasi-atas-kebosanan.

Reza Nufa kemudian menawarkan penghuni-penghuni “tak lazim-tak tertata” di dalamnya. Misalnya, manusia dan Anjing, dengan “A” besar, yang sedang bertukar-tangkap jiwanya; sikap hidupnya. Meski di sana, tetap saja—sebagaimana kota-kota di muka bumi yang selalu memiliki saluran air dan bau pasar sama—ada dan akan selalu ada tabiat para pendongeng; menggosipkan Yang Gaib dan mewartakan aplikasi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lagi pula, tidak bisa terlepas. Batu bata terbuat dari tanah.

Cerita-cerita terbuat dari masalah.

Jika mau menulis kisah tanpa pesan apa pun, maka menulislah di atas air. Bahkan kalau Anda benar-benar menulis di atas air, itu pun sebuah pesan untuk tidak berpesan.

Demikian, kurang lebih, nasihat yang tidak pernah ada dari Dr. Methyl Salicylate.

Dan ada kalanya kota-kota bisa berdiri sesuka hati. Mau madya, kecil, baru, tua, lama, itu bukan ukuran yang dibuat oleh penciptanya.

Mau memiliki perangkat, pelacuran, perangkat pelacuran, pelacuran para perangkat, abaikan. Panjang atau pendeknya kisah, tidak lagi jadi beban dalam cerita-cerita Reza Nufa. Bahkan, ia mengubrak-abrik kemapanan tata-tertib peristiwa; mengencingi relasi kausalitas; merayakan akibat-akibat tanpa awal mula.

Seperti memasuki sebuah kota pasca wabah demensia, saya sempat tersesat di daerah dengan orang-orang bawel.

Mereka membicarakan apa saja yang melintas dalam kepala—seakan mumpung belum hilang.

Kota-Kota Peristiwa yang semacam ini sepertinya dibangun bukan sebagai wahana solusi kependudukan dan populasi.

Kota teks-kisah itu dibangun untuk merayakan kekecewaan manusia atas hidup dan mati—satu; atas manusia hidup dan manusia mati yang lain—dua, dan atas Yang Membuat Manusia Hidup dan Mati dan Yang Membuat Manusia Hidup Bersama Manusia Hidup dan Bersama Manusia Yang Mati—tiga. Ia mengajari kita cara merayakan batas antara kesadaran dan kegilaan dengan cukup brilian.

Dengan latar urban, seks, alkohol, dan cinta, ironi-ironi kadang melesat. Kadang, tersendat.

Ia merangkai yang tak terkira. Apa yang melesat kepala dipasang. Apa yang ada di sekitar dicentang.

Ia mengejutkan karena tak terukur. Karena, “ngawur”.

Ia ekspresif seperti belut yang dicelupkan ke cat, lalu dibiarkan menggeliat perih, mengumpat sedih, di atas kanvas putih yang sempit. Kemudian, ditinggalkan. Ia membangun arsitektur di mana cerita hadir sebagai cerita itu sendiri. Kota sebagai kota itu sendiri. Peduli amat mau dimengerti. Peduli temannya amat mau dikunjungi atau tidak.

Yang penting, penulisnya sudah bercerita sebagaimana matahari, misalnya, harus memancarkan cahaya yang dikandungnya.

Perkara mau mengeringkan baju penerimanya, jadi gerhana, tanggal merah, memberi vitamin, melangsungkan fotosintesis, menerangi kegelapan, atau menjadi bayang-bayang dan sepotong puisi, itu persoalan lain.

Dan ada kalanya, kematian memang hadir sebagai cara untuk merayakan kehidupan.

Huruf-huruf yang tidak diketahui sebagai cara merayakan kebodohan. Bahasa-bahasa yang tidak dimengerti sebagai cara merayakan diam. Dan buku-buku yang belum dibaca sebagai cara merayakan dangkalnya pengetahuan.

Pertama-tama, saya mendapatkan varian kesan tersebut, setelah menelusuri Kota-Kota Peristiwa yang Reza Nufa ciptakan.

Namun demikian, ada kesan lain yang tak kalah penting.

Di balik gairah ekspresif, makian, personifikasi, ungkapan-ungkapan unik, ada ritme yang berulang. Ada alam bawah yang menjadi filosofi kota-kota kisahnya—sadar atau tidak sadar. Ada yang semacam alarm berulang di Kota Pyongyang pada pukul lima pagi.

Perulangan ini seperti anak kecil dan masa kecil.

Masa kecil adalah bangunan dasar bagi manusia dewasa.

Kehilangan, berulang. Kematian, berulang. Cinta yang tak wajar, berulang. Menunggu yang tak pasti, berulang. Perjalanan, berulang. Gunung, berulang. Film dan lagu-lagu, berulang. Yang patah dan dipatahkan, berulang. Yang tarik-ulur dengan Yang Gaib, berulang. Yang kesemuanya bertemu dalam titik dua.

Yakni, kecewa.

Dengan menemukan ini di sela-sela fondasi kota-kisahnya, saya telah mendapati penghuni-penghuni kota yang sebagian besar kecewa.

Dan Anda harus segera bertemu dengan mereka.

Kalau perlu, sudahi saja baca pengantar ini.

Lalu temuilah mereka yang kecewa pada hidup—kecewa pada kematian—kecewa pada yang lalu—kecewa pada yang akan datang—kecewa pada diri sendiri—kecewa pada orang lain—dan pada puncaknya, kecewa pada kekecewaan itu sendiri.

Mereka tersebar dengan berbagai wujud dan peralihan wujud—dengan pembelahan menakjubkan—di antara nama-nama kota, judul-judul cerita.

Mereka meringkuk di dalam permainan bentuknya, percobaan berisiknya, dan penyajian apa adanya yang melintas dalam kepalanya. Yang kesemua itu ditulis dengan bagus oleh penulis muda yang hebat, serta terkenal ini.

Lantas, yang mesti Anda tandai di kota-peristiwa bentukan Reza Nufa adalah bahwa ia mencoba untuk melawan arus kisah terkenal. Ia tidak bercerita tentang kesulitan yang teratasi sebagai bahan yang menyenangkan untuk diceritakan—dan orang lain senang membacanya—sebagaimana pepatah bangsa Yahudi di paragraf pertama.

Ia justru bercerita tentang, dan di dalam, kesulitan-kesulitan itu sendiri. Ia belum tahu dengan cara apa semuanya harus berakhir.

Haruskah kematian? Tunggu. Bacalah lalu coba katakan hal lain.

(2017)

Eko Triono
Latest posts by Eko Triono (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!