Puisi-Puisi Mahmoud Darwish; Aku Yusuf, Wahai Ayahku

8a38cce8214289eff797259a430653f2

Aku Yusuf, Wahai Ayahku

Aku Yusuf, wahai Ayahku
Wahai Ayahku, Saudara-saudaraku tak mencintaiku
Mereka tak menginginkanku ada di tengah mereka, wahai Ayahku.
Mereka menganiaya dan melempariku dengan kerikil dan perkataan.
Mereka menginginkan aku mati agar bisa memujiku
Mereka mengunci pintu rumahmu tanpaku.
Mereka mengusirku dari kebun
Mereka meracuni buah anggurku, wahai Ayahku
Mereka menghancurkan mainanku, wahai Ayahku

Ketika desir angin melintas dan mempermainkan rambutku,
Mereka cemburu dan mengamuk kepadaku dan kepadamu
Apa yang mesti kuperbuat kepada mereka, wahai Ayahku?
Kupu-kupu singgah di atas pundakku
seraya membawa bulir-bulir gandum
Dan burung-burung bertengger dalam rehatku
Apa yang mesti kulakukan, wahai Ayahku?

Mengapa aku,
engkau beri nama Yusuf?
Mereka melemparkanku ke dalam sumur
Dan mereka menuduh serigala,
sementara serigala lebih penyayang
daripada saudara-saudaraku, Ayahku!
Apakah aku melukai seseorang ketika aku berkata;
“Sesungguhnya aku melihat sebelas bintang,
matahari dan bulan, semuanya bersujud kepadaku?”

 
Kereta Pukul Satu

Seorang lelaki dan perempuan menyepakati perpisahan
Setangkai mawar telah layu di hati mereka
Keduanya berantakan
Bayangan demi bayangan keluar
Menjadi tiga bentuk:
Lelaki
Perempuan
Waktu

Kereta tak juga datang
mereka berdua kembali ke kafe
dan bercakap tentang hal lain
Akhirnya mereka saling menyetujui
untuk mencintai gaibnya fajar dari senar gitar
Mereka berdua tak jadi berpisah
Ada bagian yang secara lincah memukau di ruang hati ini
Lorong sempit telah memanggilku
Sementara mereka memasuki ruang bawah tanah
Dan terabaikan di Madrid
Aku tak akan melupakan perempuan itu
Kecuali wajahnya atau kebahagiaanku sendiri
Aku akan melupakanmu, ya, aku akan berjuang melupakanmu
Jika kita terlambat sebentar saja
Dari kereta pukul satu itu
Jika kita duduk satu jam di restoran Cina
Jika burung-burung lewat untuk pulang
Jika kita membaca koran-koran malam
Namun kita adalah
lelaki dan perempuan yang bertemu itu

 
Aku Berasal dari Sana

Aku berasal dari sana dan aku mempunyai kenangan
Aku dilahirkan sebagaimana manusia dilahirkan
Aku memiliki seorang Ibu dan sebuah rumah dengan banyak jendela,
Aku memiliki saudara, juga teman
Dan sel penjara dengan jendela yang dingin.

Aku mempunyai ombak yang menyambar laut-camar
Aku mempunyai penyaksian sendiri
Aku mempunyai rerumputan yang lebat
Aku mempunyai rembulan di ujung kata-kata
dan kurnia burung serta keabadian pohon zaitun

Aku berjalan di atas bumi
sebelum pedang menikam tubuh
yang akan mengubahnya menjadi santapan

Aku berasal dari sana.
Aku mengembalikan langit kepada ibunya
Ketika langit menangisi ibunya.
Dan aku menangis agar awan mengenali kembali diriku

Aku belajar pada semua kata-kata yang pantas
Di pengadilan tertinggi
agar aku bisa melanggar peraturan
Aku belajar pada semua kata-kata dan memecahkannya
agar aku bisa menyusun satu kata
Yaitu: Tanah Air

 
Langkah di Malam Hari

Selalu
Malam hari aku mendengar langkah kaki mendekat
Pintu kabur dari kamarku
Selalu seperti itu
Seperti mau menyeret ekspatriat

Apakah tiap malam bayanganmu
yang biru itu terseret dari ranjang?
Langkah kaki telah tiba sebagai mata negara
Lenganmu mengepung sekitar tubuhku
Langkah kaki telah tiba
Tapi, mengapa bayangan yang telah menggambarku
Melarikan diri, O, Shahrazad?
Langkah kaki telah tiba dan tak kunjung masuk

Jadilah pohon
Agar aku melihat bayanganmu
Jadilah rembulan
Agar aku melihat bayanganmu
Jadilah belati
Agar aku melihat bayanganmu dalam bayanganku
Sebagai mawar dalam debu

Selalu
Aku mendengar langkah kaki mendekat
Dan menjadi pengasinganku
Juga menjadi penjaraku
Coba saja bunuh aku
Dengan keputusan bulat
Tapi jangan bunuh aku
Dengan cara meneror
Sebagai ‘langkah kaki yang mendekat’

 
Mustahil

Aku mati karena rindu
Aku mati karena terbakar
Aku mati karena gantung diri
Aku mati karena disembelih
Akan tetapi aku berkata:
Cinta kita yang telah lewat
Dinyatakan sudah lulus
Itu sebabnya, cinta kita
Tak akan mati.

 
Di Kafe

Sebuah kafe, dan kau duduk bersama lembar koran
Tidak, kau tidak sendirian. Cangkirmu separuh kosong
Dan matahari mengisi separuhnya pada putaran kedua

Dan dari balik kaca kau melihat pejalan tergesa-gesa
: Kau tak melihat watak kegaiban itu,
Kau melihat tapi tak terlihat.
O, orang-orang yang lupa, berapa kali
kau meraih kebebasan di sebuah kafe?
Tak ada satu pun yang melihat jejak Celo dalam dirimu
Tak ada yang memperhatikan keberadaan atau ketiadaanmu
Atau membuktikan dalam kekelamanmu
Ketika kau melihat seorang gadis dan menghancurkan di depannya
Berapa banyak kau bebas mengelola riwayat bisnismu
Di tengah kebisingan tanpa penjaga atau pembacamu

Maka kau lakukan sendiri semaumu
Menanggalkan baju atau sepatu semaumu
Kau pelupa dan kau bebas mengkhayalkan apa saja
Di sini tak ada nama atau mukamu dalam mengerjakan
Sesuatu yang diperlukan. Menjadi seperti bukan teman atau musuh
Di sini, kau menonton kenanganmu sendiri

Maafkanlah orang-orang yang meninggalkanmu sendirian di kafe
Karena kau tak menampakkan potongan rambut yang baru
Dan kupu-kupu yang menari-nari di atas karpet merahnya
Maafkanlah orang-orang yang ingin menghabisimu
Suatu hari nanti—bukan apa-apa, justru karena suatu hari, kau
urung membunuh dan meninju para bintang
Dan menulis lagu pertama dengan tintanya

Sebuah kafe, dan kau duduk bersama lembaran koran
Di sudut lupa, tak ada satu pun yang menghina suasana batinmu
yang bersih. Tak ada yang kepikiran untuk menghabisimu.
Betapa banyak kau lupa dan bebas dalam mengkhayal

Catatan: Diterjemahkan dari A’mal Kamilah, Mahmoud Darwish, Dar Shofa, Mesir.

 

Mahmoud Darwish mempunyai nama asli Mahmoud Salim Husein Darwish, lahir di desa Birwa, Palestina pada 13 Maret 1941. Pada usia 17 tahun ia membaca puisi untuk pertama kalinya dalam acara perayaan kelulusan di sekolahnya dengan judul “Akhi al-Ubry” (Adikku seorang Ibrani). Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1958, ia menerbitkan buku puisinya untuk pertama kali dengan judul Ashofiru Bila Ajnihah (Burung Tanpa Sayap). Mahmoud Darwish meninggal pada 9 Agustus 2008 di Texas, United States.

 

Tentang penerjemah:

Usman Arrumy. Lahir di Demak. Baru saja menerbitkan buku Surat Dari Bawah Air—puisi-puisi Nizar Qobbani (2016, Perpustakaan Mutamakkin Kajen), dan buku Hammuka Daimun—puisi-puisi Sapardi Djoko Damono (2016, Dar Twetta, Giza, Mesir). Sekarang sedang belajar di Al-Azhar Kairo, jurusan Bahasa Arab.

Usman Arrumy
Latest posts by Usman Arrumy (see all)

Comments

  1. Halim Muhammad Ihsan Reply

    Puisi2 terkeren yang saya baca minggu ini. Terimakasih basabasi.co

  2. Anonymous Reply

    😍😃… Suka!

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!