Puisi-Puisi Nizar Qabbani (Suriah); Kekasihku Bertanya Padaku

gambar untuk Puisi 22 Maret
pinterest.com

Syair

 

1

Kawan

Kata-kata lama telah mati.

Buku-buku lama telah mati.

Pembicaraan kita mengenai lubang seperti sepatu usang telah mati.

Mati adalah pikiran yang mengarahkan pada kekalahan.

 

2

Puisi-puisi kami sudah basi.

Rambut perempuan, malam hari, tirai, dan sofa

Sudah basi.

Segalanya sudah basi.

 

3

Negeri duka-citaku,

Secepat kilat

Kau merubah aku dari seorang penyair yang menulis puisi-puisi cinta

Menjadi seorang penyair yang menulis dengan sebilah pisau.

 

4

Apa yang kami rasa lebih dari sekadar kata-kata:

Kami harus malu lantaran puisi-puisi kami.

 

5

Dikendalikan oleh omong kosong Oriental,

Oleh sombongnya keangkuhan yang tak pernah membunuh seekor lalat pun,

Oleh biola dan beduk,

Kami pergi berperang,

Lalu menghilang.

 

6

Teriakan kami lebih lantang ketimbang tindakan kami,

Pedang kami lebih panjang ketimbang kami,

Inilah tragedi kami.

 

7

Pendeknya

Kami mengenakan jubah peradaban

Namun jiwa kami hidup di zaman batu.

 

8

Kau tak memenangkan perang

Dengan buluh dan seruling.

 

9

Ketaksabaran kami

Membayar kami lima puluh ribu tenda baru.

 

10

Jangan mengutuk sorga

Jika ia membuang dirimu,

Jangan mengutuk keadaan,

Tuhan memberi kemenangan pada siapa yang Ia kehendaki

Tuhan bukanlah seorang pandai yang dapat kau minta menaklukan senjata.

 

11

Betapa menyakitkan mendengar berita pagi hari

Betapa menyakitkan mendengar salak anjing.

 

12

Musuh-musuh kami tak melintasi perbatasan kami

Mereka merayap melalui kelemahan kami seperti semut.

 

13

Lima ribu tahun

Janggut tumbuh

Di goa-goa kami.

Mata uang kami tak diketahui,

Mata kami sebuah surga bagi serangga.

Kawan,

Bantinglah pintu,

Cucilah otakmu,

Cucilah pakaianmu.

Kawan,

Bacalah buku,

Tulislah buku,

Tumbuhkan kata-kata, anggur dan delima,

Berlayarkah ke negeri kabut dan salju.

Tak seorang pun tahu kau hidup di goa-goa.

Orang-orang mengambilmu untuk pengembangbiakan anjing liar.

 

14

Kami adalah orang berkulit tebal

Dengan jiwa yang kosong.

Kami habiskan hari-hari kami dengan belajar sihir,

Main catur dan tidur.

Adakah kami “Bangsa di mana Tuhan memberkati manusia?”

 

15

Minyak gurun kami bisa menjadi

Belati nyala api dan api.

Kamilah aib bagi nenek moyang kami yang mulia:

Kami biarkan minyak kami mengalir lewat jemari kaki para pelacur

 

16

Kami berlari serampangan di jalan-jalan

Menarik orang-orang dengan tali,

Menghancurkan jendela dan kunci.

Kami memuji bagai katak,

Mengubah orang kerdil jadi pahlawan,

Dan pahlawan menjadi sampah:

Kami tak pernah berhenti dan berpikir.

Di mesjid

Kami tertunduk malas

Menulis puisi-puisi,

Pepatah-pepatah,

Memohon pada Tuhan untuk kemenangan

Atas musuh kami.

 

17

Jika aku tahu aku akan datang tanpa kesalahan,

Dan dapat melihat Sultan,

Inilah yang akan kukatakan:
‘Sultan,

Anjing-anjingmu yang liar merobek pakaianku

Mata-matamu mengintaiku

Mata mereka mengintaiku

Hidung mereka mengintaiku

Kaki mereka mengintaiku

Mereka mengintaiku bagai Takdir

Menginterogasi istriku

Dan mencatat nama-nama kawanku.

Sultan,

Saat aku mendekati dindingmu

Dan bicara mengenai lukaku,

Tentara-tentaramu menyiksaku dengan boot mereka,

Memaksaku memakan sepatu.

Sultan,

Kau kehilangan dua perang,

Sultan,

Setengah rakyat kita tanpa lidah,

Apalah gunanya seorang manusia tanpa lidah?

Setengah rakyat kita

Terjebak bagai semut dan tikus

Di sela dinding.’

Jika aku tahu aku akan datang tanpa kesalahan,

Akan kukatakan padanya:

‘Kau kehilangan dua perang

Kau kehilangan kontak dengan anak-anak.’

 

18

Jika kami tak mengubur persatuan kami

Jika kami tak merobek tubuh-tubuh segar dengan bayonet

Jika ia berdiam di mata kami

Anjing-anjing tak kan mencincang daging kami membabi-buta.

 

19

Kami tidak menginginkan sebuah generasi yang marah

Untuk membajak langit

Untuk meledakkan sejarah

Untuk meledakkan pikiran-pikiran kami.

Kami menginginkan sebuah generasi baru

Yang tak memaafkan kesalahan

Yang tak membungkuk.

Kami menginginkan sebuah generasi raksasa.

 

20

Anak-anak Arab,

Telinga jagung masa depan,

Kalian akan memutuskan rantai kami,

Membunuh opium di kepala kami,

Membunuh ilusi.

Anak-anak Arab,

Jangan membaca generasi kami yang tercekik,

Kami hanyalah sebuah kotak tanpa harapan.

Kami sama tak berharganya dengan kulit semangka.

Jangan baca kami,

Jangan turuti kami,

Jangan terima kami,

Jangan terima pikiran kami,

Kami hanyalah bangsa bajingan dan pemain akrobat.

Anak-anak Arab,

Hujan musim semi,

Telinga jagung masa depan,

Kalian adalah generasi

Yang akan mengatasi kekalahan.


Pelajaran Menggambar

 

Anakku meletakkan kotak gambarnya di depanku

lalu memintaku menggambar seekor burung.

Kucelupkan kuasku pada cat abu itu

kugambar sebuah kotak dengan kunci dan palang pintu.

Matanya terbelalak heran:

“… Ayah, bukankah ini penjara,

tahukah kau bagaimana menggambar burung?”

Kukatakan padanya: “Nak, maafkan aku.

Aku sudah lupa pada bentuk burung-burung.”
Anakku meletakkan buku gambarnya di depanku

lalu memintaku menggambar tangkai gandum.

Kugenggam pena

lantas kugambar tangkai senapan.

Anakku menertawakan kebodohanku,

bertanya

“Ayah, tak tahukah engkau, perbedaan

tangkai gandum dan senapan?”

Kukatakan padanya, “Nak,

aku pernah mengetahui bentuk tangkai gandum

sekerat roti

dan kembang mawar.

Tapi di saat segenting ini

pohon-pohon hutan telah bergabung

dengan pasukan tentara

mawar-mawar mengenakan seragam yang kusam.

Kini saatnya tangkai gandum bersenjata

burung-burung bersenjata

budaya bersenjata

bahkan agama pun bersenjata.

Kau tak bisa membeli roti

tanpa menemukan peluru di dalamnya

kau tak bisa memetik mawar

tanpa duri memercik di wajahmu

kau tak bisa membeli sebuah buku

yang tak meledak di sela jemarimu.”

 

Anakku duduk di tepi tempat tidur

lalu memintaku membacakan sebuah puisi.

Sebutir airmata jatuh di atas bantal.

Anakku merabanya, heran, berkata:

“Ayah, ini airmata, bukan puisi!”

Lalu kukatakan padanya:

“Nak, saat engkau tumbuh dewasa,

dan membaca diwan-diwan puisi Arab

kau akan temukan bahwa puisi dan air mata tiada bedanya.

Dan puisi-puisi Arab

tak ubahnya kucuran airmata dari jemari yang menulis.”

 

Anakku meletakkan pena dan kotak krayon miliknya

di depanku

lalu memintaku menggambar sebuah tanah air untuknya.

Kuas di tanganku seketika gemetar

aku tenggelam, dan menangis.

 

 


Saat Aku Mencintaimu

 

Saat aku mencintaimu

sebuah bahasa baru terpancar,

kota-kota dan negeri-negeri baru ditemukan.

Jam bernapas seperti anak anjing,

gandum tumbuh di sela halaman-halaman buku,

burung-burung terbang dari matamu bersama gelombang madu,

para kafilah bertolak dari payudaramu membawa herbal India,

buah mangga berjatuhan di mana-mana, hutan menyergap nyala api

dan beduk Suku Nubia berbunyi.

 

Saat aku mencintaimu payudaramu melepaskan rasa malunya,

berubah menjadi petir dan guntur, pedang, dan badai pasir.

Saat aku mencintaimu kota-kota Arab berloncatan dan unjuk rasa

menentang abad penindasan

serta abad pembalasan dendam terhadap aturan suku.

Lalu aku, saat aku mencintaimu,

aku berjalan menentang keburukan,

menentang raja garam,

menentang pelembagaan gurun.

Dan aku akan terus mencintaimu hingga banjir dunia tiba,

aku akan terus mencintaimu hingga saatnya banjir dunia tiba.

 

 


Saat Aku Jatuh Cinta

 

Saat aku jatuh cinta

Kurasa akulah raja waktu

Aku pemilik bumi dan segala di atasnya

Kutuju matahari dengan kuda tungganganku.

 

Saat aku jatuh cinta

Aku menjadi cahaya cair

Yang tak kasat mata

Dan sajak-sajak dalam catatanku

Menjelma jadi ladang bunga poppy dan mimosa.

 

Saat aku jatuh cinta

Jemariku memancarkan air

Dan lidahku menumbuhkan rumput

Saat aku jatuh cinta

Aku menjadi waktu di luar segala waktu.

 

Saat aku jatuh cinta pada seorang wanita

Seluruh pohonan

Berlari telanjang kaki menghadapku.

 

 


Perbandingan

 

Cintaku, aku tak serupa kekasihmu yang lain.
Jika seseorang memberimu segumpal awan
kuberi kamu hujan.
Saat seseorang memberimu lentera

kuberi kamu bulan.
Saat seseorang memberimu dedahan
kuberi kamu pohonan
Dan jika seorang yang lain memberimu kapal
kuberikan padamu petualangan.

 

 


Cahaya Lebih Penting Ketimbang Lentera

 

Cahaya lebih penting ketimbang lentera,

Puisi lebih penting ketimbang buku catatan,

Dan lebih penting ketimbang bibir ialah ciuman.

 

Surat-suratku kepadamu

Lebih besar dan lebih penting ketimbang kita berdua.

Merekalah satu-satunya catatan

Di dalamnya orang-orang kan temukan

Kecantikanmu

Kegilaanku.

 

 


Percakapan

 

Jangan katakan bahwa cintaku

Sebatas cincin atau gelang.

Cintaku adalah kepungan,

Berani dan keras kepala.

Ia berlayar mencari kematiannya sendiri.

 

Jangan katakan bahwa cintaku

Sepotong rembulan.

Cintaku, percikan ledakan.

 

 


Kekasihku Bertanya Padaku

 

Kekasihku bertanya padaku:

“Apa beda diriku dan angkasa?”

Bedanya, kasihku,

ialah saat kau tertawa,

kulupakan angkasa.

 

 


Sajak Maritim

 

Di dermaga biru matamu

hujan cahaya berembus sendu

matahari dan layar-layar

melukis perjalanan menuju keabadian.

 

Di dermaga biru matamu

jendela bagi laut yang terbuka

burung-burung terbang jauh

mencari pulau yang belum tercipta.

 

Di dermaga biru matamu

salju jatuh di bulan juli

kapal-kapal dengan muatan pirus bertumpahan

melintasi laut, tapi tak tenggelam.

 

Di dermaga biru matamu

bagai seorang bocah aku lari di atas batu berserakan

menghirup aroma lautan

melepas seekor burung kelelahan

 

Di dermaga biru matamu

batu-batu bernyanyi malam hari

siapa yang menyembunyikan seribu puisi

pada buku tertutup pejam matamu?

 

Andai, aku seorang pelaut

andai saja seseorang memberiku perahu

setiap malam akan kugulung layarku

di dermaga biru matamu.

 

Tentang Penerjemah:

 Zulkifli Songyanan, lahir di Tasikmalaya 02 Juni 1990. Belajar menulis puisi di Sanggar Sastra Tasik, Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS), dan Komunitas Malaikat. Alumni program studi Manajemen Pemasaran Pariwisata Universitas Pendidikan Indonesia. Twitter: @zoeoul (https://twitter.com/zoeoul)

Nizar Qabbani
Latest posts by Nizar Qabbani (see all)

Comments

  1. dedyriyadi Reply

    9
    Our impatience
    Cost us fifty thousand new tents.

    kalimat “cost us,” mungkin lebih tepat bukan “membayar” karena “cost us” justru membuat “us” atau kita melakukan pembayaran, atau sebagai pihak yang membayar. Mungkin lebih tepatnya “membebani” kita dengan lima puluh ribu tenda baru.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!