Sajak-Sajak Sinta Ridwan; Buah Tangan Bau Paris

parisartweb.com

Buah Tangan Bau Paris

 

 

Bingkai jendela di ujung kamar seperti mata terbelalak kaku.

Daun kaca melebar, persilakan bau kehidupan masuk.

Langkahku berusaha menutup belalaknya itu.

Seraya mengisap datangnya bau-bau.

Khas. Parfum gadis Paris berbaur

 

dengan uap yang lahir dari genangan la Seine yang bergumul

aroma tahi anjing berserakan di trotoar sepanjang rue Cortambert yang kelabu.

 

Terlintas bau embun tengah merayu putik-putik

bunga musim panas tengah cantik-cantik.

Menyerbak di antara wewangi

ketiak basah kakek-kakek pohon berdiri.

Bau tiba-tiba dibunuh asap pucat pasi

 

yang bergerombol muncul dari bibir cerobong atap apartemen ini.

Membuncah dari ribuan dapur yang mengepul. Mengkristal di langit

lalu jatuh ke aspal. Aku sesak, hirup serpih debu aspal bermandi malam pagi.

 

Barisan awan hitam mengganggu bau-bau yang berkumpul

di pasar tua Châtelet-les Halles. Knalpot ribuan mobil merasuk,

puluhan kapal, dan ratusan motor yang berlalu.

Belum lagi, semerbak jubah para penghuni jalanan bau.

Menempel di bawah tanah lembap, serta Metro gerbong biru.

Sebau cumbuan kerak-kerak dinding zaman Raja Romawi.

Pun, bergabung dengan keringat belasan jembatan ringkih

yang menompang genangan masa lalu tiap hari.

Semriwing asap rokok di depan kafe-kafe mengepul.

Dibawanya terbang angin segar yang melepaskan jaket biru

tebalnya melapisi pegunungan es di utara situ.

Berlayar jauh-jauh, demi kunjungi sahabatnya di Samudera Atlantik.

Perlahan hilang sumber bau ini setelah matanya kututup paksa jemari.

Kujaring sisa baunya, kukantong untuk dibawa pergi.

 

Kujadikan buah tangan untuk teman-teman yang membiru.

 

Saint Cloud, 6 Juni 2015

 

 

 

 

Plage de Berck sur Mer

 

 

Sabtu yang berkilau karena mentari sore asyik

bercermin di pinggir silau pantai utara Prancis.

Meski angin dingin baru putus cinta semalam

masih menyelimuti. Demi memandang layang

bercahaya malam, kutempuh 2,5 jam dari Paris.

 

Memandang Atlantik yang cantik, bergaun biru itu,

membawa album foto yang teronggok di sudut kamar.

Tampak beberapa lembar berlatar pesisir barat dan

selatan. Di tiap pantai, kusimpan napas Atlantik di

sebotol kaca. Kuberi pita dan kususun di rak khusus.

 

Kedua senyumku melintasi batas kota yang bertuliskan

Bienvenue Chez Les Ch’tis, ingat kisah cinta tokohnya.

Tiba-tiba pasukan awan hitam datang menerjang pantai.

Ombak-ombak pelindung Atlantik, langsung bersiap

melindungi para pelayang layang bercahaya terang.

Menunggu kembang-kembang api yang manis

bermekaran di langit malam. Setelah berhasil

mengusir pasukan awan hitam dari pandangan.

 

Nord Pas de Calais, 29 April 2015

 

 

 

Temanku Lampu

 

Temanku adalah

cahaya lampu yang kian redup.

Karena hanya ia yang memiliki

hidup dan mati yang ada di sekitar

jiwaku yang sesaat lagi padam.

 

Saint-Cloud, 18 May 2015

 

Pemungut Malam

 

 

Dua lelaki itu sedang memunguti malam

di sepanjang jalan Saint Cloud yang kelam.

Kutatap mereka dari balik taman, di kursi besi

dingin yang membeku, di bahu bukit pinggir Paris.

Sambil kupeluk cahaya remang kota yang terpancar,

di pusatnya tampak tubuh Eiffel merah seperti terbakar.

 

Sorot mata Eiffel mengombak panjang seperti lampu

di atas penjara, yang memperingatkan jam-jam besar

yang berdentang di antara reruntuhan kembang musim

semi yang masih dibalut sisa kabut musim dingin. Muncul

Santa Awan yang kegirangan. Ia terbahak, dengar kelakar

Napoleon di dalam istananya sebelah bukit ini.

 

Kaki para pemungut malam tertatih menginjak gema tawa.

Mereka tak peduli bentuk bibir Santa Awan kian menikung

tajam. Terus memungut sampai sisa malam tiada. Sebelum

sorot mata Eiffel menangkap keduanya, seraya adik-adiknya

telah menunggu lama. Suara perut mereka berbalap gema

dengan tawa di atas kota. Tak sabar santap sup rempah malam.

 

Saint Cloud, 27 April 2015

 

 

Pulau Margit

 

Mereka menyerumu Margit,

yang hidup di Pulau Kelinci.

Memisah diri pada impian para gadis.

Menyerahkan jiwa kepada-Nya. Bersuci.

 

Pada 1242 tangismu lahir di tengah

gemerlap emas sampai Paduka Raja

sibuk menahan serangan Mongolia.

 

Kususupkan beberapa kelopak mawar

antara sisa reruntuhan ratapan, harapan.

Di ranjangmu terbaring di 1271, selamanya.

 

Hening ciptaanmu di tengah Buda dan Pest,

membuatku menembus dinding waktu

sebelah pohon rimbun yang masih gugur

di musim rindu yang sangat dingin.

 

Nyanyi gagak memberi petunjuk. Ratusan tahun

jejak-jejak darah biru itu membekas. Membuat peta

yang mengarah kamar sunyi sepanjang air mata

yang tergenang di ujung nisan sang terkasih.

 

Budapest, 24 Februari 2014

Sinta Ridwan
Latest posts by Sinta Ridwan (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!