Mengenal Tradisi Menggantung Ari-ari di Desa Bayung Gede, Bali

Sumber gambar: Dok. Pribadi

Wisatawan baik domestik maupun mancanegara selalu mengidentikkan Bali dengan keindahan alam dan budaya. Namun, para wisatawan sering kali hanya mengunjungi daerah selatan Bali yang didominasi oleh keindahan pantai. Sementara Bali bagian utara yang identik dengan wilayah pegunungan, malah jarang terekspos. Padahal, keindahan dan keunikan Bali di wilayah pegunungan tidak kalah indah dan menarik dibanding wilayah bagian selatan. Salah satunya adalah tradisi menggantung ari-ari di Desa Bayung Gede.

Desa ini terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Jarak dari Kota Denpasar ke desa ini hanya 30 kilometer. Luas wilayahnya mencapai 1.025,3 ha/m². Bayung Gede secara etimologi diartikan sebagai kekuatan yang besar. Kata bayung berasal dari bayu yang berarti tenaga, sedangkan gede berarti besar. Hal ini dikaitkan dengan awal mula pembentukan desa tersebut, di mana masyarakat memiliki tenaga yang kuat untuk merombak hutan lebat menjadi sebuah pemukiman, hanya dengan peralatan sederhana.

Bayung Gede merupakan salah satu Desa Bali Mula atau Bali Awal, sehingga kentalnya kebudayaan Bali sangat terasa di desa tersebut hingga saat ini. Salah satunya adalah tradisi menggantung ari-ari.

Masyarakat Hindu Bali pada umumnya mengubur ari-ari bayi di tempat tinggal ayahnya. Namun, berbeda halnya pada masyarakat Bayung Gede, yang menggantung ari-ari di pohon bukak (kayu buka), berlokasi di areal kuburan ari-ari di hilir desa. Alasan masyarakat setempat tidak menguburkan ari-ari di dalam pekarangan rumah mereka, karena diyakini akan menyebabkan rumah kotor, dalam artian alam tidak nyata. Ari-ari dinilai masyarakat akan memberikan kekuatan negatif bagi pekarangan rumah sehingga perlu menempatkannya jauh dari pemukiman.

Di kuburan ari-ari Desa Bayung Gede, terdapat suatu larangan dan pantangan, yakni tidak diperbolehkan untuk menebang pohon sembarangan. Apabila ada seseorang yang dengan sengaja menebang pohon untuk kepentingan pribadi, maka dia akan dikenakan sanksi adat. Pelanggar juga memiliki kewajiban untuk menanam pohon jenis yang sama sebagai penggantinya. Hal ini dipercaya karena pohon-pohon di kuburan ari-ari dianggap keramat oleh masyarakat sekitar.

Salah satu keunikan di kuburan ari-ari adalah adanya pohon bukak. Masyarakat setempat meyakini bahwa pohon tersebut tidak menimbulkan bau busuk ketika ari-ari digantungkan pada bagian dahan. Proses penggantungan ari-ari bayi memiliki waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum matahari terbit atau hanya pada pagi hari.

Peralatan yang digunakan dalam upacara penggantungan ari-ari adalah wadah dari tempurung kelapa yang sudah dikeluarkan airnya. Pada bagian atas tempurung, ditulis menggunakan aksara Ongkara (aksara suci agama Hindu). Tempurung yang berisi ari-ari juga diisi dengan duri terung, merica, mawar, kunyit, dan sebagainya. Lalu, tempurung ditutup kembali. Pada bagian belahan tempurung, diolesi dengan pamor dan diikat menggunakan tali bambu. Wadah dari kelapa itu akan melindungi ari-ari dari matahari, hujan, binatang, dan sebagainya.

Pada saat di kuburan, akan dicari dahan yang kuat untuk menggantung ari-ari. Pihak ayah yang membawa ari-ari, berusaha menghindari pembicaraan dengan orang lain di jalan yang searah dengannya. Kemudian, ari-ari digantungkan di dahan pohon bukak. Pihak orang tua akan mencari kayu bakar apabila ari-ari yang dibawa adalah dari anak laki-laki, dan sayuran apabila ari-ari anak perempuan. Terakhir, orang tua akan kembali ke rumah sambil menyebut barang bawaan yang diperoleh kepada si bayi.

Tetap lestarinya tradisi menggantung ari-ari di Desa Bayung Gede ikut pula melestarikan pohon bukak. Selain mampu mengisap racun dari lingkungan, pohon ini juga memiliki manfaat lain, seperti menyerap air hingga terjaganya keseimbangan ketersediaan air di Desa Bayung Gede.

I Gusti Bagus Arya Putra
Latest posts by I Gusti Bagus Arya Putra (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!