Setiap Kata Adalah Eksil: Pertemuan Kecil dengan Penyair Palestina

foto esai setiap kata adalah eksil

Aku tak dapat melihatmu lagi
Tapi kulihat dirimu di setiap jendela
Dan kita mendengar hal yang sama
Kini aku sedang menangis
Dan kau sedang mencium
(Nathalie Handal, dalam sajak “La Movida”)

/1/

Pada malam Jum’at (29 Oktober 2015) kami—aku, Dedi Arsa, Dimas Emanuel, Gunawan Tri Atmojo, Raedu Basya—harus pergi dari Ubud ke rumah kreatif Sanur untuk sebuah acara pembacaan dan diskusi puisi, sebagai bagian dari program Ubud Writers 2015. Bersamaan dengan kami berangkat juga Nathalie Handal, yang menurut informasi yang kami terima merupakan penyair asal Amerika. Karena aku cukup banyak membaca sastra dan budaya Amerika jadi akulah yang punya inisiatif pertama untuk menyapa dan kemudian berbincang dengan Nathalie Handal. Tak disangka perbincangan kami berlangsung panjang dan dalam, jauh dan berliku menembusi pelbagai ranah dan masalah. Perbincangan kami bagaikan petualangan tanpa peta dan arah yang jelas, tapi justru karena itu seringkali mengejutkan dan mendebarkan, penuh tanjakan dan kemungkinan-kemungkinan baru. Pada beberapa titik dan persimpangan kami kadang berhenti, mengambil napas jeda, melihat ke sekitaran, kepada awan, jalan, kehidupan, kebahagiaan dan kemalangan. Teman-teman penyair yang lain sesekali menitipkan pertanyaannya kepadaku, yang kuterjemahkan sekenanya, dan membuat arah petualangan makin berliku dan kaya. Setiap kata menjadi arah, setiap kalimat menjadi momen penyingkapan. Aku tak menyangka pertemuan kecil dan percakapan bersahaja itu adalah awal dari suatu persahabatan kami yang mengasyikkan dan menakjubkan.

/2/

Pada mulanya aku bilang kepada Nathalie bahwa aku sangat menyukai para penyair Amerika seperti Whitman, Frost, T.S. Elliot, William Carlos William, Linda Hogan, dan Robert Pinsky. Lalu dia bertanya kepadaku apa aku tahu dan suka Allen Ginsberg? Kujawab aku tahu Ginsberg tapi tak begitu suka puisi-puisinya. Nathalie bilang dia punya kenangan tersendiri tentang Ginsberg. Saat kali pertama dia datang ke Amerika, sekitar nyaris dua dekade silam, dia ditugasi penyair Mahmoud Darwis untuk mewawancarai Ginsberg. Nathalie dengan nyali yang ciut namun dengan semangat yang membara akhirnya berhasil mewawancarai Ginsberg secara panjang lebar. Setahun kemudian Ginsberg meninggal.

“Itu berkesan sekali bagiku,” kata Nathalie.

“Apa hubunganmu dengan Mahmoud Darwis dan sebenarnya kau ini dari mana, Nathalie?” tanyaku.

Dia jawab, “Aku juniornya Mahmoud Darwis sebagai jurnalis dan penyair, dan aku dari Palestina.”

Aku tertegun. Dia juga.

Sejenak kemudian obrolan beralih tentang kondisi terakhir Palestina.

Pada momen ini, suara Nathalie berubah. Nadanya gemetar, iramanya sayu, dan jauh. “Kau tahu, Tia, saat ini, saat aku berbicara denganmu sekarang ini, di kampung halamanku sedang terjadi pembantaian besar-besaran. Anak-anak itu… mereka juga dibantai. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa.” Kulihat sepasang mata Nathalie yang teduh dan biru, yang kemudian perlahan-lahan berubah menjadi redup dan hampir berkaca-kaca. Ada sesuatu yang terpendam pada kalimat-kalimat sedih Nathalie yang mengalir dalam bahasa Inggris yang sempurna itu. Mungkin kekecewaan, mungkin kemarahan, mungkin campuran keduanya.

Di luar, bulan baru saja muncul, bulan di langit perbatasan Sanur yang agung. Nathalie menerawang jauh sekali ke kaki langit, bahkan mungkin menembus lebih jauh lagi….

“Pantas saja kau tadi tak begitu antusias saat aku bicara tentang para penyair Amerika, itu mustahil kalau kau penyair asli Amerika. Jadi penyair mana yang paling kau sukai sebenarnya?”

“Aku paling suka penyair Amerika Latin dan Spanyol. Aku suka sekali Neruda, Vallejo, Alberti, Mistral….”

“Apa kau suka Octavio Paz?” cecarku.

“Ya, tentu. Aku suka sajak-sajak Paz. Tapi aku juga suka esai-esai dia yang dahsyat. Ada satu kumpulan esai dia yang punya makna istimewa bagiku. Tentang erotisme dan spiritualitas, sayang aku membacanya dalam bahasa Spanyol (nantinya, kuketahui bahwa Nathalie menguasai bahasa Inggris, Spanyol, Arab, dan Perancis) dan lupa judul dalam edisi Inggrisnya.”

“Oh, aku tahu betul buku itu. Judulnya The Double Flames. Aku bahkan bawa buku itu ke Ubud, karena aku selalu membaca dan membacanya lagi. Aku penggila karya Paz. Dia itu dewa bagiku,” tukasku dengan berapi-api.

“Tak perlu kau bilang, aku sudah tahu itu dari nada bicaramu, dari riak di raut wajahmu. Itu sama kalau kau sebut nama Lorca di depanku,” ujar Nathalie seraya tersenyum simpul melihat semangatku yang meluap-luap.

“Kau penggila Lorca? Kau sama dengan salah seorang penyair terbesar kami, W.S. Rendra, yang bahkan bukan hanya puisi-puisinya, tapi bahkan kepribadiannya juga terpengaruh oleh Lorca.”

“O ya, waah menakjubkan sekali! Aku pun tergila-gila Lorca dan aku menulis satu kumpulan puisi bertajuk Poet in Andalucia. Kumpulan puisiku itu adalah respons dan dialogku dengan Lorca yang pernah menulis Poet in New York. Sastrawan besar Alice Walker sangat suka puisiku itu dan pernah memuji-mujinya. Aku kebetulan bawa buku itu dan aku ingin sekali kau membacanya, sekaligus akan kuberikan kepadamu buku puisi pertamaku, The Invisible Stars. Tapi maaf kepada teman-teman penyair yang lain aku tak bisa memberi mereka buku-bukuku itu, karena aku cuma bawa sedikit sekali bukuku ke Ubud ini.”

“Terima kasih Nathalie, aku jadi tak sabar sekali ingin membacanya.”

Memasuki ceruk kota Sanur jalan mulai macet dan ruwet, semacet dan seruwet otak para pemimpin di negeri zamrud khatulistiwa dan rayuan pulau kelapa yang malang ini. Tapi justru aku senang karena aku punya kesempatan lebih lama bercakap dengan Nathalie.

“Kau pernah baca Edward Said?” tanya Nathalie sekonyong-konyong.

“Tentu,” kataku, “di sini hampir semua buku Said telah diterjemahkan, dibaca dan dikagumi, dan mungkin disalahpahami. Kadang dipakai untuk menyerang pihak-pihak lain dengan cara semena-mena. Pihak yang diserang itu pun sering kali memakai Said juga untuk menangkisnya… begitulah”

Nathalie tertawa, lepas dan nyaring sekali, dan saat dia tertawa seolah-olah bebutiran embun dan seribu bunga yang mekar serempak berjatuhan dari alam nirwana. Sejuk dan semarak sekali!

“Aku beruntung karena saat ini aku bisa bekerja di bekas kantornya Said, dan mengajar di kampus tempat dia dulu mengajar,” katanya kemudian. (Kelak dari biografi singkat dalam bukunya aku tahu, Nathalie adalah Profesor Sastra dan Ahli Asia serta Timur Tengah di Colombia University, persis menggantikan posisi Edward Said).

“Kau sangat, sangat beruntung, Nathalie,” ujarku.

/3/

Dalam perjalanan pulang kembali ke Ubud, aku meminta Nathalie bernyanyi, dan dengan ragu-ragu campur tak percaya diri dia menyanyikan sepenggal lagu Arab. Tak dinyana, suaranya merdu sekali, khidmat tapi juga mengiris. Nyanyian itu ngelangut diterbangkan angin yang tiba-tiba saja menerobos jendela mobil yang sedikit terbuka, beralun-alun dan menggerai sampai jauh, jauh sekali, menggelombang bagaikan kilauan rambutnya yang panjang dan bersemu pirang.

Aku hibur dia dengan menyanyikan lagu dangdut kesukaanku, “Rembulan Bersinar Lagi” karya penyanyi maestro Mansyur S. Kuterjemahkan sekenanya dalam bahasa Inggris, dan Nathalie bilang dengan amat riang: “Rembulan sangat dipuja juga dalam nyanyian serta puisi-puisi cinta Timur Tengah.”

Kejadian itu berlangsung dua malam lalu, dan lantaran acara kami sering bentrok, kami tak pernah bersua lagi sejak itu. Tapi aku janji kepada Nathalie akan mengenalkan dan menulis tentangnya buat pembaca Indonesia. Dan dia berjanji akan mengusahakan penerbitan puisi-puisi penyair Indonesia kontemporer, dan memintaku untuk memberikan semacam peta atau gambaran perpuisian Indonesia masa kini kelak via email (dari penelusuranku kemudian, kuketahui bahwa selain sebagai penyair dan penulis andal, Nathelie juga seorang editor yang sangat dihargai di Amerika, dan telah menerbitkan di antaranya The Poetry of Arab Women: A Contemporary Anthology, yang memenangkan PEN Oakland Josephine Miles Book Award dan dijuluki sepuluh buku feminis terbaik oleh The Guardian, sebagai editor antologi Language for a New Century: Contemporary Poetry from Middle East, Asia and Beyond, yang dianggap sebagai salah satu dari sepuluh Antologi Internasional Terbesar oleh Academy of American Poets). Tentu saja permintaan murah hati itu langsung kuiyakan dengan sukacita.

Nathalie memberikan kepadaku dua kumpulan sajaknya, yakni Poet in Andalucia dan The Invisible Stars. Dalam buku Poet in Andalucia ada komentar Alice Walker: “puisi-puisi yang mengandung kedalaman, sebuah nyanyi sedih tentang kerinduan dan pelepasan.” Sedang tentang The Invisible Stars, kritikus Raul Zurita membaptisnya sebagai sebuah “mahakarya yang menggugah.” Dari biografi singkat dalam buku The Invisible Stars itu aku tahu kalau Nathalie Handal kelahiran Bethlehem, Palestina, 1969, dan termasuk salah seorang penyair perempuan penting dunia saat ini. Kumpulan puisinya sudah memenangkan banyak penghargaan penting seperti Gold Medal Independent Publisher Award, Alejo Zuloago Order in Literature, dan Gift of Freedom Award.

Puisi-puisi Nathalie pada umumnya terkomposisi dalam kalimat-kalimat yang ringkas dan bait-bait yang ramping, diksi-diksinya bening segar, pendaran maknanya padat dan dalam, diperciki dengan metafor-metafor yang seringkali meledak tiba-tiba secara tak terduga atau menggerai memecah ke pelbagai arah yang tak disangka-sangka. Hal-hal kecil dan bersahaja di sekitarnya, dalam sentuhan Nathalie, menjelma menjadi sasmita dan perlambang, yang mengguriskan keluasan dan kedalaman penghayatannya, ketajaman visi dan kejernihan indra-indranya. Terasa pula bahwa apa pun yang ditulisnya, apa pun yang disingkapnya, senantiasa digelayuti semacam perasaan rawan dan goyah. Selalu terkilas bersitan pergumulan yang keras bahkan dalam puisi-puisinya yang paling tenang sekalipun. Kerawanan itu, kegoyahan itu, adalah pantulan nasib negerinya sendiri yang senantiasa tercabik-cabik dan bergolak oleh konflik tanpa ujung atas nama iman, Tuhan, dan kebenaran.

Kusitir salah satu puisi pendeknya:

Hati Ayahku yang Terbelah

Kesunyian dalam secangkir kopi
Adalah kesunyiannya
Dan itu satu-satunya yang menggugahnya

 

(Demi mengerti
Nasibnya sendiri
Dia pun minum kopi yang lebih pahit lagi)

Sehabis kami bicara Nathalie tanpa sungkan memelukku dengan erat dan sayang, tak ubahnya seorang kakak yang secara tak disangka-sangka bertemu dengan adiknya setelah puluhan tahun tak pernah bersua. Aku masih ingat apa yang dia bisikkan saat itu, sepenggal kalimat yang sedih dan sayu, yang akan terus terngiang-ngiang dalam telingaku:

“Bagiku setiap kata adalah eksil, tapi aku selalu berharap aku bisa menemukan rumah.”

Sekali lagi aku mendengar suaranya yang gemetar saat dia menyebut rumah, dan sekali lagi kulihat mata biru jernihnya hampir berkaca-kaca.

Sesampainya di hotel malam itu langsung kubuka secara acak buku The Invisible Stars dan kutemukan puisi yang menggetarkan ini:

 

KILYOUM

Aku punya sebuah negeri
Yang tak terlihat
Tak punya bendera
Atau cahaya bulan
Tak punya sungai
Atau bukit
Tak punya awan
Untuk memahami langit
Atau api
Untuk membebaskan hasrat
Tapi dalam kesedihan peta-petanya
Ada jawaban yang kami perlukan.

Usai membacanya tiba-tiba saja aku ingin menangis.

Ubud, 31 Oktober 2015.

Tia Setiadi
Latest posts by Tia Setiadi (see all)

Comments

  1. Sandi Sakuse Reply

    Dua orang ahli sastra dalam satu tulisan.
    selalu salut kalau dengar karya2 sastra kelas dunia

  2. Rismayanti Maulana Reply

    Ayooo kita terus berikan dukungan moral maupun doa terhadap saudara kita yang ada di Palestina agar mendapat kemerdekan atas masjid Al-Aqsa

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!