Cinta sangatlah pendek, tetapi kenangan sangatlah panjang.
(Pablo Neruda)
Ia menderita. Di wajahnya terserak luka. Air mata? Kenapa masih merasa perlu ditanya? Sejak kapan luka tak berkawan air mata, bahkan di pematang mata kaum lelaki paling Don Juan penakluk banyak hati wanita?
Abah pergi 100 hari yang lalu dan saya tak kuasa membujuk takdir sekelebat pun untuk menunda. Takdir selalu datang tepat waktu; tidak seperti lidah kita yang berkumur kelu.
Stephen Hawking, seorang ateis yang disebut-sebut saintis terjenius pasca Albert Einstein, pengarang mega best-seller A Brief History of Time (2009), sampai merasa perlu untuk mengakui jerembabnya ia di hadapan wartawan The New York Times di tahun 2004 bahwa, “Harapan-harapanku lenyap saat aku berumur 21 tahun seiring serangan penyakit itu. Sejak waktu itu, segala sesuatu adalah sebuah bonus….”
Siapa pun, dalam hidup ini, ada saatnya untuk down. Terjungkal. Saat kau jungkal, sebagaimana yang saya alami kala Abah pergi menghadap-Nya 100 hari lalu, serupa Hawking yang drop kala diserang neurone motoris di usia 21 tahun yang kemudian menyebabkannya lumpuh, kau akan merasa seketika menjadi nothingness. Ketiadaan. Bahkan semenit kemudian dari waktu kau merasa sangat ada; sangat gagah, muda, pintar, berpengaruh, atau berharta.
Ke-ada-an dan ke-tiada-an sungguh setipis kulit bawang. Ada dan Tiada selalu menjadi cara kita meng-Ada. Thing dan nothing selalu berbatas kabut kenisbian. Setipis jarak ghibah dan tabayyun, kata Langit Amaravati.
Tetapi, waktu tetaplah maju melangkah, bukan?
Waktu, sebagaimana telah disumpahkan dengan “Wal ashri” (Demi Waktu) oleh Tuhan dalam al-Qur’an, selalu hadir untuk memberikan kebangkitan lagi dan lagi kepada setiap kita pasca terjungkal. Sekali lagi, bangkit dan jatuh adalah cara kita meng-Ada di antara hentakan Waktu.
Sekaliber Hawking menyebutnya “bonus”. “Kehidupan ini akan menjadi tragis jika ia tidak lucu,” ujarnya sembari menuturkan bahwa baginya banyak sekali keunikan dan kelucuan dalam hidup ini.
Setamsil dengan jungkalnya saya kala Ibu tak pernah kembali dari tanah Haram Makkah di tanggal 1 Oktober 2010, kepergian Abah juga memantik penyesalan-penyesalan yang mendalam. Khas seorang anak yang ditinggalkan orang tuanya.
Andai saya selalu menyediakan waktu untuk Abah selama ini, pastilah saya akan lebih leluasa untuk menyandingnya.
Umpama saya tak menjadi budak rutinitas yang lamat-lamat membebalkan saya dari kelucuan-kelucuan hidup selama ini, pastilah saya akan lebih memiliki banyak cerita dan kenangan bersama Abah.
Jikalau saya tidak pelit pada apa yang saya miliki yang pernah diminta Abah selama ini, niscaya saya takkan semenyesal ini di antara materi-materi yang saya uber tanpa makna ini.
Andai, umpama, jikalau.
Bukankah kita semua memang selalu bergumam demikian di kedalaman hati yang terluka setiap kita kehilangan seseorang yang amat berharga dalam hidup kita?
Kita adalah para penyesal yang selalu datang terlambat. Kita adalah para pengeluh yang selalu berjanji takkan mengeluh lagi untuk tak lama kemudian akan kembali mengeluh.
Film Interstellar menggambarkan pada kita tentang betapa nisbinya kita di hadapan semesta waktu. Seorang ayah ternyata bisa lebih muda dari anaknya yang ditinggalkan kala masih sangat belia untuk menjelajah ke luar angkasa nun tak terperi tepinya.
Maka saya selalu membayangkan bahwa lalu-lintas antargenerasi manusia di hadapan sang waktu ibarat sebuah kue lapis raksasa.
Generasi kakek saya telah habis semua. Itu terjadi dalam kisaran 50 tahun lalu. Kemudian digantikan generasi Abah saya. Itu terjadi dalam kisaran 30-40 tahun lalu. Kini, digantikan oleh generasi saya, dan diteruskan oleh generasi anak saya, untuk selanjutnya akan diestafeti oleh generasi cucu saya. Itu semua akan terjadi dalam kisaran 30-40 tahun ke depan.
Kakek saya telah terlipat di lapisan kue lapis itu sejak 50 tahun lalu. Lalu Abah saya menyusul terlipat di lapis berikutnya. Kemudian akan tiba waktu saya untuk menyusul terlipat di lapisan berikutnya. Kemudian disusul anak saya. Kemudian disusul cucu saya. Kemudian disusul cicit saya.
Kini, mari bayangkan sejenak, sebesar apakah lapisan-lapisan kue lapis yang telah diciptakan sang waktu sejak masa Nabi Adam? Oh, terlalu jauh. Baik, bayangkan dari masa Nabi Muhammad saja.
Berapa lapis?
Bila umur manusia kini rata-rata 65 tahun, maka lapisan-lapisan kue lapis itu sebanyak 21 lapis. Kakek saya ada di lapis ke-20. Abah saya berada di lapis ke-21. Saya akan berada di lapis ke-22.
Begitu terus sampai kiamat.
Jika kita menggunakan hasil riset NASA terkini bahwa kiamat diprediksi akan terjadi 8 miliar tahun lagi, yang diindikasikan oleh kian saling-tersedotnya seluruh planet ke sebuah lubang yang lebih raksasa dari Lubang Hitam (Black Hole), yang oleh Hawking disebut sebagai akibat peristiwa Big Bang yang menandai dimulainya waktu, maka LCD gadget-mu takkan sanggup memberikan notasi angka berapa pun untuk menghitung lapisan-lapisan kue lapis itu.
“Maka nikmat Tuhan yang manakah yang masih akan kau dustakan?”
Tak ada yang bisa kita lakukan, karena kita memang bukanlah siapa-siapa di antara lanskap tata surya ini; ruang dan waktu. Pasir di pantai pun masih jauh lebih besar daripada individu kita. Maka bila kita merasa bahwa kita adalah “ada, besar, hebat”, sungguh di waktu yang sama kita sebenarnya sedang alpa saja untuk eling posisi lapisan-lapisan kue lapis itu.
Kenangan.
Hanya inilah yang bisa kita bangun sepanjang hidup ini. Menciptakan kenangan yang penuh senyuman untuk orang-orang di sekitar kita, sehingga ketika tiba masanya bagi kita untuk menghuni jejalan kue lapis itu, mereka akan mengenang kita dengan senyum dan air mata kerinduan.
Cinta jelas akan kandas dengan segera, seiring dengan begitu cepatnya waktu berkelebat. Tetapi kenangan akan hidup abadi sampai setidaknya sekian generasi di bawah kita. Begitu kata Pablo Neruda. Dan sadarkan Anda bahwa kenangan selalu menjadi cara bagi semesta untuk mencatatkan helai-helai sejarah hidup kita dalam ingatan-ingatan terdalam denyut napas manusia?
Kenangan yang baik menandakan kita orang baik. Kenangan yang buruk menandakan kita orang buruk.
Sesuatu yang terbaik di masa depan hanya muncul sekali dalam suatu hari, kata Abraham Lincoln. Seyogianya titik-balik ini selalu kita cengkeram sebagai penanda kita akan menuju ke kelokan yang mana: kenangan baik atau kenangan buruk.
Bukankah teramat sering kita meninggalkan kelokan yang mengarahkan kita kepada kebaikan demi mengikuti kelokan yang menyurukkan kita kepada keburukan, padahal kita mengerti bahwa kelokan itu hanya akan datang sekali saja dalam bentang kehidupan kita untuk kemudian bertunas sebagai tangkai kenangan kita?
“Demi Waktu, sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan-kebaikan…”
Selamat jumpa, Abah. Pada saatnya, semoga kita diperjumpakan kembali di sisi-Nya. Allahummaghfir lahu warhamhu wa’afihi wa’fu anhu. Amin.
Jogja, 5 Juni 2015
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019