Pulau Mansinam: Monumen Toleransi di Ujung Negeri Indonesia

Pulau Mansinam: Monumen Toleransi di Ujung Negeri Indonesia
Pulau Mansinam. Sumber gambar: Dok. Pribadi.

“Ah mereka kan misionaris pekabaran Injil.”

“Jangan mengubah status mereka.”

“Biarkan mereka menyebarkan kekristenan mereka,” ujar Sultan Tidore.

Utusan residen Belanda tersipu mendengar pernyataan Sultan. Ternyata Sultan sudah mengetahui siapa Ottow dan Geissler yang diutus ke tanah Papua. Sebelumnya, mereka berdua disamarkan sebagai peneliti alam.

Tidak sampai di situ, selain mengeluarkan surat izin, Sultan Tidore yang notabene muslim memerintahkan kepada para kepala suku untuk melindungi dan menolong mereka jika mereka kekurangan makanan.

12 Januari 1855, sauh diangkat. Kapal bergerak dari dermaga Ternate, menuju Pulau Mansinam. Tepat 25 hari, pada tanggal 5 Februari 1855, kapal Otto dan Glesser berlabuh di Teluk Doreri. Awal peradaban Papua dimulai.

***

“Hei, Adek, mau ketemu siapakah? Museum tutup hari ini.”

Saya yang sedang celingukan mencari pintu masuk museum, tergagap. Di sana saat itu memang tidak ada aktivitas. Hanya seorang laki-laki yang sibuk membakar sampah di ujung pagar besi. Penuh selidik, laki-laki paruh baya, berbadan kekar dengan gigi yang menghitam dan bibir merah bekas makan pinang bertanya. Agak kikuk juga diperhatikan seperti itu.

“Tadi bilang dari mana?” Dengan logat Papua yang kental.

“Yogya, Bapak,” jawabku singkat. Saya pun menjelaskan dengan sedikit memelas tentunya, bahwa ke Manokwari dalam rangka tugas kantor. Kebetulan hari ini libur dan besok saya sudah harus pulang ke Yogya. Saya menyempatkan diri menuju Pulau Mansinam.

“Aduh, Adek, Ini hari Minggu, museum tutup. Ada persiapan acara di museum besok,” jelasnya.

Setelah mendengar penjelasan tersebut, saya juga tidak mampu untuk memaksa. Tidak melihat museum tidak apa-apa, toh masih ada objek yang bisa dikunjungi di pulau ini, gumamku dalam hati.

Ketika hendak meninggalkan pekarangan museum, tiba-tiba suara bapak penjaga museum menghentikan saya. “Adek! Iyo sudah, saya bukakan pintunya. Kasihan sudah datang jauh-jauh. Tunggu sebentar.”

Laki-laki yang awalnya saya anggap kaku dan tidak ramah tadi seketika berubah dalam pandangan saya. Ia masuk ke rumah mengambilkan kunci museum dan membuka pintu belakang.

“Saya tinggal dulu e. Silakan lihat-lihat.”

***

Bak mesin waktu, masuk ke Museum Mansinam membawa kita masuk dalam dimensi lain peradaban Papua. Saya baru tahu jika nama Papua diambil dari bahasa Maluku Utara, Papa-Ua. Papa-ua memiliki arti bahwa daerah ini tidak terdapat seorang raja, yang memerintah di sini seorang bapak.

Pulau Mansinam memiliki luas 410,97 Ha dengan penduduk sekitar 800 jiwa, menjadi saksi awal peradaban Papua. Kata penduduk yang saya temui di perahu penyeberangan, “Belum ke Manokwari jika belum ke Mansinam.”

Ketika melangkahkan kaki masuk ke dalam museum, di dinding sebelah kiri kita disuguhkan kisah C.W. Ottow dan rekannya J.G. Geissler. C.W. Ottow lahir pada tahun 1826 di Luckenwalde, Jerman. Dia merupakan pembuat layar kapal. Ia berkeinginan menjadi zendeling (pengutusan/misionaris). Guna mewujudkan niatnya tersebut, Ottow menemui Gossner. Tahun 1852, Ottow dikirim ke Hemmen (Belanda) dan menjadi “Zending Tukang” Pertama ke Hindia Belanda. Kisah Geissler hampir sama dengan Ottow. Berprofesi sebagai asisten tukang kayu. Ia mengazamkan diri untuk mengabdi menjadi zendeling. Tahun 1851, dia berjalan kaki dari Berlin menuju Hemmen untuk menjadi “Zending Tukang” bersama Ottow dengan tekad pengabdian. Mereka dibantu Frits yang ketika itu berusia 12 tahun.

Masuk lebih dalam ke museum, kita akan melihat perjuangan Ottow dan Geissler di daerah yang sama sekali baru, Pulau Mansinam. Saat itu, penduduk asli sangat curiga dengan orang asing.

Ketidaktahuan akan kondisi alam membawa mereka pada kesulitan; dari salah memilih kayu untuk perahu. Mereka tak berpengalaman dengan jenis-jenis kayu di Papua. Dari catatan yang ditulis Geissler, mereka memilih kayu besi yang berat dan pecah akibat terjemur matahari. Pekerjaan berminggu-minggu menjadi sia-sia. Penduduk tak acuh. Akibat bekerja terlalu keras dari pagi hingga malam, mereka jatuh sakit. Pertama-tama Frits. Kemudian Ottow terkena kelengar matahari, menyebabkan dia hampir meninggal.

***

Pintu museum terbuka membuyarkan lamunan saya. Bapak penjaga hanya memastikan saya masih ada di dalam atau tidak. Pintu ditutup kembali dan saya larut dalam labirin perjalanan Ottow dan Geissler.

Mata saya tertuju pada tulisan besar di dinding. “Im Namen Gottes betreten wir dieses Land.” Tulisan berbahasa Jerman ini menegaskan suka duka di awal keberadaan mereka di Pulau Mansinam.

Geissler menulis:

Sesudah demam malaria meninggalkan saya dan saya untuk pertama kalinya dapat keluar gubuk. Saya merasakan kesakitan di kaki kiri saya. Borok itu semakin besar dan memerah sehingga saya tidak dapat meninggalkan tempat tidur. Kesakitan saya begitu luar biasa sehingga saya berteriak dan terus merintih dan berdoa kepada Tuhan.

Sakit yang tambah parah membuat Geissler harus ke Ternate atas desakan residen Belanda. Selama 10 bulan, Geissler dirawat di Ternate. Tinggal Ottow sendiri.

Bersama Frits, C.W. Ottow mengatasi kesepian, mulai berhubungan dengan masyarakat sekitar. Ottow membeli kacang-kacangan, ikan, burung cendrawasih, kerang, perisai (senjata tradisional), teripang, dan dijual kepada saudagar dari kapal Van Duivenbode. Hasil penjualan digunakan untuk belanja kebutuhan pokok dan obat-obatan.

Masyarakat tidak curiga lagi dengan mereka. Ottow banyak mengajarkan ilmu bertukang kepada masyarakat. Selanjutnya, Ottow dan Geissler (yang kembali setelah menjalani perawatan) membawa 5 tukang. Mereka mulai mendidik masyarakat berpakaian, mandi, membaca, dan menulis tentunya.

Beberapa tahun selanjutnya, dibantu sang istri Ny. Wilhelmina Van Hasselt, pendidikan kepada masyarakat diberikan semakin intens. Mereka menebus anak pribumi dan menjadikan mereka anak angkat, yang nantinya menjadi pekabar Injil. Tahun 1875, Ny. Wilhelmina Van Hasselt mendirikan organisasi kaum ibu Maria Martha. Oleh karena itu, ia dianggap sebagai “De Moeder Van Papuas” atau “Snori ro Papua Snari” yang berarti “Ibu Orang Papua”.

Cornelis Wijzer, Sang Aji Rumadas, Elli, Akwila, dan Priskila adalah generasi awal pekabar Injil di Papua. Mereka semua adalah warga lokal yang dididik untuk membangun masyarakat sekitar.

Satu jam tidak terasa menikmati Museum Mansinam melihat awal peradaban Papua yang dibangun dengan cinta dan kerja keras. Dirasa sudah cukup menikmati museum, saya pun menutup sendiri pintu museum, mencari Bapak penjaga untuk berpamitan dan berterima kasih diberikan waktu melihat museum serta kepercayaannya.

***

Melangkah keluar museum menyisakan gelayut tanya. Jika melihat fenomena negeri ini, sangat gampang terbelah. Gaduh pilkada DKI masih tersisa sampai sekarang. Seakan tak ingin berdamai, banyak kelompok yang bangga membelah bangsa ini. Dari Mansinam, 162 tahun lalu, kita banyak belajar akan makna toleransi.

Sultan Tidore, Ottow, Geissler, dan Ny Wilhelmina Van Hasselt tentunya membuktikan membangun agama bukanlah dengan caci maki, bukan dengan hasrat kuasa. Toleransi beragama di pulau ini dapat menjadi contoh bagi masyarakat. Toleransi sudah dibangun di Tanah Papua sejak lama. Dari hal sederhana bukan mimpi melangit.

Ah… saya lupa bertanya siapa nama bapak penjaga museum.

—————————

Rendra Agusta

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!