Nasib Nama Gebetan di Bukit Kasih Sayang; Ketika si Jomblo Berangkat Umrah

Sumber gambar | dokumen pribadi
Sumber gambar | dokumen pribadi

14 Februari 2015 menjadi salah satu malam yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup! Sesuatu yang saya dapat di malam itu teramat luar biasa jika dibandingkan dengan sebatang cokelat atau setangkai mawar berpita merah muda khas Valentine. Apalagi jika itu pemberian dari orang yang gagal kita miliki. Saya sih nggak pernah tahu rasanya—dikasih cokelat dan mawar.

“Peraih bonus umrah yang ketiga tahun ini adalah…. Yuk, kita beri aplaus yang meriah untuk Mbak Avifah!” Tak sampai dua detik, suara Bapak Edi Akhiles, CEO DIVA Group, berganti teriakan histeris dari para suporter teman-teman dan beberapa anggota keluarga saya yang hadir di acara ulang tahun DIVA malam itu. Saya mendadak seperti patung hidup, sementara seketika beberapa orang memeluk sambil menangis dan berucap syukur. Sebuah keadaan yang hanya bisa saya gambarkan dengan deraian air mata bahagia. Tssaaahhh!

Tiga bulan kemudian, tepatnya pada 14 Mei 2015, saya berangkat ke tanah suci. Kali ini saya tidak akan bercerita tentang ibadah yang saya lakukan di sana. Biarlah itu jadi urusan saya dengan Tuhan. Umrah gratis, sungguh sebuah kesempatan yang haram disia-siakan. Oleh karena itu, seperti halnya orang-orang yang akan pergi umrah lainnya, saya juga sangat sibuk menyiapkan banyak hal sejak jauh-jauh hari. Lahir dan batin. Jasmani dan rohani. Dari sekian banyak sesuatu yang saya persiapkan, salah satunya adalah daftar doa yang akan saya rapalkan di sana. Karena saya masih lajang, kalian tentu sangat bisa menebak apa yang akan saya minta kepada-Nya selama berada di tanah haram. Apa lagi kalau bukan jodoh?!

Saya sudah membawa beberapa nama yang akan didoakan dengan harapan salah satu dari mereka bisa berjodoh dengan saya. Beberapa nama? Itu daftar belanjaan atau gudang gebetan? Ah, namanya juga usaha. Ibarat permainan ular tangga, saya akan langsung melangkah ke kotak yang ditunjuk setelah Tuhan melempar dadunya.

Jodoh dan umrah sangat erat kaitannya dengan bukit berbatu yang bernama Jabal Rahmah. Tempat bersejarah tersebut berada 23 kilometer di sebelah timur kota Makkah, tepatnya di padang gersang Arafah. Di atasnya, terdapat tugu beton segi empat setinggi 8 meter yang konon adalah titik pertemuan Adam dan Hawa yang terpisah selama ratusan tahun! Terusir dari surga, terpisah dengan satu-satunya pendamping hidup, dan terdampar di bumi sendirian. Kebayang jika saat itu sudah ada internet seperti sekarang, kegalauan macam apa yang akan memenuhi blog dan linimasa keduanya. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Adam diturunkan di India, dan Hawa di Jeddah. Nggak ada tiket promo pesawat, pakaet data internet murah, dan telepon gratis setelah pukul 12 malam. *Wahai para pelaku LDR masa kini, mari merenung sejenak.

Jabal Rahmah yang dikenal dengan Bukit Kasih Sayang dan juga menjadi tempat Rasulullah menerima wahyu terakhir ini diyakini sebagai salah satu tempat yang afdhal untuk memanjatkan doa. Tak heran jika bukit ini selalu dipenuhi oleh para peziarah. Baik itu jamaah haji maupun umrah.

Pukul 11 siang waktu Arab Saudi, saya tiba di Arafah bersama rombongan yang berjumlah 18 orang. Suhu yang mencapai 42 derajat Celcius sama sekali tidak mengurangi rasa senang bercampur haru di dalam hati. Di bawah terik matahari yang sangat menyengat, saya memandang beberapa pasangan suami istri sambil gigit jari bukit tempat Adam menemukan kembali tulang rusuknya yang hilang itu dengan mata berkaca-kaca. Bukit yang menjadi saksi bisu kisah cinta yang mengharukan itu kini terpampang nyata di hadapan saya. Dari bukit inilah, nenek moyang kita memulai lagi kebersamaan mereka, membentuk keluarga pertama di muka bumi. Dan di sini pula ajaran Islam disempurnakan.

Seolah belum cukup berkali-kali meraung meminta jodoh di Raudhah, Hijir Ismail, dan Multazam, saya melanjutkan aksi di Jabal Rahmah. Setelah berfoto heboh dengan rombongan di kaki bukit, saya mengeluarkan selembar kertas A4 yang bertuliskan sebuah doa istimewa dan berfoto (lagi). Pada mulanya, saya sedikit ragu untuk menaiki bukit yang tingginya hanya 500 meter di atas permukaan laut itu. Saya pikir akan sangat kesulitan dan ribet jika harus mendaki dengan memakai gamis, ditambah lagi dengan cuaca yang sangat panas tanpa ada satu pun pepohonan untuk berteduh dan bahu sebagai tempat bersandar. Namun, setelah melihat para jamaah lain dan beberapa perempuan tua berbadan gemuk yang susah payah melangkah di antara bebatuan untuk mencapai puncak, saya yang masih belia ini pun tak mau kalah.

Setelah melalui “pendakian” yang ternyata tak sesulit merelakan mantan bahagia dengan orang lain yang saya bayangkan, sampailah saya di puncak. Di sana, orang-orang berjubel di sekitar tugu dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang melaksanakan shalat sunnah, berdoa, dan–teuteup ya–berfoto di sekitar tugu.

Di tengah kerumunan para jamaah, saya juga tak ketinggalan untuk memanjatkan doa agar segera dipersatukan dengan jodoh yang terbaik. Tidak menyebut nama, hanya meminta yang terbaik. Karena yang baik bagi saya, belum tentu terbaik menurut Tuhan. Inilah salah satu hal aneh yang saya alami sejak tiba di tanah haram. Entah kenapa saya merasa enggan meminta untuk dipersatukan dengan salah satu dari beberapa nama yang sudah saya persiapkan dari Indonesia. Keinginan itu hilang begitu saja setelah saya melihat surga kecil berupa pria Turki yang berbalut kain ihram. Saya terlalu khawatir jika ternyata yang saya minta bukanlah yang terbaik di kemudian hari. Bahkan setelah pulang ke tanah air, saya benar-benar tak lagi menginginkan mereka. Yaaaah, curhat! Pada akhirnya, saya menyadari bukan nama-nama itu yang terpenting, melainkan permohonan ampun atas segala dosa yang menggunung serta doa-doa terbaik untuk diri sendiri, keluarga, dan sahabat. Urusan jodoh, sebaiknya diserahkan kepada Tuhan sembari diiringi dengan usaha dan peningkatan kualitas diri. Pria baik untuk wanita baik. Begitu pun sebaliknya. Seperti ituuuh! Kibas poni kaftan.

Setelah sepuluh menit berada di puncak Jabal Rahmah, saya pun turun. Menuruni bebatuan dengan badan saya yang agak berisi gamis dan flat shoes bukanlah perkara gampang. Terpeleset itu pasti jika kita kurang hati-hati dan tidak berpegangan. Untung saja banyak ibu-ibu Turki dan Pakistan yang berbaik hati menyediakan tangannya membantu saya menuruni Jabal Rahmah. Mereka yang berdiri di tempat yang lebih rendah, menyambut tangan jamaah lain yang kesulitan melompati bebatuan curam saat turun. Malaikat-malaikat penolong seperti mereka ini banyak saya temui selama umrah. Semua orang berebut untuk melakukan kebaikan selama berada di tanah suci. Semoga sifat terpuji itu tetap terbawa ketika sudah kembali ke rumah masing-masing.

Avifah Ve

Comments

  1. Nisrina Lubis Reply

    selagi aliando blom pindah kewarganegaraan, kejarlah pria2 indonesia ketimbang turki nan jauh hohoh

    • Avifah Ve Reply

      Hahahhahahhaaa!!!! Kejarlah jodoh sampai ke negeri Arab. Ovoooo?!

  2. Zakiyah Faqoth Reply

    Duh~ berkaca-kaca *-*
    semoga cepat ke sana ~

  3. Sofyan Reply

    Pengen sekali ke sana, hehe. Semoga suatu saat bisa ke sana. Aamiin.

  4. Ocyid Al Bahrawi Reply

    Yang menarik sekarang setelah satu tahun cerita. Apakah jodohnya sudah di dekap mbak?

    Kalau belum. Saya mau ngasi tahu doank kok. Kalau saya orang indonesia. Hehee apa maksudnya coba?

  5. Maulani Al amin Reply

    Semoga juga bisa ke sana deh….

Leave a Reply to Zakiyah Faqoth Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!