Tangis Perempuan Berkumis

w-dog.net

Setiap kali aku melihatnya menangis sembari bernyanyi—bedakan, bukan bernyanyi sambil menangis—benakku senantiasa dihinggapi pertanyaan: sedalam apakah luka yang dideritanya hingga ia menangis, dan kekuatan macam apakah yang pada saat bersamaan mampu membuatnya sanggup bernyanyi? Termasuk pada malam berhujan ini, ketika dalam nyanyiannya, di sela isak tangisnya yang telah ditakdirkan memiliki nada gaib untuk menularkan kesedihan, ia masih sanggup menggugat: apakah seorang wanita lahir ke dunia hanya untuk dijadikan bahan perbandingan?

Terkutuklah lelaki yang membuatnya menangis, yang meninggalkannya sendirian dalam alur hujan deras dan hanya berteman sebuah payung hitam. Lelaki yang memutuskan hubungan pertunangan hanya dengan satu kata: maaf. Ya, kata “maaf” saja. Sebuah keputusan yang dilandasi dengan alasan yang mungkin merendahkan seluruh kaum lelaki di muka bumi ini bahwa ia telah menemukan perempuan lain yang lebih lembut dari tunangannya itu. Segampang itukah sebuah pertunangan dibatalkan? Dan alasan macam apa ini? Apakah karena tunangannya memiliki kumis tipis di bawah hidungnya sehingga kelembutan seorang perempuan menjadi ternodai, bahkan kelembutannya menjadi hilang?

Ia masih berdiri dengan payung hitam yang tak mampu membuat pipinya tetap kering. Tubuhnya yang gigil itu bergeming di tempat pertemuan terakhir mereka meskipun hujan turun demikian deras, angin berembus keras, dan petir berkali-kali menyambar. Suara tangisannya makin meninggi. Genggaman tangannya mulai lunglai hingga angin menerbangkan payungnya. Maka, basah seluruh pakaiannya, basah seluruh tubuhnya, berbaur air matanya dengan air hujan. Adakah hujan diturunkan demi menyangatkan kesedihan?

Ia semakin menggigil, masih menangis dengan irama yang menenung siapa pun untuk turut merenung: betapa cinta dapat lebih sakit daripada luka. Sementara lelaki terkutuk itu telah masuk mobil dan pergi bersama perempuan yang dikatakannya lebih lembut darinya, perempuan yang mematung ketika menyaksikan lelakinya melukai hati seorang perempuan. Duh, di manakah letak kelembutannya itu? Pasti hanya kulit, dan hatinya beku lagi kasar.

Ia lepas cincin pertunangan di jari manisnya, melemparkannya tepat ketika petir menyambar hingga emas dua gram itu menjadi gosong sebelum jatuh ke tanah yang digenangi air.

Ingin sekali aku mengambil payung hitam yang terbawa angin, mendekatinya pelan-pelan dari belakang, memayunginya, dan mengajaknya berteduh. Untuk kali ini aku sangat ingin menghentikan kesedihannya, menghiburnya dengan kata-kata usang tentang Tuhan yang menyayangi orang-orang sabar dan tentang betapa sia-sianya meneteskan air mata untuk lelaki kurang ajar. Tapi, masa lalu senantiasa menahan langkahku untuk mendekatinya. Betapa mungkin ia akan menyalahkan keputusanku di masa lalu yang membuatnya sampai pada peristiwa malam ini. Bagaimanapun ludahku tak dapat kujilat kembali, dan ia pasti akan menemukan lelaki yang mampu menghentikan tangisannya. Tekadku sudah bulat untuk menjadi pengembara sehingga harus terus melangkah.

***

Aku mengenal suara tangisannya lebih dulu sebelum mengenal wajahnya ketika kami sama-sama sedang berada di kamar mandi sekolah (menengah pertama) yang terdiri dari dua bilik dan hanya terpisah tembok. Keran kamar mandi sedang mati, sementara aku hendak buang air besar sehingga butuh sesuatu yang meredam kegaduhan dari perutku. Suara tangisannya mampu menjadi penolong.

Ia masih menangis saat aku sudah keluar dari bilik. Aku menunggunya sambil mencerna kata-kata dalam tangisannya. Rupanya ibunya telah meninggal dan ayahnya menikah lagi. Di sanalah nasib malangnya bermula saat tidak lagi merasakan kasih sayang seorang ibu, tetapi justru sering dicaci dan dinista oleh ibu tirinya. Ia pun meratap penuh pilu.

Suara tangisnya berhenti. Pintu kamar mandi terbuka, terlihat wajahnya yang cerah dengan kumis tipis yang seolah baru tumbuh.

“Kenapa kamu menangis?”

“Kamu siapa?”

Aku mengulurkan tangan, tapi ia tak menyambutnya karena melihat telapakku basah. Aku sebut namaku. Ia bilang namaku tidak biasa, seperti bukan nama orang Indonesia. Ia menyebut nama-nama orang Indonesia, termasuk namanya yang sama dengan nama salah satu bunga.

“Apa ibu tirimu jahat?”

“Aku nggak punya ibu tiri.”

“Tapi aku tadi dengar kamu menyebutnya waktu kamu menangis.”

“Aku nggak menangis!”

“Karena kamu takut menangis di rumah makanya menangis di sekolah, ya?”

“Sudah aku bilang, aku nggak menangis!”

“Kalau nggak menangis lalu tadi kamu ngapain?”

“Aku tadi sedang menyanyi.”

“Nggak mungkin…”

“Aku menyanyi ‘Ratapan Anak Tiri’, bego!”

Ah, bego benar aku ini.

“Tapi ngapain kamu menyanyi di kamar mandi?”

“Persiapan. Guru kesenian memberi tugas untuk menyanyi di depan kelas.”

Tidak lama setelah itu kami bertemu lagi di depan kamar mandi. Aku kembali ke sana karena diare akibat kebanyakan makan sambal rujak buatan ibuku yang kemarin seharian belum laku, sedangkan ia kembali untuk mengalunkan suaranya.

“Masih persiapan nyanyi?”

“Nggak.”

“Kenapa lagunya ganti?”

“Siapa yang nyanyi? Aku menangis, tau…”

“Oh, ya? Kenapa?”

“Kata Pak Guru aku nggak bisa menyanyi, bisanya cuma mewek…”

“Mungkin karena lagumu tadi?”

“Ya, itu lagu pilihan.”

“Lagu wajibnya?”

“Lagu nasional.”

“Kamu nyanyi lagu apa?”

“Maju Tak Gentar.”

“Dan kamu menyanyikannya sambil mewek?”

“Kamu ngeledek?”

“Nggak, harusnya kamu nyanyi ‘Gugur Bunga’. Itu cocok dengan suara kamu.”

“Kamu mau bilang aku cengeng?”

Kumis tipisnya makin terlihat, dan aku hanya mampu menundukkan wajah sebelum pukulan-pukulan kecil mendarat di bahuku. Saat itu aku mulai mengerti betapa ia bertambah manis hanya saat menangis.

Sejak peristiwa itu kami menjadi akrab. Ia banyak bercerita tentang kekecewaannya memiliki kumis tipis, yang pernah suatu kali ia cukur habis, tapi esok harinya justru bertumbuh dengan sangat cepat. Itu menjadi pelajaran pertama dan terakhirnya untuk tidak lagi mencukur kumisnya, tapi cukup mengguntingnya setiap tiga kali sehari sehabis mandi pagi.

Aku sendiri mengalami masalah yang hampir serupa dengannya. Bulu-bulu halus di badanku, terutama lengan tangan dan kaki serta di dadaku, mulai tumbuh lebat. Berbeda dengan kawan-kawanku yang tidak mengalaminya kecuali tumbuhnya kumis. Ibuku tak pernah mengatakan ayahku berasal dari mana meskipun kini aku tahu ayahku berasal dari negara mana setelah tumbuhnya bulu-bulu halus itu. Mulai saat itu aku juga mengerti mengapa ibuku sering menonton film India sambil menangis padahal yang dilihatnya adegan menyanyi dan menari.

***

Aku belum mampu menjadi seorang pengembara yang baik sebab tanda-tanda kesedihan darinya tak mampu kutepiskan hingga menggerakkan langkahku untuk kembali melihatnya menangis. Aku baru turun dari sebuah kapal yang mendarat, dan karena isyarat kesedihan darinya aku berbalik masuk ke kapal yang hendak pulang menuju pulau yang baru kutinggalkan.

Suara tangisannya menuntunku mendaki bukit dan menemukan ia tengah menatap langit: mengharap Tuhan menguatkan imannya, meneguhkan hatinya. Sebab kali ini, aku dengar dari kata-kata dalam tangisannya, luka hatinya lebih dalam daripada luka akibat pertunangannya dulu. Luka yang membuat rasa rindu menjadi benci, rasa cinta berubah murka.

Apabila nasib manusia dapat dilihat dari permukaan pipinya, mungkin wajahnya dapat menjadi rujukan bagi siapa pun untuk meramalkan kemurungan dan kesenduan yang akan kerap mendatangi setiap orang yang memiliki wajah serupa dengannya. Pipinya memiliki garis amat sangat tipis—sehingga hanya terlihat dari jarak yang demikian dekat—seukuran bulir air yang memanjang dari ceruk matanya ke arah dagu, seolah telah disiapkan Tuhan untuk aliran air matanya yang kerap rebas.

Sepanjang aku mengenalnya, terutama perihal cinta, ia sering kali gagal di ujung usaha, jatuh ketika hampir mencapai harapannya. Ia amat mencintai seorang lelaki, cinta pertamanya, yang tumbuh dari sebuah peristiwa sederhana. Segala kesedihan ia tumpahkan kepada lelaki itu sehingga kekasihnya itu karib benar dengan tangisannya. Selama lima tahun mereka menjalin cinta hingga perempuan itu meminta dilamar.

Namun, lelaki itu merasa tak pantas dengannya. Dan ia tahu orang tua gadis itu selalu memandang rendah dirinya, seperti juga banyak orang melihat kepadanya sebagai si miskin yang tak jelas asal-usul bapaknya yang tak pantas berpacaran dengannya; seorang perempuan kaya dengan kecantikan kumis tipisnya. Lelaki itu senantiasa menimbang diri, pagi dan sore. Membandingkan hidupnya dengan kehidupan gadis itu. Hingga ia sampai pada kesimpulan: sekuat apa pun punggung perempuan berkumis itu, pasti tak akan sanggup membuntutinya dalam kesengsaraan apalagi setelah kematian ibunya yang membuatnya memutuskan menjadi pengembara. Ah, mohon maaf bila aku tak pandai melukiskan diriku sendiri.

Ia juga pernah menjalin kasih amat serius dengan seorang lelaki hingga rela bila pun nanti hanya jadi ibu rumah tangga dan meninggalkan cita-citanya menjadi penyanyi. Tapi, seperti aku ceritakan di awal, pertunangan yang telah berjalan tiga bulan justru batal. Dan kini, ketika ia juga menyerahkan sepenuh hatinya kepada seorang lelaki yang telah ia percayai akan meminangnya dan membawanya ke pelaminan, lelaki itu akhirnya tidak kuat untuk berkata jujur kepadanya: apakah ia mau menjadi istri kedua dan bisa menyayangi anak tiri? Dalam batin mungkin ia bersyukur sebab telah tahu lelakinya telah beranak-istri sebelum telanjur dinikahi. Namun, dalam tangisannya yang merdu aku kembali mendengar ia menggugat: hewan pun tak sudi kasihnya dicuri apalagi dia yang punya matahati.

Di atas bukit angin mengusap air matanya, mengibarkan rambutnya, menerbangkan suaranya, sementara aku masih teguh menahan langkah untuk tidak mendekatinya. Aku masih yakin akan ada lelaki yang mampu menghentikan kesedihannya. Untuk itu aku memilih menunda pengembaraanku sampai melihatnya mendapatkan lelaki itu. Sebab percumalah aku melangkah jika pada akhirnya selalu kembali kepadanya sebelum sampai pada tujuan kembaraku: ayahku.

***

Dengan apakah rasa sedih harus diseduh selain dengan air mata? Dengan apakah rasa benci diluapkan selain dengan amarah? Dan ia menyatukan keduanya ketika menangis sambil bernyanyi. Menceritakan kesedihannya sekaligus meluapkan kebenciannya. Aku tidak tahu lebih besar mana rasa sakitnya atau rasa kesalnya ketika dalam kemeriahan malam resepsi pernikahannya datang tamu yang tak diundang: seorang perempuan yang membawa anak kecil mengaku sebagai istri mempelai lelakinya. Hati perempuan mana yang tak berdarah mengalami peristiwa serupa itu? Pesta mana yang lebih duka daripada pernikahannya di malam itu?

Sesungguhnya ia telah lama, dan berkali-kali, berkeluh-kesah kepadaku tentang pandangan miring orang-orang mengenainya. Semenjak awal sekolah menengah atas ia telah menerima kondisinya yang berbeda dengan perempuan lain. Namun, ketika mendengar bisik-bisik tentang “perempuan berkumis memiliki libido tinggi”, “perempuan berkumis memiliki naluri penggoda”, dan bahkan “perempuan berkumis perebut suami tetangga”, ia menjadi murung dan semakin kerap menangis.

Hal yang dihindarinya kini justru menjadi kenyataan. Bahkan, telah dua kali tanpa sepengetahuannya ia berpacaran dengan suami orang. Adakah memang benar kumis tipisnya menggoda?

“Hanya aku yang tidak tertarik dengan kumis tipismu dan segala mitos yang dibawanya,” kataku suatu kali saat masih berpacaran.

“Lalu bagaimana bisa kau menyukaiku?”

“Aku suka tangisanmu.”

“Jahat.”

Demikianlah adanya sehingga dulu aku lebih banyak menikmati setiap tangisannya dengan membiarkan tangisan itu berhenti karena lelah. Bahkan, tak sekalipun aku mengusap air matanya sebab alirannya yang indah terlalu sayang untuk dihentikan.

Kini air mata pengantin yang seharusnya menitik karena kebahagiaan justru menetes di pipinya karena kekecewaan. Ia kecewa, benci, sekaligus sebal karena mempelai lelakinya telah mempermalukan seluruh keluarganya. Sakit hati ia telah terbiasa, dan dapat ia tahan, tapi rasa malu, terutama bagi keluarganya, tak dapat disembunyikan. Dan seperti biasa, di setiap tangisannya ia masih sanggup menggugat, menyatakan isi hatinya: kumohon batalkan perkawinan ini, diriku tak sudi bila kau punya istri!

Seandainya malam ini pesta pernikahannya berjalan lancar, esok pagi pastilah aku melanjutkan pengembaraan ke arah barat, menelusur garis silsilah yang kata ibuku berada di Hindustan. Namun, kehadiran tamu yang tak diundang itu kembali menahanku melanjutkan pengembaraan, juga membuatku gamang apakah keputusanku selama ini telah benar? Jika benar, mengapa kesedihan perempuan berkumis itu masih memanggilku untuk mendekat? Mengapa semakin jauh aku melangkah semakin besar rindu yang tumbuh?

Rasanya aku harus mulai jujur pada diriku sendiri bahwa pengembaraan itu hanyalah pelarian dan alasan bahwa kami tak sebanding hanyalah pelapis di balik kekhawatiran yang berlebihan: apabila kelak kami berumah tangga aku mungkin akan kerap membuatnya menangis hanya untuk kebahagiaanku. Aku tak dapat membayangkan apa yang akan aku lakukan untuk membuatnya menangis demi mendengar suara tangisannya yang merdu dan syahdu, demi menikmati suara isaknya yang pedih di setiap jeda ratapan, dan demi melihat wajahnya yang bertambah manis ketika pipinya dialiri air mata yang bening. Ah, betapa aku lebih terkutuk daripada lelaki-lelaki yang pernah membuatnya menangis.

 

Narator cerita di atas adalah Arjun yang diambil dari lagu dengan judul yang sama yang dibawakan Iis Dahlia dan Yus Yunus. Selain dari lagu itu, cerita juga disusun dari beberapa lagu yang dinyanyikan Iis Dahlia, yaitu: “Payung Hitam”, “Ratapan Anak Tiri”, “Matahatiku”, dan “Tamu Tak Diundang”. Sejumlah bagian kalimat yang dimiringkan dalam cerita berasal dari lagu-lagu tersebut.

Asef Saeful Anwar
Latest posts by Asef Saeful Anwar (see all)

Comments

  1. Suki Malo Reply

    cerita yg cerdas.
    Aku suka gaya penceritaannya. 🙂

  2. Ifanuddin Wira Kusuma Reply

    Bagus. Sebagai anak sastra dan penyuka lagu dangdut, saya sangat suka. ☺☺

  3. Anonymous Reply

    Kereeen

  4. Sarina Reply

    Kereeen

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!