Soleh Total!

seni

“Belum tentu shalatmu, puasamu, hajimu, yang akan membuatmu masuk surga.

Bisa jadi dengan ngladeni wong cilik yang akan mengantarmu ke surga.”

 :: Allah yarham K.H. Abdullah Abbas ::

Di depan pintu surga terjadi keributan antara Malaikat Ridwan, Haji Barno, Kang Bejo, Kang Slamet, dan Lek Ontong.

“Pokoknya, saya harus masuk surga Kat, Malaikat,” gertak Haji Barno. “Bukankah kamu tadi melihat dengan gamblang, antara amal ibadahku dan amal burukku lebih banyak amal baikku.”

“Benar. Ini tadi saya mau bukakan pintu untuk sampean. Lha dumadakan kok tiga orang ini teriak-teriak. Dan Gusti Allah memerintahkan menunda terbukanya pintu surga dan mendengarkan maksud dari orang-orang ini.” Malaikat Ridwan memberi penjelasan.

“Pokoknya saya harus masuk surga. Bukakan pintunya sekarang!” geram Haji Barno.

“Lho, yang berhak memerintah saya hanya Allah. Bukan kamu, Haji Barno!” Malaikat ganti menggertak. “Ada apa kalian menghalangi Haji Barno masuk surga?”

“Begini Tuan Malaikat yang terhormat. Saya hendak mohon keadilan, selama di dunia saya tidak bisa memohon keadilan karena saya wong cilik, orang kecil yang tidak berdaya di hadapan orang kaya, apalagi kaya plus berpangkat. Waaaah, bisa-bisa saya ke alam kubur lebih cepat, keluarga saya kehidupannya bisa carut-marut. Haji Barno ini memang taat shalat, haji berkali-kali, dan tak pernah telat zakat. Tapi mulutnya itu juga rajin maksiat, coba dicek ulang. Bagaimana dia memperlakukan orang-orang kecil macam saya dan teman-teman ini. Fitnah demi fitnah keji menyebar dari mulutnya. Setiap memberi sesuatu, lain waktu dia akan ngundat-undat.

“Sebentar, ngundat-undat itu bahasa Indonesianya apa?” tanya Malaikat Ridwan.

“Waduh, apa ya?” Tanya Kang Bejo kepada Kang Slamet.

“Gini Tuan Malaikat,” Kang Bejo mencoba memberikan penjelasan, “contohnya gini, suatu ketika sampean dikasih hadiah sama Malaikat Isrofil, tapi di lain waktu Malaikat Isrofil mengatakan di hadapan malaikat lain, ‘Si Ridwan itu lho, jadi malaikat kok bisanya cuma minta’ padahal sampean ada di situ, atau kalimat serupa yang lebih menyakitkan dan merendahkan kemalaikatan sampean. Bukankah itu full menyakitkan dalam hati? Sakitnya itu di sini (tunjuk dada), Tuan Malaikat.”

“Oh. Ya, meskipun kurang paham, saya terima alasan kalian. Lha apa Haji Barno ini tidak pernah minta maaf kepada kalian? Apalagi kalian tinggal di Indonesia, di sana ada tradisi lebaran yang populer dengan nama halalbihalal saat Idul Fitri, ajang untuk melebur dosa antar sesama. Wong negerimu itu demikian istimewanya gitu lho!”

“Sebagai orang kecil kami tahu diri, Tuan Malaikat. Beberapa kali Lebaran, kami yang kecil ini mendatangi Haji Barno, yah meskipun yang salah bukan kami. Tapi dalam tata krama dan etos budaya Indonesia, yang kecil mendatangi yang besar untuk menghaturkan permohonan maaf. Tujuan kami jelas, agar hubungan sesama manusia kami bisa sama-sama bersih. Seperti bupati, gubernur, menteri, atau bahkan presiden yang selalu mengadakan open house setiap tahun kepada rakyatnya, padahal bisa jadi mereka yang banyak berdosa kepada rakyatnya dengan menyalahgunakan wewenang dan jabatannya….”

“Kang Bejo…, please deh jangan sampai kepada pihak pemerintah segala. Apa kamu itu gak bisa mikir. Kalau pejabat itu mendatangi rumah rakyatnya satu demi satu, butuh waktu berapa bulan? Langsung fokus pada Haji Barno saja!” tegur Lek Ontong.

“Baik. Terima kasih atas koreksinya, Lek. Di saat Idul Fitri kami datangi dia (nunjuk Haji Barno), eee…, setelah salaman, mulutnya itu kembali mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Semisal, ‘Wes ndang jajane dibadog! Iki kesempatane wong kere-kere koyo dapuranmu kuwi iso mangan enak tur gratis.’ Sudah cepat dimakan snack-nya itu! Ini kesempatan kalian untuk makan yang enak-enak dengan gratis.’ Siapa yang tidak sakit hati diperlakukan demikian, Tuan Malaikat? Nah setelah berkali-kali lebaran mendapatkan perlakuan demikian, maka saya sudah tidak sudi lagi untuk datang kepadanya,” Kata Kang Bejo

Kang Slamet menambahi, “Nah, sewaktu di dunia dulu saya mendengar tokoh agama yang mengatakan, ‘Kalau hukum di dunia masih bisa dimanipulasi, bisa dipermainkan, kejahatan dengan hukuman tidak sepadan. Mencuri ayam seekor divonis lima tahun penjara, sedangkan korupsi divonis setahun doang. Bahkan bisa bebas, bas, bas, bas tanpa syarat. Atau kalaupun dihukum atawa dipenjara masih bisa pergi ke mana-mana. Contohnya kalau di negara saya Gayus Tambunan itu, lhoo. Perlakuannya ketika dipenjara pun berbeda. Kalau wong cilik, satu sel bisa untuk narapidana dua puluh atau lima belasan. Tapi kalau untuk yang berduit dan berpangkat, ruang tahanannya pun fasilitasnya lux. Ada tivinya, ada ruang karaoke, bahkan ada ruang khusus untuk hahaheho, alias ruang ngeseks dengan istri atawa dengan ehm selingkuhan. Di ahirat yang salah ya salah dan dihukum sesuai kesalahannya!’ begitu kata ustadz itu Tuan Malaikat”

“Sudah, sudah. Sekarang kita timbang ulang kebaikan lagi saja. Ini perintah Tuhan!”

Malaikat Ridwan mengajak Haji Barno untuk hitung-hitungan amal ulang. Setelah dihitung ulang, ibadah demi ibadah ritual Haji Barno habis diberikan sebagai “bayar utang” atau ganti rugi kesakitan dan penderitaan hati akibat caci, fitnah, maupun kekejian-kekejian lain selama di dunia. Sampai akhirnya ibadah ritual Haji Barno habis terkuras, dan tinggal tersisa keburukannya.

***

Ilustrasi di atas bisa menimpa siapa saja, tak harus orang kaya, bisa jadi yang miskin pun merugi akibat perbuatan sepele tapi ndadekne gawe itu. Saya tidak asal membuat cerita tanpa lambaran yang bisa dipertanggungjawabkan. Rasulullah Saw. sebagai penyampai risalah Allah mengabarkan hal yang demikian kepada para sahabatnya. Dalam bahasa Rasulullah Saw., orang-orang yang secara hitung-hitungan awal itu menjadi akhir surga tapi pada akhirnya menjadi ahli neraka sebagai al muflis, orang yang bangkrut. Bagaimana tidak bangkrut jika gunung kebaikan yang dibawanya habis untuk menebus ketidakmampuannya menjaga anggota tubuh secara kaffah.

Umat Islam itu unik (saya tidak tahu umat agama lain bagaimana) demi meraih surga ibadah yang berat-berat dilakukan, termasuk “konser” keagamaan. Lihat saja pengajian demi pengajian bermunculan, minimal dalam satu tahun ustadz dan kiai didatangkan untuk  memberikan taushiyah, mulai dari Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an, Tahun Baru Hijriah, bahkan masih ada haul, ada pula pengajian mingguan, belum lagi acara-acara keagamaan di layar kaca setiap hari di bulan Ramadhan. Namun, acara demi acara keagamaan itu seolah-olah menjadi seremonial belaka, seperti konsernya Cita Ting Ting. Tak usah protes, saya juga tahu kalau aslinya Cita Citata atawa Ayu Ting Ting bin Abdul Rojak J

Namun ibadah yang terlihat sederhana tapi besar nilainya tak diindahkan. Karena memang kalah populer dan terlihat sederhana. Semisal tersenyum atau menunjukkan wajah keakraban kepada siap saja, menyantuni anak yatim, dan membela orang tertindas, atau menjaga lisan agar tidak terlibat dalam pemfitnahan dan pencacian kepada sesama saudara. Lihat saja, di sekitar kita, betapa banyak orang yang enggan kerja bakti membersihkan lingkungan, karena dianggap kurang islami dan lebih memilih menghabiskan waktu dengan shalat dhuha, karena terlihat lebih islami. Seolah-olah lupa atau tidak tahu bahwa Al muta’addi afdholu min alqasiir, ibadah yang memiliki efek kebaikan dan dirasakan langsung masyarakat itu lebih utama daripada amal kebaikan yang manfaatnya untuk diri sendiri.

Ada pula orang yang demikian terpacu untuk menjalankan shalat jamaah, puasa, dan haji. Namun tidak membiasakan diri mendidik lisannya. Setelah shalat, misalnya, ngrasani tetangga atau saudara bahkan menyebarkan fitnah keji dan seterusnya. Bisa juga mencaci orang-orang yang belum shalat. Seolah-olah dengan shalat yang dilakukan itu surga sudah berada dalam genggamannya. Ia lupa bahwa output shalat yang sejati adalah tanha ‘anil fahsa’, mencegah dari perbuatan maupun sikap keji, tercela, dan mungkar.

Betapa banyak hikayat yang seharusnya menjadikan umat Islam bermuhasabah, kemudian melakukan perbaikan diri dengan tidak menyepelekan kebaikan-kebaikan kecil namun bisa berimbas besar di dunia maupun di akhirat. Bukankah Tuhan tidak melihat besar dan kecilnya suatu amal, tapi Dia melihat keikhlasannya. Bukankah lebih baik memberi seratus ribu tapi uiiikhlas, daripada seribu tapi tak ikhlas! Tak usah didebat!

Ada hikayat, semisal seorang pelacur, bahasa halusnya PSK, yang diampuni dosanya ketika memberi minum kepada anjing yang kehausan. Ada pula hikayat, seorang ahli ibadah yang masuk neraka karena menyiksa kucing sepanjang malam. Bukankah ini hikayat yang inspiratif! Namun jangan gagal paham setelah membaca tulisan ini. Bukan berarti saya menyuruh kalian untuk mencari anjing kehausan kemudian memberinya minum, tanpa melaksanakan shalat, terus lanjut maksiat.

Pelajaran yang bisa diambil adalah : Mengasihi hewan saja, Allah menilainya dengan kebaikan yang layak masuk surga, apalagi jika mengasihi dan merahmati sesama manusia. Tak harus muluk-muluk dalam merahmati, semampunya saja. Mungkin sesuatu yang bagi kita kurang istimewa, namun cukup istimewa orang lain. Sepiring nasi demikian bermanfaat dan berharga bagi tetangga yang kelaparan. Coba sesekali hitung berapa kali mereka mengucapkan “terima kasih”? Kau tahu alasannya? Yah. Karena engkau telah menyandera hatinya dengan kebaikan yang tidak akan mereka lupakan. Wong-wong cilik yang kau karibi dengan kebaikan itu akan menjagamu di dunia dengan doa-doa tulusnya dan kelak di akhirat akan menjadi tamengmu dari jilatan api neraka!

Imam Muhtar
Latest posts by Imam Muhtar (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!