Puisi-Puisi Joko Pinurbo; Jendela Ibu

Puisi-Puisi Joko Pinurbo; Jendela Ibu

HARI PERTAMA SEKOLAH

 

Hari pertama sekolah aku langsung

kelahi dengan teman sekelasku.

Dia tanya apa cita-citaku. Aku jawab,

“Aku ingin menjadi kenangan.” Dia bilang

aku goblok sekali karena seharusnya

cita-citaku menjadi presiden.

Aku bilang, “Kamu goblok dua kali.”

 

(jokpin, 2016)

 

 

M

 

Setiap akhir pekan ibu menghidangkan sayur asem

dan kue apem agar kami pandai mingkem

dan terbebas dari durjana cangkem.

 

Ibumu adalah guru bahasamu. Dan guru bahasamu

mengajarkan, di dalam kata apem ada api

yang telah dihalau hati yang adem.

 

“Cangkemmu adalah surgaku,” kata harimau.

Dan kata guru bahasamu, di dalam kata asem ada asu

yang telah ditangkal tangan yang kalem.

 

Itulah sebabnya, mengapa simbah-simbahmu

diberi nama indah: Waginem, Poniyem, atau Sarikem.

 

(jokpin, 2016)

 


 

JALAN TUHAN

 

Ada sebuah kampung yang tersohor di seluruh

penjuru kota karena jalan yang melintasinya

diberi nama Jalan Tuhan. Jika kau naik ojek, bilang saja

mau ke Jalan Tuhan, maka tukang ojek langsung tahu

alamat yang  kautuju. Di kampung itu kau harus siap

diperiksa oleh orang-orang mahabenar, ditanya

apa agamamu, seberapa tinggi kadar imanmu, seberapa

rutin ibadahmu, apa jenis kelaminmu, apa makanan

dan minumanmu. Kau wajib mematuhi tata tertib

yang mengatur tentang bagaimana seharusnya dirimu

berhubungan dengan Tuhanmu. Selanjutnya kau akan

diberi obat anti ini anti itu. Apa yang diharamkan

oleh manusia tidak boleh dihalalkan oleh….

 

Suatu malam Tuhan jalan-jalan ke kampung itu. Ia

berhenti di depan gerbang dan tersenyum melihat

plang bertuliskan Jalan Hantu. Ia segera berbalik arah,

mencari jalan lain yang terang dan tidak seram.

 

(jokpin, 2016)

 

 


 

MATA KUCING

 

Ia punya tiga kucing bermata indah di rumahnya.

Yang matanya menyala seperti senter yang dipakai

peronda disebutnya mata ronda. Yang memancarkan

cahaya langit biru dinamainya mata langit. Yang bening

berkilau seperti kolam dipanggilnya mata kolam.

 

Suatu malam si mata langit meminta si mata kolam

membujuk si mata ronda agar bertanya kepada

yang empunya rumah cahaya apa yang dipancarkan

matanya di tengah dunia gemerlap yang sering

gelap ini. Yang empunya rumah bingung harus bilang

apa. Kucing-kucing yang tak paham bahasa puisi itu

mungkin sedang gundah melihat mata manusia.

 

(jokpin, 2016)

 


 

JENDELA IBU

 

Waktu itu saya sedang mencari taksi untuk pulang.

Entah dari arah mana munculnya, seorang sopir taksi

tahu-tahu sudah memegang tangan saya,

meminta saya segera masuk ke dalam taksinya.

 

Saya duduk di jok belakang membelakangi kenangan.

Harum rindu membuat saya ingin lekas tiba di rumah,

minum kopi bersama senja di depan jendela.

 

Ia sopir yang periang. Saat taksi dihajar kemacetan,

ia bernyanyi-nyanyi sambil menggoyang-goyangkan

kepalanya yang gundul. Tambah parah macetnya

tambah lantang nyanyinya, tambah goyang kepalanya.

 

Sopir taksi tentu tak tahu, saya tak punya jendela

yang layak dipersembahkan kepada senja. Jendela saya

seperti hati saya: dingin, muram, ringkih, takut

melihat senja tersungkur dan terkubur di cakrawala.

 

Lama-lama saya mengantuk, kemudian tertidur.

Taksi memasuki jalanan mulus dan lengang, melintasi

deretan bangunan tua dengan jendela-jendela

yang tertawa. Di tepi jalan berjajar pohon cemara.

Di ranting-ranting cemara bertengger burung gereja.

 

Laju taksi tiba-tiba melambat. Taksi berhenti

di depan kedai kopi. “Mari ngopi dulu, Penumpang,”

ujar sopir taksi. “Baiklah, Sopir,” saya menyahut,

“aku berserah diri menuruti panggilan kopi.”

 

Di kedai kopi telah berkumpul beberapa sopir taksi

beserta penumpang masing-masing. Mereka dilayani

seorang perempuan tua yang keramahannya membuat

orang ingin datang lagi ke kedainya. “Urip iki mung

mampir ngopi,” ucapnya seraya menghidangkan

secangkir kopi di hadapan saya, lalu menepuk-nepuk

pundak saya. Wajahnya yang damai dan matanya

yang hangat segera mengingatkan saya pada ibu.

 

Saya terbangun setelah sopir taksi menepuk-nepuk

pundak saya. Ah, taksi sudah sampai di depan rumah.

Setelah saya membayar ongkos dan mengucapkan

terima kasih, Sopir tersenyum dan berkata, “Selamat

bertemu senja di depan jendela, Penumpang.”

 

Saya berterima kasih kepada ibu yang diam-diam

telah mengirimkan sebuah jendela kecil untuk saya.

Paket jendela saya temukan di beranda. Saya tidak

pangling dengan jendela itu. Jendela tercinta

yang kacanya bisa memancarkan beragam warna.

 

Ibu suka duduk di depan jendela itu malam-malam.

Cahaya langit memantul biru pada kaca jendela.

Ketika malam makin mekar dan sunyi kian semerbak,

ibu melantunkan tembang Asmaradana dan mata ibu

sesekali terpejam. Ibu menyanyikan tembang itu

berulang-ulang sampai anak-anaknya tertidur lelap.

 

Saya pasang jendela kiriman ibu di dinding kamar.

Cahaya hitam pekat membalut kaca jendela. Perlahan

muncullah cahaya remang diiringi suara burung

dan gemercik air sungai. Jendela saya buka, lalu saya

duduk tenang ditemani secangkir kopi. Saya dan kopi

terperangah ketika cahaya berubah terang. Tampaklah

di seberang sana sungai kecil yang mengalir jernih

di bawah langit senja. Di tepi sungai ada batu besar.

Saya lihat sopir taksi saya sedang duduk bersila di atas

batu besar itu, mengidungkan tembang Asmaradana

kesukaan ibu. Kepalanya yang gundul berkilauan.

 

(jokpin, 2016)

Joko Pinurbo
Latest posts by Joko Pinurbo (see all)

Comments

  1. Fatah Anshori Reply

    setiap membaca puisi Joko Pinurbo saya suka terpingkal-pingkal sendiri sambil sesekali terpukau keindahan kalimatnya. hehe…

  2. Mursyidan Baldan Reply

    Puisi-puisi yang keren.
    Mengajariku cara baru berpuisi 🙂

  3. de andana Reply

    kontemplasi dan kepekaan luar biasa dari Mas Joko Pinurbo atas semesta..Aku suka. Ada yang tahu kredo Mas Jokpin dalam berpuisi?

  4. Anam Reply

    Hidup jenaka mungkin :))

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!