12 Oktober 2016; Beberapa Jam Setelah Mantan Kekasihku Berusia 31 Tahun

6259698224_55cf3f5470_b
flickr.com

Kamu dan aku bukan menara kembar itu, yang memang dirancang untuk selalu berdekatan, terus berdampingan di kala panas dan hujan, dalam gelap dan terang, saat cuaca cerah atau sedang berselimut kabut asap dari Indonesia. Kebersamaan kita tidak tersusun dari baja dan beton bertulang, namun terbentuk dari setumpuk pilihan dan sejumlah keinginan. Petronas tahu bagaimana caranya untuk tetap berdiri kokoh di bawah sengatan matahari yang membara, sedangkan kita bahkan tidak mampu membedakan antara cinta atau ego semata. Keringat dan air mata yang selama ini kita pikir diperas untuk cinta, ternyata cuma gejolak hasrat yang sementara. Sesumbar perasaan di antara kita tak berarti apa-apa ketika sampai pada pertanyaan “semua ini akan bagaimana akhirnya?”

Seharusnya hari ini kita sedang bahagia bersama, menyaksikan atraksi air mancur di depan Suria KLCC, atau duduk menyeka keringat di anak tangga Batu Caves, atau berdiri dengan tangan yang saling menggenggam di dalam kereta monorel, seperti 12 Oktober di tahun-tahun sebelumnya. Namun kali ini, kau dan aku duduk berhadapan penuh rasa canggung di ruang tamu rumahmu yang setiap bagiannya pernah menyaksikan kebahagiaan kita, dulu. Tak ada yang berubah sejak terakhir kali aku berada di sini beberapa bulan yang lalu. Bahkan aku masih bisa melihat sisa tawa dan dekapan kita tertinggal di dinding depan kamarmu yang muncul berupa bayangan dari dalam kepalaku. Ruangan ini masih sama, tapi semua sudah tampak asing, termasuk kamu dan bingkai gambar kita yang masih dipajang meski kacanya retak—mungkin tak sengaja jatuh atau memang kamu banting. Seperti pertemuan ini, yang dipaksakan terjadi saat sudah tidak ada apa pun lagi di antara kita.

Suara pelan televisi di ruang tengah beradu dengan desah napas beratmu. “Aku rindu sama kamu, kamu yang dulu,” katamu kemudian.

“Aku tidak,” sahutku cepat, dengan bibir yang sedikit bergetar. “Aku yang dulu terlalu bodoh, mencintai seseorang yang tidak mempunyai perasaan yang sama denganku.”

“Aku tak bermaksud seperti itu. Kamu sendiri yang memilih untuk pergi.”

“Tapi kamu yang menginginkan aku pergi.”

Kamu menggeleng, “Kupikir kamu sudah sangat mengenalku.”

Aku tersenyum kecut. “Jika aku benar-benar mengenalmu, aku tidak akan secinta itu sama kamu.”

Kemudian kamu berbicara panjang tentang kesepian, sesal, dan rindu yang mendera setelah aku pergi. Sayang, aku sama sekali tak tergoda, untuk sedikit memercayainya saja aku enggan. Luka ini terlalu lebar menganga. Hatiku sudah segersang gurun, semua rasa terbaik yang pernah kumiliki untukmu telah mati kekeringan dan sulit ditumbuhkan kembali. Masih tergambar jelas dalam ingatanku kejadian itu, ketika beberapa baris kalimatmu sangat telak membuat perasaanku babak belur. Aku bahkan tidak butuh berpikir dua kali untuk angkat kaki dari rumahmu, dan hidupmu. Empat tahun menjalani hubungan jarak jauh yang tak pasti bertemu walau hanya sebulan sekali seharusnya sudah cukup membuat kita tidak menemukan alasan untuk berpisah.

Pukul sepuluh malam, aku baru saja sampai di rumahmu saat itu. Di ruang tengah, di sofa berwarna abu-abu tua, kita duduk berdekatan dan bertukar cerita yang tak lebih banyak dibanding rindu yang kita tanggung selama berjauhan. Di dada kirimu yang hangat, kusandarkan kepala beserta segala beban di dalamnya. Aku suka mendengar detak jantungmu, salah satu hal yang selalu ingin kudengar selain lagu favoritku, yang tak henti kusyukuri kepada Tuhan selain embusan napasku sendiri. Kita tampak manis seperti biasanya, sampai aku mempertanyakan tentang tujuan akhir hubungan kita.

Relatives prefer that you’re a married jackass than being single innocently pursuing other life goals. Kamu sama saja dengan mereka di luar sana, menganggap satu-satunya pencapaian hidup adalah menikah. Jangan bahas itu lagi, masih banyak hal lain yang harus aku raih. Jika kamu mengharapkan ada pernikahan dalam waktu dekat, kupastikan itu bukan aku yang jadi pasanganmu.”

Seperti hujan yang tiba-tiba mengguyur saat matahari sedang terik dan langit cerah tanpa awan. Kata-katamu membuatku tersentak. Kamu sudah mempunyai hampir semua hal yang diimpikan oleh pria dewasa lainnya. Apa lagi yang dianggap kurang? Hingga beberapa detik setelahnya aku masih berpikir barangkali itu hanya gurauan dan kamu akan berkata, “Aku bercanda, Sayang” sambil tersenyum dan mengecup puncak kepalaku.

Gemuruh dari dalam dadaku menjalar ke seluruh tubuh saat yang kutemui adalah tatapan serius dari sepasang mata cokelatmu. Bagaimana bisa kalimat menyakitkan itu terlontar dari bibir yang meninggalkan banyak jejak di balik sapuan lipstik warna burgundy-ku? Aku, sekali pun tak pernah membayangkan hidup dengan laki-laki selain kamu. Kamu yang mengaku sangat diberkati karena dipertemukan denganku. Kamu yang rela berkali-kali menempuh jarak yang tak dekat, demi sekadar melunasi rindu. Kamu yang memintaku agar selalu setia karena menjalani hubungan ini tak segampang mengedipkan mata. Seketika aku merasa kasihan dengan diri sendiri yang butuh waktu bertahun-tahun untuk tahu yang sesungguhnya, untuk menyadari bahwa tujuan kita tidaklah sama. Bahwa ternyata kebersamaan kita selama ini sama palsunya dengan bunga tiruan di atas meja kerjaku di Jakarta sana.

Sejak hari itu, cinta dan harapanku tenggelam ditelan kecewa yang luar biasa. Aku beranjak meraih koper yang belum sempat diletakkan ke dalam kamar, berjalan cepat menuju pintu rumahmu, mengabaikanmu yang berusaha mencegahku sembari berulang-ulang menyerukan namaku dan kata sayang bergantian. Kamu tahu, itulah kali pertama setelah empat tahun aku dibuat muak oleh panggilan sayangmu.

“Aku minta maaf. Sungguh, aku merindukanmu…. Tidak bisakah kita mulai lagi dari awal?”

“Tidak,” jawabku tanpa ragu. Memberimu kesempatan kedua sama saja dengan kembali hidup dengan berbagai harapan yang selalu berupa pertanyaan. Kamu, rangkulan hangat di bandara, beserta puluhan lembar tiket pesawat yang harus ditebus untuk pertemuan-pertemuan singkat, sudah telanjur menjadi masa lalu yang tak layak dikenang.

“Oh iya, selamat ulang tahun,” ucapku lirih, tanpa kue bertabur parutan keju dan lilin di atasnya, tanpa pelukan yang berakhir dengan ciuman lembut di pipimu, tanpa cinta yang tersisa di hatiku. Dengan senyum yang dipaksakan, kusodorkan hadiah ulang tahun berupa sebuah surat warna tosca berpita perak ke hadapanmu, tepat di dekat asbak rokokmu. Selamat ulang tahun ke-31. Teruslah hidup dengan isi pikiranmu, dengan pilihan-pilihan yang kau anggap paling tepat. Raihlah apa pun itu yang menurutmu jauh lebih berharga dari sebuah ritual konyol bernama pernikahan. Tak lama lagi aku akan memenuhi keinginanmu sebagai kado terakhir untuk usia barumu; menikah dengan laki-laki selain kamu.

Yogyakarta, 12 Oktober 2016

Avifah Ve

Comments

  1. Ocyid Al Bahrawi Reply

    Madridista akhir zaman. Ini pilihan katanya yang oke.

  2. Natasha Deborah Panjaitan Reply

    astaga aku langsung galau 🙂 ceritanya bagus dan pilihan diksinya cocok menggambarkan suasananya. aku jadi merasa seolah-olah aku yang jadi tokoh utamanya hahaha 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!