Seekor Kucing yang Mati di Suatu Pagi

cerpen basabasi 22 april

Sewaktu Nizami membeli rumah itu, ia tidak menginginkan pemiliknya meninggalkan seekor kucing kampung kurus itu bersamanya. Kucing berbulu belang itu setiap saat mengeong iba di antero rumah: di garasi, di dapur, di ruang makan, bahkan membuang kotoran di sudut kamar.

Nizami berang. Aroma yang tidak sedap itu membulatkan niatnya untuk mengusir si belang dari rumah. Pagi-pagi sekali, ia mencari kucing itu di garasi. Ia berharap kucing itu masih meringkuk di dalam kardus yang teronggok di pojok sana. Namun kardus itu kosong belaka. Nizami memeriksa seisi rumah dan tidak menemukan apa yang dicarinya. Diam-diam ia merasa lega. Kucing kurus itu mungkin sudah pergi, batinnya. Saat ia memutuskan untuk kembali melanjutkan tidurnya pagi itu, sebuah suara yang dikenalnya, mengganggunya. Kucing itu mengeong iba seperti biasanya. Ia baru saja bangkit dari tempat tidur, ketika Halifa—istrinya—membuka pintu kamar seraya memamerkan sesosok mungil dalam gendongannya.

“Coba kau lihat, si malang kecil ini keren juga, ya?”

Apa yang dilihat Nizami tidak seperti biasanya. Kucing kurus itu terlihat lebih bersih dengan bulu-bulu belangnya. Sepertinya Halifa baru saja memandikannya. Namun tetap saja, itu hanya seekor kucing yang beberapa waktu lalu telah membuat seisi kamar mereka beraroma kakus.

“Ya, Tuhan. Sayang, jangan bilang kau akan memeliharanya,” ujar Nizami, mencemaskan gelagat istrinya.

“Aku sudah memberinya nama. Bagaimana kalau kita memanggilnya Omar?”

Nizami hanya bisa menggelengkan kepala. Kucing itu mengeong lagi. Suaranya ringkih dan menyayat, seolah didera kelaparan menahun. Nizami tidak membenci binatang apa pun, meski tidak tergolong sebagai penghobi. Satu-satunya yang pernah dipeliharanya adalah kelinci. Namun suatu hari, kelinci itu hilang. Ia baru menemukannya esok paginya ketika berangkat sekolah. Kelinci itu terkapar di ujung gang perumahan dengan kepala remuk. Ayahnya berusaha meyakinkan bahwa kelinci yang terlanggar sepeda motor itu mungkin bukan kelincinya. Namun ia berkeras hati bahwa itu kelincinya dan membawanya pulang untuk dikuburkannya di samping rumah. Sejak saat itu, ia tidak memiliki keinginan untuk memelihara binatang apa pun, termasuk kucing.

“Bagaimana, kau pasti setuju, kan?” desak Halifa.

“Tidak, jika harus berada di dalam rumah. Apa kau lupa apa yang pernah dilakukannya di kamar kita?”

“Oke. Tidak masalah. Omar bisa berumah di garasi sana. Aku juga tidak rela jika si kecil yang malang ini menghancurkan kamar kita, Sayang.”

Akhirnya, Halifa memelihara kucing itu. Semua hal yang berkaitan dengan pemeliharaan dan lain-lain, sepenuhnya menjadi hak dan kewajiban Halifa. Dalam hal ini, posisi Nizami hanya sebagai pihak yang bertoleransi terhadap sebuah aktivitas yang disebutnya sebagai “melindungi binatang malang”. Artinya, kalaupun suatu saat ia menyediakan makan untuk Omar, itu dilakukannya karena sedang bersimpati saja, bukan karena tugas dan kewajiban yang harus ditanggungnya.

***

Bagaimanapun, kehadiran Omar telah membuat rumah itu tidak terlalu sepi. Nizami menyadarinya di suatu siang yang panjang, saat ia berada di rumah seharian. Sepanjang hari itu, ia sering melihat Halifa bermain-main dengan Omar. Halifa begitu sayang dengan piaraannya. Ia sering membelai-belai kepala Omar hingga kucing itu terbuai dan mengantuk. Bahkan, ke mana pun Halifa pergi, Omar selalu mengintil di belakangnya.

Saat itu, Nizami membayangkan, ketika dirinya sedang berada di tempat kerja yang jauh, pastilah rumah terasa sangat sepi. Selama ini hanya Halifa yang berada di rumah. Pernah suatu kali ia menyarankan kepada Halifa agar mulai memeriksa koran-koran lokal yang memasang iklan jasa penyaluran asisten rumah tangga. Harapannya, dengan adanya asisten rumah tangga, setidaknya,—selain untuk membantu membereskan pekerjaan rumah—jika cocok, biar ada teman mengobrol di rumah. Namun Halifa selalu menolaknya dengan halus.

“Kita hanya masak sedikit, Sayang. Kita juga tidak mencuci terlalu banyak. Tenang saja, kalau aku bosan, aku bisa sedikit berjalan-jalan di seputaran sini. Lagi pula, kau juga setiap hari pulang, kan?”

“Kau yakin, bisa bertahan dalam waktu yang lama? Maksudku, siapa tahu kau butuh teman berbincang sewaktu aku tidak di rumah.”

“Tidak perlu secemas itu. Kau terlalu memandang sebelah mata si belang ini,” ujar Halifa seraya mengelus kepala Omar.

Nizami hanya bisa tersenyum. “Jadi kalian sudah benar-benar bersahabat, ya?”

“Tentu. Ah, Sayang. Aku juga menikmati saat-saat aku menunggu kedatanganmu di sore hari. Aku senang bisa melihatmu muncul dari jauh, pelan-pelan, kemudian kau ada di rumah ini lagi, dengan hangat dan utuh.”

Jika Halifa sudah mengatakan hal-hal seperti itu, Nizami segera menghambur ke pelukannya. Seraya mengelus-elus perut Halifa yang membukit, ia sering berpikir bahwa suatu saat ia memindahkan kantornya di rumah, agar tidak perlu lagi merasa khawatir karena harus berada jauh dari istrinya. Apalagi saat usia kandungan Halifa sudah memasuki bulan kedelapan seperti itu. Menurut dokter yang memeriksanya, mereka nanti akan dikaruniai anak kembar. Nizami dan Halifa begitu bahagia mendengar kabar itu. Mereka pun sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk menyambut penghuni baru di rumah itu nantinya.

Sejak bulan-bulan pertama kehamilan Halifa, Nizami sering pulang lebih cepat dari biasanya. Ia juga sudah mengurangi hobinya memancing. Dulu, ketika mereka masih mengontrak sebuah rumah di kota, Nizami sering menghabiskan akhir pekannya di laut, memancing bersama kawan-kawan dekatnya. Hingga kini pun hasrat untuk memancing itu masih sering menggodanya. Namun sejauh ini ia mampu mengekangnya. Dan itu membuatnya lebih baik. Di samping ia memiliki waktu yang lebih banyak di rumah, hal itu juga membebaskannya dari perasaan tidak nyaman ketika teringat cerita-cerita seputar apa yang tabu bagi seorang suami ketika istrinya sedang hamil.

“Kau tahu, apa yang menimpa anak ketiganya Pak Yasin?” ujar Ahmad, kawan sekantornya, suatu hari. “Ia terlahir dengan bibir sumbing.”

“Apa masalahnya dengan bibir sumbing? Ilmu kedokteran sudah lebih maju. Bisa disempurnakan dengan operasi,” tanggap Nizami

“Ah, kau ini. Masalahnya bukan bisa dioperasi atau tidak. Menurut para tetangganya, itu karena Pak Yasin tidak bisa menghentikan kebiasaannya memancing sewaktu istrinya sedang hamil. Coba bayangkan mulut ikan yang terkena kail.”

Nizami belum pernah melihat anak ketiga Pak Yasin. Sepengetahuannya, tidak ada masalah dengan dua anak Pak Yasin sebelumnya. “Dua anak Pak Yasin sebelumnya tidak ada yang sumbing. Kalau boleh jujur, secara fisik mereka sempurna malah. Seingatku, aku masih sering memancing bersamanya waktu itu.”

“Ya, aku sendiri tidak begitu percaya dengan mitos. Tapi begitulah yang terjadi. Lagi pula, masih banyak waktu lain untuk memancing, kan?”

Nizami mencoba membenarkan apa yang dikatakan oleh kawan sekantornya itu, bahwa masih banyak waktu lain untuk melepaskan hasrat perburuannya pada ikan-ikan. Ia sendiri juga dicekam rasa iba ketika membayangkan bocah kecil dengan bibir seperti itu.

Mengingat cerita-cerita itu, Nizami memilih untuk lebih berhati-hati. Bahkan ia tidak berusaha memukul ketika Omar mulai sering menjilat dan menggigiti kakinya. Padahal, dulu ia paling tidak tahan jika diperlakukan seperti itu oleh seekor kucing. Halifa yang mengetahui benar mengenai hal tersebut kadang-kadang juga merasa khawatir. Namun Halifa selalu mengingatkannya dengan penuh kesabaran.

“Omar hanya sedang ingin bercanda. Atau jangan-jangan, kakimu memang mengundang selera…,” ujar Halifa mencandainya.

***

Sewaktu Nizami mondar-mandir di ruang bersalin, kepalanya dipenuhi pikiran macam-macam. Ia berusaha keras mengusir bayangan buruk yang menguasainya sejak berangkat ke kantor tadi. Semalam, Halifa mengeluhkan rasa sakit di perutnya. Bahkan ia baru bisa tertidur setelah jauh larut malam, setelah memastikan Halifa baik-baik saja. Bangun tidur, Halifa meyakinkan bahwa dirinya dalam kondisi baik. Halifa juga mengingatkan kepadanya, bahwa—sesuai dengan apa yang dikatakan dokter—hari perkiraan lahirnya masih tiga minggu lagi. Jadi ia tidak perlu terlalu khawatir. Namun baru separuh jalan menuju kantor pengembang tempatnya bekerja, handphone-nya berdering. Di ujung telepon, Halifa menceritakan sesuatu yang membuatnya cemas. Tanpa berpikir panjang, ia memutar haluan untuk kembali ke rumahnya.

Di rumah, ia mendapati Halifa tengah termenung di halaman belakang. Mata Halifa berkaca-kaca meratapi gundukan kecil di depannya. Tangan Halifa berlepotan tanah bercampur darah. Nizami tidak bisa menyembunyikan kengeriannya. Ia segera memeluk Halifa. Ia memandangi seluruh tubuh istrinya, berharap tidak terjadi apa-apa dengan kehamilannya. Ia merasa lega melihat perut istrinya masih membuncit. Tapi, darah itu. Darah di tangan istriku itu? batinnya bertanya-tanya.

“Siapa yang tega membunuhnya seperti itu. Andai kau bisa melihatnya,” ujar Halifa terisak.

Apa yang dikatakan Halifa membuatnya merasa begitu bodoh. Ia teringat kucing itu. Ia tahu, Halifa menyayangi Omar. Jika terjadi sesuatu yang buruk terhadapnya, cukup beralasan jika Halifa merasa sedih dan kecewa. Ia juga merasakan kesedihan itu: kesedihan karena melihat Halifa begitu bersedih, kesedihan karena sesuatu yang telah menimpa kucing itu. Namun ia tidak mampu mengatakan apa-apa, selain berjanji akan mencarikan pengganti Omar dengan kucing yang lebih bagus. Pada saat itulah, Halifa kembali mengeluhkan sakit di perutnya. Bahkan, sakit yang hebat itu telah merembet ke sekitar panggul dan tulang belakang. Tanpa berpikir panjang, Nizami segera membawa Halifa ke rumah bersalin.

***

“Bapak Nizami, selamat. Anda dikaruniai bayi kembar yang sehat.”

Suara seorang dokter menyadarkan lamunannya.

Perasaannya kembali bercampur aduk saat memasuki kamar bersalin itu. Ia teringat kembali cerita tentang bayi yang berbibir sumbing. Namun saat terbayang apa yang menimpa kucingnya tadi pagi, ia memaki-maki dirinya sendiri dalam hati. Tubuhnya terasa gemetar dipenuhi oleh keringat dingin, napasnya tak teratur.

“Bagaimana jika ada bayi yang berkepala seperti….”

Ia tak sanggup melanjutkan bayangan kengerian itu.

Bukan salahnya jika ia terburu-buru hingga tidak melihat Omar yang sedang meringkuk di bawah mobil itu. Semuanya sudah terlambat ketika ia mengetahui roda belakang mobilnya penuh dengan bercak darah. Darah dari kepala Omar yang remuk tergilas roda mobilnya. Melihat itu, ia membayangkan bagaimana kecewanya jika Halifa mengetahui apa yang terjadi. Bagaimana cara menjelaskannya? Tentu saja, pagi itu pastilah bukan saat yang tepat untuk menjelaskan apa yang terjadi. Saat itu, ia tiba-tiba teringat cerita-cerita mistis seputar kucing. Bagaimana jika ia kualat? Bukankah Halifa sedang mengandung anaknya? Nizami segera memasukkan kucing mati itu dalam sebuah tas plastik. Namun karena gugup dan terburu-buru, ia baru tersadar bahwa bangkai kucing itu tidak berada dalam mobilnya ketika Halifa meneleponnya. Padahal, ia sempat berpikir akan menguburkan kucing itu di tengah perjalanan, semata-mata agar Halifa tidak perlu melihat hal mengerikan yang telah menimpa Omar.

Dan kini, saat ia memandangi bayi kembar yang tengah meringkuk manja di samping Halifa, hatinya bergetar gembira. Bayi itu normal dan sehat. Mereka tampak mirip satu sama lain.

“Lihat, dua malaikat kecil kita, Sayang. Merekalah nantinya yang akan membuat gaduh dan gembira rumah kita,” bisik Nizami di telinga Halifa.

Halifa tersenyum bahagia. Senyumnya menghilangkan kenangan buruk tentang seekor kucing yang mati di suatu pagi.

Mataram, 4 Maret 2015

Tjak S. Parlan
Latest posts by Tjak S. Parlan (see all)

Comments

  1. turyono ari Reply

    bagus endingnya. Kadang ketakutan berlebihan memang membuat seseorang jadi parno apalagi kalau sudah dihubung – hubungkan dengan mitos.

  2. Riskey hwang Reply

    Sedikit was-was waktu baca endingnya.. Takut kalau anaknya nggak normal.. Tapi untungnya terlahir normal. Good job buat penulis. 🙂

  3. Sakinatudh Dhuhuriyah Reply

    keren, sempat penasaran juga kok bisa kucingnya mati berlumuran darah. tapi terjawab dg endingnya yg keren. 🙂

  4. Rini Maya Sofa Reply

    cerpenya bikin pembaca was-was. Tapi, saya sdikit trganggu dengan penamaan tokohnya. “Nizami”. Di awal ane kira itu perempuan. Ternyata lakilaki. Hehee..

  5. Julie dee Reply

    kucing saya juga mati tertabrak sopir proyek, waktu saya tinggal di mess proyek perumahan, dia manja banget masih anak2, istilahnya induknya jg punya saya, jadi udah biasa kucing mati tertabrak jd ga mau plihara lagi..:(

  6. Maniz Gamalians Audreynatics S Reply

    tergilas TT_TT

  7. Idan Alhadjri Reply

    Wah, wah, wah. Endingnya ngetwist justru karena tidak ada twistnya. Salam.

  8. Khadijah Reply

    Wah,endingnya bagus. Tapi aku sedih saat Omar itu mati

  9. Fuajiri Reply

    Untung aja penulisnya enggak suka buat plot twis yang membuat endingnya ke arah ngeri. Wkwk….

Leave a Reply to Idan Alhadjri Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!