Wahai Pembela dan Penentang Aksi Mogok Buruh, Apa yang Sebenarnya Anda Bela?

Sumber gambar
Sumber gambar posronda.net

Sangat langka menemukan pengusaha kaya raya, sebab tak semua pengusaha otomatis kaya raya, yang secara terbuka membela aksi-aksi demo buruh. Jika Anda mengklaim situasi demikian sebagai bukti empiris “bebalnya kaum pengusaha”, dapat dipastikan bahwa Anda adalah tipikal manusia bebal itu sendiri; yang masih harus belajar memahami bahwa di dalam hitam ada putih dan di dalam putih ada hitam. Bebal teriak bebal, itu segendang sepenarian sama Jose Mourinho yang mengolok-olok Louis Van Gaal dan Arsene Wenger sebagai “sedang berusaha membeli trofi juara” karena rajin belanja pemain di musim transfer lalu untuk kemudian niscaya ditirunya di musim transfer yang akan datang karena kesulitan sendiri melihat posisi klasemen Chelsea di layar smartphone yang kecil, sebab ada di nyaris telapak kaki.

Menyaksikan perdebatan rutin serupa siklus beol antara pendukung dan penentang aksi demo buruh, juga debat-debat bermuka dua lainnya, sudah sampai pada level njijiki lantaran meributkan baik versus buruk, mulia versus hina, proletar versus borjuis, dan ujungnya surga versus neraka. Albert Einstein palingan akan cekikikan dari kuburnya sembari menyorongkan isi salah satu suratnya di bulan Mei 1930, betapa sesungguhnya tak pernah ada ukuran atas segala sesuatu tetapi kita semua harus dapat mempertanggungjawabkannya.

Saya yang sudah puluhan tahun menjadi pengusaha beragam bidang, dari buku, guest house, properti, travelling, hingga advertising, dan sudah menikmati manisnya meski tak setaipan Tuan Kokok Dirgantoro lantaran Alphard telah saya jual sejak gemar ikut pengajian tasawuf di Sewon, tertawa saja sembari mainan m-Banking menyaksikan debat absurd seribu kepentingan itu.

Lha iya, memang itu debat klise tak berujung sampai kiamat kok, yang akan kembali terulang di waktu-waktu berikutnya. Persis debat halal-haram mengucapkan selamat Natal sebentar lagi. Siapin tenaga debatmu lho biar dapat surga.

Anda yang membela aksi buruh dengan pekikan ideologis Marxis berslogan “hancurkan kapitalisme” atau “saatnya kaum proletar melawan candu kaum borjuis”, apa beneran bisa menyediakan lapangan kerja kepada mereka yang membutuhkan penghasilan? Apa pekik-pekik ideologis dikotomis-sumir-nisbi itu sanggup mengobati sakit mereka, kebutuhan makan mereka, juga biaya sekolah anak-anak mereka? Jangan-jangan, sindir Soe Hok Gie, Anda teriak-teriak begitu sebab Anda sedang merayakan posisi: “Munafik adalah berteriak saat di bawah dan menindas saat berkuasa.”

Dor!

Berkelahi untuk mengumbulkan satu wacana, atas nama Yang Mulia HAM dan demokrasi sekalipun, dengan menindas wacana lainnya (sebutlah kubu pengusaha), saya pikir tak jauh beda dengan kesibukan meniup kondom bekas pakai sembari mencengkeram satu sisinya sehingga menggelembung sisi lainnya. Coba lepaskan cengkeraman Anda, bukankah gembungnya akan sama rata?

Maksud saya begini, Lur.

Bahwa ada memang pengusaha yang sempurna mewarisi genetika Qarun plus Fir’aun, macam donatur makelar minyak yang lagi naik daun kepada calon presiden yang tak jadi sebesar 500 miliar, hal demikian tak usah dipungkiri. Hanya ada satu kata untuk pengusaha rajim demikian: LAWAN!!!

Tetapi menuding semua pengusaha adalah pemeras buruh, penindas keadilan mahalalim, sehingga harus dilawan, dihujat, didemoin, hal demikian sama persis dengan Anda menolak keberadaan pabrik, mal, kantor, dan pasar yang notabene merupakan motor ekonomi masyarakat. Sesuatu yang Anda tolak, saya cemas sekali, adalah bagian mutlak dari lingkaran kehidupan kita sendiri. Bukankah itu serupa dengan Anda menebas leher Anda sendiri tanpa menyadari bahwa Anda tak bisa hidup tanpa kepala?

Pabrik jelas dibutuhkan untuk memproduksi barang-barang kebutuhan masyarakat, termasuk kaum buruh. Di dalam pabrik, dibutuhkan para buruh untuk memproduksi barang. Di dalam pabrik pula, dibutuhkan modal untuk memutar seluruh pilar produksi. Uang modal ini didapat dari omzet penjualan. Pilar-pilar ini jelas harus selalu dikawal agar neraca keuangan terus berputar. Perusahaan berjalan, buruh dibayar, pasar pun sehat. Lalu di manakah letak tidak butuhnya buruh pada pabrik, juga pengusaha pada karyawan, pertikaian borjuis dan proletar?

Soal bos pabrik mampu membeli Mercedes SLK-250, yang tidak mampu dibeli buruh, bukankah itu tidak dosa, sepanjang bos tersebut telah memenuhi hak buruh sesuai peraturan dan adat tradisi yang ada? Soal buruh mampu membeli motorsport Ninja, yang juga mampu dibeli bos perusahaan, bukankah itu tidak melanggar hukum pidana, sepanjang buruh mendapatkannya dengan cara halalan thayyiban? Bukankah tidak adil gaji buruh produksi disamakan dengan gaji CEO, apalagi pemegang saham? Bukankah keadilan sama sekali bukan soal bagi rata sama rasa, tetapi soal kontribusi masing-masing secara proporsional?

Lantas, lantas, lantas di mana masalahnya, ya?

Saya tahu. Masalahnya adalah Anda seorang bos yang serakah karenanya hina atau Anda seorang buruh yang tamak karenanya dina. Bos yang serakah akan terus memerah keringat karyawannya untuk memperkaya diri sendiri segunung-gunungnya. Pengeluaran seminimnya, penghasilan sebanyaknya. Begitu isi kepalanya, tahi semua, persis septic tank. Buruh yang tamak juga akan terus merongrong perusahaannya dengan berahi memperkaya diri sendiri tanpa memikirkan kesehatan neraca keuangan perusahaannya. Bekerja sekadarnya, berpenghasilan sebanyaknya. Begitu isi kepalanya, telek semua, persis kandang ayam.

Andai bos yang serakah-hina demikian suatu kelak menjadi buruh, ia pun akan setamak buruhnya kini; andai buruh yang tamak-dina suatu kelak jadi bos, ia pun akan seserakah bosnya kini. Sama belaka, sebab ini sepenuhnya soal tabiat yang pada dasarnya sama tetapi hanya berbeda posisi.

Ya sudah, terus saja begitu sampai jelek, dan simak saja terus kikikan Marx yang menjuluki kita manusia-manusia bebal yang aslinya tak pernah membela keadilan apa pun, melainkan semata kepentingan. Soal busa-busa dalih, mulut siapakah kini yang gagap membela kepentingannya sembari menghujat kepentingan orang lain, tho? Kitab Al-Google selalu siap membantu anda agar kelihatan lebih cerdas dari telonya. Kutip saja narasi pemberontakan Albert Camus tentang “ekspresi manusia atas belenggu sejarahnya” atau fatwa Fritjof Capra tentang “organisme proses”. Selesai!

Tetapi, jika kita masih menggunakan nurani, bukan sekadar memiliki nurani, kendala apakah gerangan yang menghalangi kita untuk insaf berjamaah bahwa aslinya kita semua hanya sedang membela kepentingan, bukan keadilan? Jika keinsafan atas hal sesederhana ini tak juga terbit di hati, bagaimana bila hatinya dijual saja? Toh hidup tanpa hati juga bagian dari Hak Asasi Manusia; demokrasi siap sedia melindunginya, sembari meremukkan tradisi wiwitan dan tedak sinten yang sungguh kaya simbol kearifan hidup luar biasa.

Terus-menerus mengulur berahi debat, Anda yang membela kaum buruh akan semudah mengupas pisang untuk menista kaum pengusaha. Dengan seburuk-buruknya jejulukan. Tepat di sebelahnya, para pembela pengusaha akan semudah mengupas kacang untuk meneteli kedengkian Anda. Juga dengan sejelek-jeleknya jejulukan. Semua kubu persis odong-odong.

Sungguh memprihatinkan pertikaian aneh ini. Gimana ndak aneh wong perkelahian ini dilakukan oleh kita yang aslinya saling membutuhkan, tho. Sampai kiamat tetap saja buruh butuh perusahaan dan perusahaan butuh buruh. Kita mafhum ini, tapi kok berantem terus, sih?

Ini setamsil benar sama suami istri yang batal ML gara-gara meributkan wacana feminisme dan keimaman di atas ranjang dalam keadaan telah telanjang. Padahal aslinya yang batang butuh lubang dan yang lubang butuh batang; yang feminis butuh imam dan yang imam butuh feminis. Tanya saja sama Betty Freidan atau Julia Kristeva kalau ndak percaya. Lebih aneh lagi bila lantas saling menalak di atas ranjang, masih dalam keadaan telanjang, padahal seminggu kemudian saling merindukan makan dan telanjang bersama.

Kok kayak Agus Mulyadi saja yang enteng berkata, “Kamu bahagia duluan saja, Mbak, saya gampang…”, padahal tiga hari kemudian nangis di pelukan Pak Trimo.

Chaos pengusaha-buruh ini saya yakin takkan terjadi andai: pengusaha membuka perusahaan dengan diniati ibadah dan buruh bekerja di perusahaan dengan niat ibadah pula.

Kenapa tertawa? Anda pikir tawaran spiritual ini main-main, ya?

Dasar jomblo, ateis pula. Pantes bawel!

Jogja, 27 November 2015

 

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!