Semut dan Ikan dan Keinginan-keinginan

pulsk.com

Mia tidak punya sesuatu yang penting untuk dikerjakan sore itu. Tiga puluh tujuh menit sebelumnya, ia telah menuntaskan makan malam khas anak kos di hari menjelang bulan berakhir; sebungkus mi instan yang diberi kuah banyak-banyak untuk menipu lambung. Sebagai penutup, menganggap lambungnya tak ubahnya galon, ia menenggak tiga gelas besar air putih. Ia hampir saja meminum segelas air lagi ketika tiba-tiba, tepat ketika gelas keempat itu sampai di bibirnya, lambungnya menjerit. Ia kemudian meletakkan gelas itu di atas meja dan ia memandanginya lamat-lamat. Bukan karena ada hal istimewa dalam gelas itu. Melainkan murni karena memang tak ada yang bisa dikerjakannya, atau tidak ada hal yang terpikirkan untuk ia kerjakan.

Seekor semut hitam merangkak pelan di atas meja, amat dekat dengan siku kanannya yang ia topangkan di permukaannya. Mia membiarkan semut itu. Ia berpikir apa yang sedang dipikirkan oleh semut tersebut. Atau jangan-jangan, semut itu tidak memikirkan apa-apa. Mungkinkah seekor semut tidak memikirkan apa-apa? Atau mungkinkah seekor semut memikirkan apa-apa? Mia tersenyum kecil. Ia merasa senang. Dan sejurus kemudian, ia terkejut mendapati dirinya bisa merasa senang karena suatu hal yang sepele. Kenyataan itu membuatnya teringat sebuah kalimat di Facebook yang diunggah oleh beberapa temannya. Bahagia itu sederhana. Biasanya, kalimat tersebut disertai dengan foto makanan atau pemandangan alam. Kadang, makanan yang mereka sertakan bukanlah jenis makanan murah yang terjangkau oleh anak kos macam dirinya. Dan bila pemandangan, maka itu pasti tempat yang jauh, yang untuk masuk ke lokasinya saja mesti membayar tiket yang sebetulnya tidak murah juga. Huh, Mia mendengus. Para pengunggah itu hanyalah tukang pamer yang berpura-pura rendah hati. Namun kini, lantaran semut itu, ia mendapatkan sedikit kebenaran dari kalimat tersebut. Mungkin berlebihan bila disebut kebahagiaan. Tapi ia senang. Dan itu barangkali hanya sedikit tingkatannya di bawah kebahagiaan.

Semut itu kemudian berhenti. Dua senti dari sikunya. Mia berpikir akan baik sekali bila ia memotret semut itu lalu mengunggahnya di Facebook disertai kalimat yang dulu kerap membuatnya senewen tersebut. Ia meraba kantongnya. Ponselnya tidak ada di sana. Ia menoleh. Ponsel dengan layar retak itu teronggok di atas kasur. Uh… Mia mengurungkan niat untuk memotret si semut. Ia malas beranjak. Keinginannya tidak cukup kuat, ternyata.

Mia kembali mengamati semut itu. Si semut mendongak. Sepasang sungutnya yang kecil bergerak-gerak lucu. Mia tidak tahu berapa jumlah kaki semut tersebut. Ia mengamati lebih saksama, mencoba mencari tahu. Dan si semut, tak jelas apakah terdorong salah tingkah lantaran diperhatikan oleh perempuan muda seperti Mia atau merasa terancam, kembali berjalan. Kali ini berjalan dengan cepat. Dan pergerakan yang seperti itu membuat Mia kesulitan menghitung jumlah kakinya.

“Mau ke mana kamu, Mut?” Mia menggumam, pelan.

Si semut kembali berhenti setelah beberapa senti. Sepasang sungutnya kembali bergerak-gerak lucu. Tangan kiri Mia bergerak tidak sadar ke arah si semut. Jari telunjuknya sudah begitu dekat dengan si semut ketika si semut bergerak dengan cepat. Kali ini, Mia yakin, pasti karena semut itu ketakutan.

“Aku tidak akan menyakitimu,” katanya. “Aku hanya ingin tahu berapa jumlah kakimu.”

Namun tentu saja semut itu tidak mengerti apa yang dikatakan Mia. Ia terus bergerak. Semakin cepat dari sebelumnya. Mia menarik tangan kirinya. Kemudian mengubah posisi tangan kanannya. Ia menopangkan siku kirinya di permukaan meja. Lalu menyangga dagunya dengan kedua telapak tangannya.

“Kau lihat, kedua tanganku sibuk sekarang. Kau tidak perlu khawatir aku akan menangkapmu,” katanya.

Semut itu kembali berhenti di kaki gelas. Sepasang sungutnya kembali bergerak-gerak lucu. Mia tertawa kecil. “Apa sebenarnya yang akan kau lakukan?”

Tiga detik setelahnya, semut tersebut mulai menunjukkan keterampilannya sebagai pemanjat yang andal. Ia menjejakkan kaki-kakinya yang imut ke badan gelas yang licin itu. Mia hampir yakin bahwa semut itu akan terpeleset. Namun si semut benar-benar jago. Ia menapak mantap ke puncak gelas, tanpa kesulitan sedikit pun. Di bibir gelas, si semut kembali berhenti. Mia yakin semut itu menatapnya dan berkata, “Kau keliru, kau keliru.”

Mia kembali tertawa kecil. Si semut melongok ke dalam gelas. Dua kaki depannya mengambang di ruang kosong. Refleks, Mia menjerit tertahan, “Kau bisa jatuh, Mut!”

Namun semut itu memang benar-benar brengsek. Ia tidak jatuh. Dua kakinya malah sengaja seperti dimain-mainkan di ruang kosong itu. Ia seolah mengolok-olok Mia. Lalu, dengan kepala di bawah, semut itu merangkak ke dalam gelas.

“Gila, apa yang kau lakukan?”

Mia yakin semut itu tidak memiliki keraguan sedikit pun dalam melangkah. Jarak antara bibir gelas dengan permukaan air putih di dalamnya hanya beberapa senti. Tak lama lagi, semut itu akan sampai di permukaan air. Apakah semut itu tidak menyadarinya? Atau apakah semut itu memang menyadarinya dan ia haus? Sejak kapan semut suka air putih? Bila gelas itu berisi kopi atau teh manis, Mia akan dengan mudah memahami kelakuannya tersebut. Tapi ini air putih.

Mia masih memikirkan hal tersebut ketika si semut sampai di permukaan air dan menggunakan kaki depannya untuk menciptakan lingkaran gelombang. Kepala dan sungutnya menyusul menyentuh cairan bening tersebut. Gila, Mia menggumam. Semut itu, tidak bisa tidak, pasti memahami bahwa apa yang ada di depannya, yang disentuhnya dengan santai tersebut, adalah air. Dan itu berbahaya. Namun semut itu seperti menikmati aktivitasnya. Hal ini mendorong Mia berpikir bahwa semut itu memang ingin bermain air. Dan hal itu pula yang menyebabkan Mia tidak berusaha mengentasnya sewaktu, tujuh detik kemudian, si semut sudah sempurna tercemplung ke dalam air, mencoba berenang di permukaan, lalu tak lama kemudian, mati mengambang.

“Kau ingin menjadi ikan, ya?” gumam Mia. Dalam hati, ia berharap semoga bila semut itu bereinkarnasi, ia akan terlahir sebagai ikan.

Ikan. Ikan.

Oh, ia punya seekor ikan mas di rumah orang tuanya. Ia memeliharanya dalam sebuah akuarium. Sebulan yang lalu, ketika ia pulang, ia mendapati akuariumnya kosong. Bapaknya bilang bahwa tiga hari sebelumnya, ikan mas itu tiba-tiba melompat dari akuarium dan tak ada yang memergokinya hingga ia telah jadi bangkai.

“Aku kira ia ingin jadi kucing,” kata bapaknya sambil tertawa. Pada waktu itu pula, Mia membatin bila reinkarnasi memang benar-benar ada, ia berharap ikan masnya akan terlahir kembali sebagai seekor kucing.

Dadang Ari Murtono
Latest posts by Dadang Ari Murtono (see all)

Comments

  1. Mohammad Iqrom Reply

    Cerita yang “wow” dan “ehemm”. Tapi biodata penulis ada di kolom cerita itu tidak menarik, min

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!