Lurah

kfkdotkompasdotcom

Malam satu Suro. Tidaklah terlalu ngawur jika disebut sebagai malam lebarannya para dedemit. Walau tanpa kesepakatan, malam satu Suro telah ditahbiskan sebagai hari paling mistis di tanah Jawa.

Tidak bagi Suradji. Dia lebih takut jika proyeknya gagal daripada bualan yang beredar di kampungnya. Malam satu Suro selalu meminta tumbal. Seorang pasti akan mati, tepat tengah malam. Begitulah yang menjadi ketakutan banyak orang. Otak Suradji yang logis tentu tidak memasukkannya dalam hal yang harus dihindari, apalagi sampai ketakutan untuk keluar rumah.

Suradji menggedor pintu rumah Mbah Lurah. Darurat, cukup menjadi kata ampuh agar Mbah Lurah mau membukakan pintu rumahnya.

Suradji menyesap kopi tubruk hitam yang terhidang. Bibirnya mengerucut seperti ikan nila yang berebut pelet. Kumisnya yang setebal ulat kayu membuat wajahnya yang tirus menjadi seperti lelucon.

“Urusanku malam ini bukan hanya berbincang ngalor ngidul denganmu. Kalau kau tidak keberatan, kau utarakan secepatnya, apa maumu?” Mbah Lurah tidak menunjukkan sebuah kesabaran.

“Kami menaikkan tawaran. Kalau sampeyan tidak tergoda dengan dua puluh lima juta, kami akan gandakan. Dua kali lipat.” Senyumnya yang tipis sebenarnya cukup menggelikan.

“Berapa kali harus kukatakan. Aku tidak akan menandatangani proposal perusahaanmu.” Mbah Lurah mengatakannya dengan tegas.

Mbah Lurah menggapai bungkus rokok Gudang Garam di mejanya. Sempat dia tidak mau mengambilnya. Wajar jika dia menaruh curiga. Siapa yang tahu isi pikiran Suradji yang sebusuk kentut hansip. Bisa saja, sebuah racun arsenik teroles di gabus rokok itu. Tapi, Mbah Lurah tidak tahan. Mulutnya terasa kecut jika tidak menyedot asap tembakau. Biarlah. Memangnya, racun bisa membunuhnya?

 “Hahaha…, kau rupanya sudah pandai berjual mahal. Sekarang lima puluh juta sudah tak menarikkah bagimu?”

“Bancak gunung yang hanya dipandang sebagai koreng. Merusak pemandangan. Panas, gersang, juga tidak terlalu berhumus. Hanya ada rumput dan duri. Pohon juwet dan jambu mete cukup lumayan bisa bertahan tumbuh di lerengnya. Selain itu? Mungkin hanya singkong dan padi gogo yang hanya bisa ditanam saat musim hujan. Rasanya NJOP yang hanya tujuh ribu lima ratus  rupiah per meter persegi bisa menggambarkan kelas tanah di lereng Bancak.”

Suradji mangkel. Dia belum lupa saat Mbah Lurah tadi bilang jika dia mau gegas ada urusan, tapi kenapa justru dia sendiri malah ngomong ngalor ngidul.

 “Sembilan tahun sudah, sejak aku pertama menanam bibit jati pertamaku di lereng Bancak. Awalnya, semua orang menganggapku sudah sinting saat membeli berhektar-hektar tanah tandus itu. Kau juga salah satu yang menertawaiku waktu itu. Tapi, aku tidak peduli dengan anjing-anjing itu. Aku terus menggarap Bancak, mendatangkan bibit jati berkualitas dari Blora. Daun demi daun pun tumbuh. Bancak menghijau perlahan. Kini, ribuan pohon jati yang menjulang membuat Bancak bisa disebut sebagai gunung, bukan gundukan tanah lagi. Hijaunya Bancak adalah kebanggaanku, juga bungkaman untuk mulut orang-orang yang menertawaiku dulu. Jadi, perlu alasan yang besar untuk membuatku melepaskan tanah itu.”

“Jati harganya memang semakin cantik, Mbah. Tapi, bukankah kau juga tahu, harga marmer berlipat banyak daripada jati. Apakah rupiah ratusan juta bukan alasan yang tepat?”

“Kau tahu, apa yang terjadi di Bancak setelah aku jadikan hutan jati?”

Karena Suradji hanya diam, Mbah Lurah melanjutkan.

“Mudahnya menanam dan membesarkan jati, serta nilai investasi jati yang menjanjikan, membuat mereka tersadar. Jati bukan sekadar kayu, tapi tabungan, bahkan dana pensiun. Mereka yang matanya mulai terbuka, tak sungkan lagi mengikuti langkahku. Tanah Bancak mulai banyak diburu, dijadikan hutan jati. Lihatlah betapa cantiknya Bancak sekarang. Hijau, dan perlahan mengalami penurunan suhu udara. Juga, yang sebenarnya tanpa kuperhitungkan adalah efek sampingnya. Dengan banyaknya pohon yang ditanam, air yang ditahan akar-akar pun sebanding lurus. Tengoklah, sekarang tidak ada warga yang berpayah turun ke Kali Kenteng untuk mandi. Sumur sudah bisa digali di lereng Bancak.”

Bagi Suradji, penjabaran Mbah Lurah tak lebih sebuah omong kosong. Dia yakin sekali jika Mbah Lurah berusaha menaikkan nilai tawar.

“Tambang marmer dalam skala industri akan merusak Bancak. Tidak akan kubiarkan seorang pun melukai Bancak.”

“Apa kamu terserang penyakit mematikan, Mbah?”

“Kau mendoakan aku cepat mati?”

“Aku pernah mendengar, jika orang yang tengah sekarat perkataannya berubah aneh. Sardi yang kukenal dengan baik, tidak peduli dengan hutan hijau. Sardi, akan melakukan apa pun demi uang. Termasuk membabat hutan.”

Tidak ada yang berubah dari Mbah Lurah. Jujur saja, dia sangat tergoda dengan temuan bijih marmer di Gunung Bancak.

Sebulan yang lalu. Hujan turun dengan deras di puncak Bancak. Membuat bagian tebing yang menjorok di bawah puncak, longsor beberapa meter. Di balik tanah hitam yang hanya ditumbuhi rumput kering itu, muncul bebatuan berwarna putih pucat. Awalnya, penduduk sekitar mengira jika bagian itu bebatuan padas atau gamping. Memang sering, pacul terantuk padas saat membuat sumur. Tapi, setelah dicek secara kimiawi, kandungan batu itu memang dolomit dan kalsit. Nilai ekonomi tambang segera diperebutkan banyak pihak. Yang paling bernafsu tentu saja Suradji. Tapi, Mbah Lurah tidak akan menyetujuinya. Bancak tidak boleh terjamah oleh orang luar. Di situlah tempat jiwanya dibelenggu.

Proposal Suradji sudah tiga kali dia baca. Saat menelisik bab bagi hasil, dia tak mungkin tidak tergoda. Juga dengan gagasan untuk mempekerjakan warga sekitar. Atau dana CSR 2.5% dari laba bersih. Uang tersebut bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur desa. Itu semua bisa menjadi kampanye pencitraan gratis baginya. Sebulan lagi, masa jabatannya sebagai lurah akan berakhir. Merasakan nyamannya menjadi lurah, dia ingin maju sekali lagi.

“Mbah, ini penawaran terakhir, seratus juta.”

Suradji seorang militan. Dia akan terus mengejar apa yang dia mau.

“Selama aku masih menjadi lurah, Bancak tidak akan pernah menjadi supermarket marmer.”

“Hahahaha….”

Tawa Suradji bergaya sinis.

“Desa ini bukan kerajaan yang diwariskan turun-temurun. Tapi, sejak zaman Soekarno, garis keturunanmu memang selalu berhasil merebut tangkup jabatan lurah. Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Tapi, akan kupastikan jika tradisi lurah di keluargamu akan berakhir padamu. Kau tidak mungkin lupa, kan, aku mengetahui semua kongkalikong yang kau lakukan. Aku punya cukup bukti dan data untuk memenjarakanmu.”

“Kau mengancamku?”

Kemarahan Mbah Lurah sudah sampai di ubun-ubun. Suradji adalah kongsi yang selama ini dia percaya. Hampir semua proyek bawah tangan yang Mbah Lurah rencanakan, dieksekusi dengan mulus oleh Suradji. Tentu Suradji bisa dengan mudah mengungkap semua boroknya.

“Aku bukan hanya mengancammu, tapi benar-benar akan mengakhiri riwayatmu sebagai lurah.”

Dengan marah pula, Suradji menyabet proposal yang tertaruh di meja. Dia tidak mengucap permisi saat berjalan seruduk ke luar. Motor matic-nya bergaung dengan kasar saat meninggalkan halaman rumah Mbah Lurah.

Mbah Lurah tak gentar dengan ancaman itu. Dia tetap tenang. Dia hendak mengambil besek ubo rampe-nya saat secara tidak sengaja melihat sehelai rambut yang ujungnya sudah beruban di sandaran kursi tempat Suradji tadi duduk.

***

Bancak merupakan perbukitan, gabungan dari beberapa bukit yang bersejajar. Berbentuk hampir persegi, seperti asbak jika dilihat dari atas. Juga sebagai tapal batas dari tujuh desa di empat kecamatan. Mbah Lurah menyelesaikan dakiannya ke Puncak Seprecet, puncak tertinggi di bujur barat. Tidak ada yang tahu pasti berapa tinggi bukit itu. Sampai sekarang belum ada yang melakukan pengukuran dengan benar. Yang jelas, untuk mencapai puncaknya, tidak akan memakan waktu lebih dari setengah jam, jika dilakukan orang dewasa yang sehat.

Mbah Lurah menyandarkan punggungnya pada batu gilig yang tepat berada di puncak. Dia berupaya mengobati kelelahannya dengan membiarkan matanya menikmati pemandangan yang agak kabur malam ini. Sembari menunggu tengah malam tentunya. Dari kelelahannya, dia menyadari jika dia sudah tidak muda lagi. Seperti malam ini, dia perlu waktu satu jam untuk sampai di puncak. Rekor paling lama sejak enam tahun terakhir.

Napas yang dalam dia ambil. Mbah Lurah tidak bisa bersantai lama, karena saat dia melirik ke arlojinya, jarum pendek dan panjangnya bertumpuk di angka dua belas.

Mbah Lurah membuka besek yang sudah disiapkan istrinya. Ayam kintamani terikat kuat di dalam. Keris Kanjeng Mayar yang seperti tengah meraung kelaparan, menonjol di bawah taburan kembang tujuh rupa. Menyan dan seikat merang ditaruh rapi di sudut besek. Berjajar dengan selilit kain mori.

Bunga dia tabur di sekeliling batu gilig itu. Merang dia bakar. Lalu, menaruh menyan di atasnya. Asap menyan yang berbau khas membumbung, menjadi jembatan ke alam gaib.

Mulut Mbah Lurah membaca mantra. Lirih dan mendesis seperti ular. Kalimatnya tidak jelas, juga tidak masuk bahasa mana pun. Mungkin, memang itu bahasa yang dia gunakan untuk berkomunikasi dengan lelembut.

Setelah mantra paripurna terucap, jago kintamani direnggutnya. Ayam jantan berbulu hitam legam itu berontak. Tapi, kekang di kaki dan sayapnya membuatnya tidak berkutik.

Keris dia cabut dari sarungnya. Motifnya serupa ular yang meliuk-liuk. Berwarna kuning agak legam. Jago sudah tergeletak di tengah batu. Lalu, dengan sekali tusuk tepat di tembolok, jago itu sekarat. Darah merah mengucur dari luka di lehernya. Dia menjangkau lilitan kain mori dari besek. Sehelai rambut yang setengahnya sudah menguban, dia tarik dari lilitan mori tersebut. Dia menjatuhkan rambut itu di atas darah jago yang mulai membasahi seluruh permukaan batu.

Suradji yang baru turun dari motornya berteriak melenguh kesakitan. Dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah tanpa sebab. Saat itulah, darah jago kintamani yang melekat di batu gilig berubah hitam.

Sumber gambar: Kfk.kompas.com

J.J. Sugianto
Latest posts by J.J. Sugianto (see all)

Comments

  1. kadarwati TA Reply

    santet ya?? ih ngeri banget.
    bagus ceritanya 🙂

  2. Ade Ubaidil Reply

    waaah, tan sugi mendahului. keren!

  3. Indri Fitria (verlit ivana) Reply

    keren banget ceritanya.

  4. Nur Sulistiyaningsih Reply

    Suka sama diksinyaaa :3

  5. Pratiwi Reply

    shin sugi!

  6. أسميرى فيا Reply

    Wihiii Shin Sugiii… akhirnya kubaca jugaaa!!
    Sadis ih santet-santetannya…

Leave a Reply to أسميرى فيا Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!