“Wabah Lain” Kritisisme Intelektual (Menggunjingkan Esai “Wabah Anti-Intelektualisme” Zen RS)

“Wabah Lain” Kritisisme Intelektual (Menggunjingkan Esai “Wabah Anti-Intelektualisme” Zen RS)
Sumber gambar: si.wsj.net

Mengaitkelindankan pengetahuan dengan kesucian—itu artinya menempatkan sang cerdik akal sekaligus (haruslah) cerdik hati—memang terlalu makin utopis kini. Seyyed Hossein Nasr yang sangat kondang dengan buku tersebut adalah sang utopia itu sendiri kemudian: maka (agar tak jadi utopia) biarlah ihwal pengetahuan adalah sebuah wacana (discourse) dan perihal perilaku adalah sebuah hal lainnya; biarlah teori adalah sebuah kritisisme di langit sana dan perkara lelaku moralitas adalah sebuah hal lainnya di darat.

Sudah pasti sebagian Anda yang kritis akan tergelak pada prolog ini. Bagaimanapun, usaha memisahkan kepala (sebutlah wacana/ teori) dan hati (sebutlah moral/ budaya) pada diri seseorang, kendati itu nyata demikian ruah bukti empirisnya, terdengar bagai pekerjaan sia-sia, utopia, meski Anda sangat bisa kemudian mengangguk refleks betapa itu (teori satu hal dan moral satu hal lainnya) memang benar adanya. Sederhana saja kalimat yang bisa Anda takik untuk menampiknya: mungkinkah Anda menyapih kenangan dari kepala?

Mustahil!

Ini sesederhana fakta bahwa para koruptor dari periode ke periode adalah kaum cerdik pandai yang (sebagiannya) memiliki hikayat sejarah mentereng sebagai aktivis dan akademisi pembela kebenaran dan keadilan.

****

Institusi sekolah, seberapa pun ia kian gemar dirajam olah kaum kritis yang juga alumni-alumninya, tak tertampik tetaplah memegang tampuk utama proses intelektualitas seseorang. Kekayaan pengetahuan teoretis seseorang, lugasnya, berbanding lurus dengan jenjang pendidikan yang didakinya. Memang, ini terlalu hipotetis, lantaran kenyataannya banyak pula kaum kritis yang mengasup ragam pengetahuan kritis di luar sekolah—tetapi meminggirkan sekolah sebagai tambang pengetahuan juga sama sembrononya, bukan?

Di luar elemen pendidikan (baca: pengetahuan), Jean Baudrillard menyebut budaya sebagai elemen penting lainnya yang membentuk school seseorang. World view-nya. “Pengetahuan dan budaya bagi mereka yang tidak mempunyai kunci rahasia, yaitu kode yang memungkinkan penggunaan secara sah, rasional, akan menjadi peluang bagi perbedaan yang lebih runcing dan lebih tajam,” kata Baudrillard.

Bila mengikuti Baudrillard, pilar budaya seyogianya juga diletakkan secara adil sejajar bersama pilar pendidikan itu. Kualitas seseorang tidaklah cukup hanya dinalar dalam barometer kritisisme pengetahuan, tetapi sepantasnya pula ditakik dalam barometer kebudayaannya. Keduanya saling tunjang. Keduanya menjadi pembentuk integritas seseorang. Maka menyana kaum religius yang menasbih iman dalam atmosfer hidupnya, misal, sebagai “tidak intelek” lantaran “tidak kritis” pada episteme iman dan fatwa-fatwa mazhabnya, lantaran beriman mudah benar dipostulasikan sebagai perilaku taklid dan anti-kritisisme, sebagaimana disinyalir Zen RS dalam esainya “Wabah Anti-Intelektualisme” di Jawa Pos (10/9/2016), menyisakan ketakadilan episteme yang pantas dikritisi sejelinya pula.

Jamak sekali memang kita menganut statemen bahwa seorang intelektual niscaya seorang yang berbudaya. Semakin tinggi intelektualitas seseorang semakin civilized-lah dia. Semakin rendah intelektualitas seseorang semakin terbelakanglah budayanya. Lalu, imbasnya, jagat spiritualitas, keimanan, akibat di dalamnya memfatwakan kepercayaan dan kepatuhan, diklaim berseberangan dengan logika jamak tersebut—meski kita mesti buru-buru insaf bahwa logika tersebut amatlah rapuh, sesungguhnya.

Anda pasti tahu Adolf Hitler. Kurangkah intelektualitasnya sehingga mencetaknya jadi mesin pembunuh yang amat mengerikan? Anda pun pasti tahu benar hikayat-hikayat ketakadilan politik Orde Baru. Kurangkah orang-orang cerdas di dalamnya sehingga kedemagogan dipanggungkan sedemikian rupa? Anda pun niscaya mafhum sosok-sosok cerdas di gedung dewan kita. Mengapa faktanya bangsa ini kian rajin mengusap air mata oleh kabar-kabar korupsi yang amat menjijikkan?

Inilah bukti-bukti betapa persoalan kebudayaan seseorang merupakan pilar yang sangat potensial untuk centang perenang dengan persoalan intelektualitas. Inilah data empirisnya betapa kekariban kepala yang memuat pengetahuan dengan hati yang memuat iman dan moralitas acap berselisih bagai oli di atas daun talas. Inilah sederet data bahwa kecerdasan adalah satu kementerengan dan keadaban adalah satu kemewahan lainnya—yang pada (justru) kebanyakan manusia saling berpunggungan.

Maka narasi Zen RS pada “kita yang tidak kritis” sebagai “pembela sesuatu yang kita tidak tahu persis duduk perkaranya. Sebab, sering kali kita merasa sudah berpikir. Padahal, yang bekerja sebenarnya hanyalah favoritisme, subjektivisme, dan pikiran-pikiran ideologis yang dogmatis dan membeku”, tidaklah sepenuhnya relevan untuk dipukulkan serta-merta pada semua pihak, termasuk para pengiman—persis kurang relevannya pernyataan bahwa kaum kritis adalah penjunjung kebenaran.

Kenyataannya, beririsannya kelompok cerdik pandai yang amoral (uncivilized) setamsil saja khazanahnya dengan kelompok pengiman pentaklid yang uncivilized. Beririsannya kelompok intelektual yang menggunakan pengetahuannya untuk memperkaya budaya moralnya (civilized) searas saja dengan kelompok pengiman yang menjadikan keyakinannya sebagai sumber dan landasan mempercantik perilakunya (civilized).

Pada dua irisan riil ini, argumen dikotomis macam apa yang masih relevan untuk dipanggungkan sebenarnya? Nalar hierarkis apa gerangan yang patut menjadikannya terus dirayakan?

Apakah kita ini sedang membela kebenaran dan kebajikan (civilization), yang boleh jadi jalannya melalui kritisisme atau taklid, ataukah kita ini hanya tengah merayakan “wabah delegitimasi” satu kelompok sebagai underdog di hadapan kelompok teoretikus hanya sebab kurang piawainya mereka berdendang wacana?

Bila si A baik perilaku sosialnya, pertanda ia civilized, seminimnya di lingkungan ia hidup, tetapi ia tak pernah kenal siapa itu Imam Ghazali, Imam Junaidi, Ibnu Atha’illah, Talcott Parsons, Tan Malaka, dan Pramoedya Ananta Toer, mengapa ia perlu dipandang sebelah mata sebagai penganut “pikiran-pikiran ideologis yang dogmatis dan membeku”? Jika si B adalah pawang Nietzsche atau Alfred North Whitehead, lalu dengan bertepuk dada ia menebar proklamasi ateisme di kampungnya demi meraih derajat “Manusia Super”, sehingga ia dikenal egois perilaku sosialnya, bukankah mestinya dia yang sangat layak dikasihani karena gagal berbudaya sebagai manusia dan at home di halamannya?

Atau, mari dibalik tamsilnya biar tampak lebih adil. Umpama si A buruk budaya sosialnya akibat keterbatasan pengetahuannya, bukankah kekejian yang diproduksinya jauh lebih minimal ketimbang kebusukan yang diedarkan kaum cerdik pandai yang brengsek akhlaknya? Bukankah si A paling banter jadi maling sapi, sementara si B yang cerdik pandai menjelma Medusa yang dengan ular-ular hitam di kepalanya tega mengorupsi segala apa?

Memang, logika demikian tak perlu dijadikan penashih bahwa keluasan ilmu pengetahuan tidaklah penting kontribusinya bagi keluasan perspektif dan keindahan lelaku seseorang. Tidak. Sebagai salah satu pilar pokok di hadapan pilar kebudayaan itu, sekali lagi, kapasitas kritisisme seseorang akan mewarnai kualitas kebudayaan (termasuk tingkat keimanannya jika ia religius) yang berbeda antara si tahu dan si tidak tahu. Seminimnya, secara paradigmatis. Ini satu poinnya. Tetapi, tepat di sebelahnya, ini poin sandingannya, menjadi kegegabahan luar biasa untuk mengiyakan negasi keadaban (uncivilized) kelompok yang terbatas akses pengetahuannya, menyebutnya underdog, disebut “wabah anti-intelektualitas”, seperti para pentaklid.

Jika kita bersiteguh bahwa pada prinsipnya ilmu pengetahuan adalah “alat” untuk menuju goal besar bergelar memperbagus kehidupan, memperindah kebudayaan (civilization)—yang oleh Multatuli difatwakan “menjadi manusia”—tentunya tidak diperlukan lagi dikotomi cendekiawan versus awam; kiai versus jamaah; pemimpin versus rakyat; kepala rumah tangga versus anak-anak; imam versus makmum; hingga Barat versus Timur. Dikotomi demikian hanyalah pengulangan debat lama berbau feodalistis, yang sudah sangat dekil wacananya dan celakanya terulang lagi dan lagi pada setiap zaman tanpa keadilan apa pun. Benturan Timur-Barat ala Samuel P. Huntington yang dikritik kemudian oleh Francis Fukuyama hingga pertikaian Orientalisme dan Oksidentalisme yang melibatkan Hassan Hanafi. Lalu, jangan lupakan, pertarungan wacana Gus Dur dan Amien Rais tentang kaum intelektual kultural versus struktural. Dan, boleh tambahkan, perseteruan abadi Kiri dan Kanan. Semua itu hanyalah kepongahan faksional tak tepermanai pada berhala-berhala klasik, expired, yang melalaikan prinsip dan tujuan pokok kita bersekolah, membaca, berdiskusi, dan merenung. Fakir otoritas episteme di dalamnya, nisbi keadilan faktual di dalamnya, dan sepi kebenaran di dalamnya.

Sebagai fans Zen RS yang fanatik membaca tulisan-tulisannya di media mana pun, saya jelas tidak perlu ingkar sama sekali bahwa esensi esainya yang mendorong kita berkritis itu sangatlah penting dihayati oleh siapa pun. Tetapi, tepat seusai mengasupnya, tidaklah laik bagi kita untuk absen mengerti segera betapa kritisisme yang civilized seyogianya tidak mewariskan subordinasi dalam bentuk apa pun, apalagi negasi. Merayakan kritisisme melalui subordinasi dalam bentuk apa pun, apalagi negasi, saya kira, merupakan bentuk “wabah lain” dari “favoritisme, subjektivisme, dan pikiran-pikiran ideologis yang dogmatis dan membeku.”

Jogja, 17 September 2016

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!