Menyingkap Gunung Es Kejahatan-Kejahatan

Judul               : Di Balik Investigasi Tempo 02

Penyunting      : Muhammad Taufiqurohman

Penulis             : Muhammad Taufiqurohman, Mustafa Silalahi, Rusman Paraqbueq, Stefanus

  Pramono

Penerbit           : Tempo Publishing

Cetakan           : Pertama, November 2017

Tebal               : xii + 179 halaman

ISBN               : 978-602-6773-20-3

Pemberantasan tindak pidana korupsi dalam beberapa dasawarsa terakhir selalu mencuri perhatian publik. Tak ayal, masyarakat pun sering dibuat geleng-geleng kepala oleh kelakuan koruptor yang kerap mengelak setelah ditetapkan sebagai tersangka. Terlebih, main kucing-kucingan untuk menghindari proses hukum. Ragam komentar sana-sini menanggapi kegaduhan ini meyakinkan kita bahwa sense publik akan perilaku-perilaku ganjil para pelaku ternyata masih bekerja.

Pemberitaan mengenai perkembangan kasus-kasus tindak korupsi terus menghiasi layar kaca, layar ponsel, bahkan gaung-gaung radio di dalam mobil Anda, semenjak pengungkapan pertama kali oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga ketika para terdakwa resmi mendekam di balik jeruji besi. Namun, apakah penjara sudah efektif untuk meredam kegaduhan? Sayangnya, tidak. Perhatian masyarakat ternyata tidak bisa berhenti pada putusan pengadilan karena rupa-rupanya masih terdapat kejanggalan yang tersembunyi dalam tempat tinggal baru para koruptor tersebut, menunggu-nunggu untuk dibuka.

Berawal dari informasi yang diberikan oleh seorang pengusaha tambang pada Oktober 2009 kepada pihak Tempo mengenai kemewahan sel penjara Artalyta Suryani, Ayin, terdakwa kasus aliran dana Bank Indonesia. Informasi awal ini mendorong Tempo melakukan investigasi terhadap sulap bui menjadi kantor yang dilakukan di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, sebagaimana diceritakan dalam bab “Pondok Bambu Rasa Istana”.

Di akhir 2015, informasi dari beberapa orang yang dirahasiakan perihal narapidana Sukamiskin yang bebas keluyuran keluar penjara turut mendorong Tempo untuk mengungkap kebenaran informasi tersebut. Hal ini diceritakan dalam bab “Pelesir Gelap Pesakitan Sukamiskin”. Pada bab ini, terdapat hal lain yang disinggung yakni bisnis para narapidana ‘elite’ di dalam area penjara dengan adanya pendirian taman, kafetaria, dan saung-saung.

Selain dua laporan investigasi terkait penjara para koruptor tersebut, buku ini memuat dua laporan investigasi lain terkait human trafficking dengan masing-masing tajuk: (1) “Tenaga Kerja Indonesia Legal” yang mengungkap adanya ‘jalur samping’, yakni jalur masuk imigran gelap Indonesia ke Malaysia melalui Pulau Nunukan dan Sebatik, Kalimantan Utara, dan (2) “Jual-Beli Orang ke Malaysia” yang menguak kongkalikong jual-beli penduduk Nusa Tenggara Timur oleh agen-agen penyalur bodong. Sebagai pelengkap, terdapat pula satu laporan investigasi mengenai perburuan gajah dan harimau di Aceh yang tertuang dalam bab “Penyelundupan Gading dan Kulit Harimau”.

Buku ini memuat total 5 laporan investigasi yang dilakukan oleh Tempo dengan judul bab sebagaimana disebutkan di atas. Fakta hasil investigasi dituturkan dalam bentuk story-telling sehingga mudah diikuti oleh pembaca. Jauh dari kesan kaku saat mendengar kata ‘laporan investigasi’. Buku ini turut dilengkapi dengan sebuah poster infografis khas Tempo serta dua halaman komik yang mengilustrasikan proses investigasi pelesir napi Sukamiskin.

Kelima hasil investigasi ini sesungguhnya telah dimuat dalam majalah Tempo. Namun, proses ‘di balik layar’ yang dilakukan oleh para wartawan investigasi Tempo serta dampak yang timbul setelah laporan investigasi tersebut diungkap ke publik-lah yang membedakan keluaran buku ini dengan majalahnya. Pada masing-masing bab, penjabaran mengenai kedua aspek tersebut turut disertakan dengan mengambil porsi sekitar seperempat bagian.

Investigasi sering menyoal pertaruhan nyawa. Oleh karena itu, tidak semua wartawan punya nyali melakukannya. Orang yang mendedikasikan diri menjadi wartawan investigasi tidak boleh gentar ketika dihadapkan pada situasi mengancam, baik lisan maupun tulisan, bahkan jika mengalami penahanan. Kejadian apes semasa proses investigasi kelima kasus disampaikan secara gamblang dalam buku ini.

“Kau jangan macam-macam. Aku bisa cari kau ke mana saja lalu aku bunuh,” kata pawang yang berperawakan kecil tapi memiliki tatapan mata tajam itu (halaman 56). Ancaman itu dikemukakan oleh seorang mantan pawang gajah dan harimau kepada wartawan Tempo yang tengah berusaha mengorek informasi tentang perburuan liar di Aceh.

Disertakan pula narasi penyekapan yang dialami oleh wartawan Tempo pada Februari 2017. Kala itu, ia, Stefanus Pramono, tengah berusaha mengonfirmasi Albert Tei, pemain besar di balik jual beli TKI ilegal ke Malaysia.

Akhirnya, Pramono menggertak balik. “Silakan Anda lapor ke polisi. Saya liputan yang nyaris mati saja pernah. Kalau dipenjarakan, saya tidak takut,” ujarnya menantang, “akan saya laporkan Anda balik karena menyekap kami.” Tak lama kemudian, telepon seluler Pramono berbunyi. Redaktur Eksekutif Tempo, Wahyu Dhyatmika (Komang), meneleponnya. “Kamu disekap? Kasih teleponnya ke Albert,” kata Komang. Telepon itu tidak di-speakerphone-kan, tetapi suara Komang terdengar sangat keras. “If something happen to my reporters, I will find you!” (halaman 150).

Terungkapnya skandal-skandal kejahatan memacu respons positif dari pemerintah, setidaknya untuk kelima kasus di atas. Meskipun, sebagian besar dampak kasus hanya berlaku pasang-surut dalam beberapa bulan awal setelah peliputan. Kasus perburuan liar terhadap gajah dan harimau yang konon kabar digawangi oleh mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka dan telah berlangsung selama puluhan tahun itu juga tidak bisa diberangus hanya dalam beberapa bulan. Tidak jauh berbeda dengan kasus jual-beli manusia. Tidak dapat kita tampik bahwa selama demand masih tinggi, terbatasnya ruang ketersediaan lapangan kerja dalam negeri, terlebih keterlibatan langsung aparat pemerintah telah membuat praktik-praktik gelap semacam ini mustahil diberantas tuntas. Bukankah ini menjadi sebuah potret ironi kebangsaan?

Di samping filosofi mulia yang mendasari penyusunan laporan investigasi dalam dunia jurnalistik, yakni untuk mengungkap fakta yang bernilai besar bagi masyarakat, amat disayangkan bahwa proses investigasi itu sendiri, dalam buku ini lebih banyak menjabarkan peristiwa yang dialami oleh wartawan investigasi Tempo di lapangan. Konfirmasi yang nyata memang sering diperoleh melalui reportase lapangan. Seperti contoh wartawan Tempo yang harus menyamar menjadi imigran gelap agar dapat nimbrung dalam perahu yang membawanya menyusuri ‘jalur samping’ menuju Pulau Nunukan atau pengintaian Ayin lewat gedung rumah sakit yang belum jadi di samping Pondok Bambu.

Dari dalam perahu, Pramono menyaksikan nakhoda kapal cepat yang datang belakangan memberikan duit kepada petugas di dalam kapal milik Malaysia. Terjawab sudah. Salah satu alasan para imigran gelap bisa masuk dengan mudah adalah adanya pemberian suap kepada penjaga perbatasan Malaysia. (halaman 87)

Pengintaian dari gedung (baca: gedung rumah sakit yang sedang dibangun di sebelah penjara Pondok Bambu) dilakukan untuk membuktikan Ayin memperoleh fasilitas khusus di penjara. Budi Riza naik ke bangunan belum jadi di lantai paling atas rumah sakit itu pada akhir 2009. Ia punya misi mengintai aktivitas di dalam aula. Informasi awal sudah dikantongi: tempat itu (aula) menjadi “ruang kerja Ayin”. Pada waktu yang berbeda, fotografer Arnold Simanjuntak tiga hari bolak-balik ke tempat yang sama. Pada hari ketiga, baru ia mendapat foto Ayin yang sedang menggendong bayi. Hasilnya kurang bagus secara visual, tapi lumayan sebagai bukti jurnalistik. (halaman 28).

Penonjolan reportase di lapangan membuat detail lain yang turut mendukung proses investigasi, semisal untuk paper trails, bagaimana memperoleh dokumen transaksi penjualan TKI ilegal, atau penyusunan strategi-strategi dengan rencana terbaik hingga terburuk sebelum pelaksanaan investigasi di lapangan, sedikit dikesampingkan. Tempo mungkin beranggapan bahwa proses di luar lapangan yang tidak terlalu menantang itu kurang menggiurkan untuk diketahui oleh publik. Tidak salah, memang, tetapi pemuatannya sekiranya dapat memberi nilai lebih akan ekspektasi pembaca terhadap judul buku yang tertera: ‘di balik investigasi’.

Bukan rahasia umum bahwa masih terdapat banyak desas-desus skandal kejahatan pada setiap lini kehidupan. Rumor ini kerap dibiarkan berlalu atau bahkan dimaklumi oleh khalayak. Eksistensinya seakan tabu untuk disinggung. Oleh karena itu, produk jurnalistik berupa laporan investigasi menjadi penting untuk sekaligus dapat menempeleng kita bersama bahwa pembiaran terhadap kejahatan-kejahatan di sekitar yang benar-benar nyata tidak bisa tidak diacuhkan.

Sausan Atika Maesara
Latest posts by Sausan Atika Maesara (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!