Menelusuri Jejak Kemanusiaan Y. B. Mangunwijaya

cttnsjrk.blogspot.co.id

Ingin membayar utang kepada rakyat.” Begitulah kira-kira obsesi almarhum Yusuf Bilyarta Mangunwijaya semasa hidupnya. Sebuah komitmen hidup yang kemudian menuntun derap langkahnya untuk mendermakan diri membantu kaum miskin. Romo Mangun—begitu sapaan akrabnya—percaya bahwa rakyat kecil-lah yang sesungguhnya paling banyak berkorban dan menderita pada saat perjuangan kemerdekaan dulu. Itulah sebabnya ia begitu kekeuh membela manakala rakyat jelata itu diperlakukan semena-mena. Keberpihakannya pada kaum marginal itulah yang barangkali membuat sosok Romo Mangun begitu membekas di ingatan banyak orang.

Dilahirkan di Ambarawa, Jawa Tengah, pada 6 Mei 1929, Romo Mangun merupakan pribadi unik yang dilekati aneka-macam bakat. Ia bukan hanya seorang arsitek, pastor, atau sastrawan, melainkan juga seorang pejuang kemanusiaan. Sebagai bekas prajurit, Romo Mangun mengerti betul bahwa kaum alit kerap kali menjadi tumbal keganasan kalangan elite. Karenanya, selain bertugas sebagai pastor, pengajar, penulis kolom di berbagai surat kabar, Romo Mangun juga aktif sebagai pekerja sosial. Hal tersebut setidaknya menyiratkan bahwa panggilan hidup Romo Mangun tak terbatas pada lingkungan gereja saja, tapi juga bersumber dari jeritan lirih kaum pinggiran sekitarnya.

 

Sastra Berpihak

Pemihakan Romo Mangun pada kaum melarat pun terpancar jelas dari karya-karyanya. Wajah-wajah murung kemanusiaan dan nasib orang-orang kalah seolah menjadi napas yang menghidupi tiap karyanya. Bersastra, bagi Romo Mangun, tak mesti melulu menyajikan khayalan yang nirpesan. Sastra tak ubahnya dokumen sosial yang mampu melukiskan kondisi nyata masyarakat. Roman Burung-Burung Manyar, misalnya, ditulis Romo Mangun ketika ia tengah berkecimpung dalam kegiatan sosial di Grigak, Gunung Kidul. Sama halnya dengan novel Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa ditulis saat ia mendampingi warga Kali Code. Begitu pun novel Durga Umayi, tak lain sebentuk protes terhadap rezim Orde Baru atas penggusuran tanah rakyat di Kedungombo.

Di samping itu, jejak-jejak kemanusiaan Romo Mangun juga bisa ditelusuri melalui cerpen-cerpen yang pernah dihasilkannya. Serakan-serakan cerpen sebagaimana terangkum apik dalam buku Rumah Bambu (KPG: 2012), misalnya, bisa dibilang artefak lain yang mampu menerangkan lekuk-liku keterlibatan Romo Mangun membela kemanusiaan. Tema yang dianggit Romo Mangun tak melulu terpaut dengan narasi-narasi besar yang rumit, melainkan beranjak dari ragam persoalan remeh-temeh seputar gejolak nasib kalangan masyarakat bawah.

Dalam kisah “Tak Ada Jalan Lain”, misalnya, Romo Mangun menghadirkan sosok Baridin. Demi menyambung tali hidup, Baridin terpaksa mengubah dirinya menjadi biduanita jalanan. Ngamen sembari berlagak seperti banci dari emperan tokoh satu ke emperan toko lainnya ia lakoni meski uang yang terkumpul sangat tak memadai. Sekelebat Baridin sadar bahwa pekerjaannya itu teramat menjijikkan, tapi ia tetap saja bergeming. Bahkan cibiran, makian, dan lemparan sandal pun ia abaikan. Baridin merupakan representasi masyarakat urban yang tak mempunyai banyak pilihan dan selalu kalah dalam urusan pertarungan memperoleh nafkah. (hlm. 1)

Kerasnya hidup kaum miskin juga tersaji dalam cerita “Sungai Batu”. Dalam kisah itu Romo Mangun menyoroti bagaimana seseorang tak berdaya akan guratan nasib yang seakan telah tergariskan. Dikisahkan Pak Ipon dan anaknya, Basuki, pagi-pagi buta sudah menuju sungai untuk membelah batu. Sang bapak sebenarnya tak sepenuh hati membiarkan anaknya berprofesi sebagai pembelah batu. Basuki, sang anak, juga bukan tanpa impian. Ia pernah melamar jadi seseorang biarawan, namun apa daya IQ-nya dianggap di bawah standar. Harapan Basuki jadi pelayan Tuhan pun pupus dan mau tak mau ia mesti melanjutkan trah ayahnya sebagai pembelah batu. (hlm. 16)

Begitu pula dengan kisah “Rumah Bambu”—yang dijadikan judul dari buku antologi cerpen tersebut—Romo Mangun menyuguhkan persoalan rumah tangga yang mendera sepasang suami istri akibat kungkungan kemiskinan. Mulanya, Parji, sang suami yang bekerja sebagai pembantu sebuah motel, hendak memberi kejutan pada istrinya yang baru melahirkan dengan menyewa rumah berbilik bambu. Selain untuk hidup mandiri, menyewa rumah juga dimaksudkan agar terbebas dari gerundelan mertua. Sebulan penuh Parji membenahi rumah itu. Namun, alih-alih bahagia, Pinuk, sang istri, malah menolak sembari protes: “rumah ini kurang sehat untuk bayi tiga bulan”. Susah payah Parji membujuk istrinya agar tak merajuk dan sudi tinggal di rumah sewa itu. (hlm. 88)

Romo Mangun juga menaruh perhatian besar pada nasib getir yang menimpa anak-anak keluarga miskin. Perasaan mudah terenyuh itu bisa ditelisik seperti dalam cerita “Cat Kaleng”, “Hadiah Abang”, “Mbah Benguk”, atau “Colt Kemarau”. Dalam kisah “Mbah Benguk”, misalnya, Romo Mangun seakan ingin mengatakan bahwa anak-anak acap kali menjadi korban dari kesembronoan orang dewasa. Tersebutlah Mbah Benguk, seorang janda tua yang bekerja sebagai pembuat tempe benguk, harus berjuang menghidupi kedua cucunya yang masih kecil dan cacat. Meski tak jelas ke mana ibu dan siapa bapak dari kedua bocah itu, Mbah Benguk tetap sepenuh hati mengasuh keduanya. (hlm. 111)

 

Spirit Humanisme

Sastra ialah dunia penuh simbol. Dan Romo Mangun sendiri sebenarnya adalah simbol. Melalui karya-karyanya, Romo Mangun seolah hendak mengajak kita bertamasya mengunjungi penghuni gubuk-gubuk reyot, merasakan kepiluan yang menimpa kaum papa, serta mendengarkan lenguhan nestapa anak-anak telantar. Dalam bersastra, Romo Mangun sepakat dengan petuah Thomas Aquinas bahwa “keindahan adalah pancaran kebenaran (pulchrum est splendor veritatis). Sebab, Romo Mangun sejatinya tak sekadar ingin menyuarakan kebenaran, tapi hendak pula menerangi kebenaran itu dengan cahaya keindahan. Dan sastra, menurutnya, mampu melakukan tugas itu.

Kendati mengemban tugas sebagai pastor, Romo Mangun tak menampakkan fanatisme berlebihan. Malah, menurutnya, yang nomor satu itu bukan agama, melainkan iman yang dibuktikan dengan tindakan. Pun sebagai intelektual, ia bukan tipe intelektual yang suntuk berteori di balik tembok kampus. Ia memilih menyambangi langsung orang-orang tertindas di pemukiman-pemukiman kumuh untuk mencurahkan segenap pikirannya. Dan sebagai sastrawan, ia jelas bukan model sastrawan pencari nafkah atau penjilat penguasa. Ia bercita-cita menjadi sastrawan “hati nurani” yang peka akan nilai-nilai kemanusiaan. Meski begitu, Romo Mangun tetap tak ingin dimitoskan. Ia lebih senang diperlakukan sebagai manusia biasa, manusia sehari-hari.

Di tengah pudarnya rasa kemanusiaan kita, menguatnya sentimen berbalut agama, penggusuran pemukiman warga miskin, serta maraknya kasus korupsi, barangkali perlu menyimak kembali visi kemanusiaan Romo Mangunwijaya. Sebentuk kegelisahan melihat begitu mudahnya ketidakadilan merongrong masyarakat atau terusik manakala hak-hak asasi manusia tercabik-cabik. Kegelisahan memang bagian tak terpisahkan dari hidup Romo Mangun. Bahkan sampai ajal menjemputnya pada 10 Februari 1999, ia masih melaksanakan tugas menyuarakan kegundahannya dengan menjadi narasumber sebuah simposium yang diadakan oleh Yayasan Obor Indonesia di Jakarta. Sang Humanis Religius itu memang telah lama melenggang pergi, namun warisan spirit humanismenya akan terus abadi.

Aan Arizandy
Latest posts by Aan Arizandy (see all)

Comments

  1. Romly Lengkoan Reply

    selalu ada tempat untuk bercermin…selalu ada tempat untuk memperbaiki diri…

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!