
Menonton A Ghost Story jangan harap akan menemui berbagai jumpscare, adegan berdarah-darah, atau sosok-sosok seram dengan latar tempat yang gelap. Alih-alih menyeramkan, sepanjang film kita justru dihadapkan pada hal-hal acak dan cenderung membingungkan seputar waktu, tentu saja bersama tokoh utama yakni sesosok hantu mengenakan kain putih dengan dua lubang di bagian matanya. Karena notabene A Ghost Story bukanlah film horror melainkan supernatural-drama di mana “waktu”-lah yang menjadi fokus utama sang sutradara, David Lowery, sebagaimana pada bagian bawah poster film tertulis “it’s all about time.”

A Ghost Story diawali dengan percakapan sepasang kekasih (diperankan oleh Casey Affleck dan Rooney Mara) yang membahas tentang impian si perempuan (saya sebut saja mereka sebagai “si perempuan” dan “si lelaki”, karena sepanjang film nama mereka sama sekali tidak disebut) untuk kembali ke masa kecil dan menulis catatan seputar sajak, puisi tua, dan hal-hal lainnya. Pada scene ini digambarkan mereka berdua sangat harmonis, seakan-akan tak ada masalah yang berarti di hubungan mereka, diperkuat dengan adegan mereka saling berpelukan di sofa, dan sesekali si lelaki menciumi kekasihnya.
Kita mulai berpikir hubungan mereka tidak baik-baik saja ketika si perempuan ingin membuang piano tua dalam rumahnya dan si lelaki tidak begitu peduli, malah sibuk dengan kegiatannya sendiri sebagai seorang musisi. Malam harinya kejadian aneh terjadi ketika mereka tidur, suara denting piano yang sangat keras membuat mereka terbangun. Si lelaki memeriksa seisi rumah dan tak menemui apa-apa. Keesokan harinya, si lelaki mengalami kecelakaan mobil tepat di jalan seberang rumahnya dan meninggal—secepat itu sang sutradara membuat penonton patah hati.
Adegan beralih ke rumah sakit, si perempuan menatap mayat kekasihnya, tanpa ada air mata, bahkan mimik sedih pun nihil. Hanya datar. Tak lama setelah si perempuan pergi, mayat si lelaki beranjak dari ranjang, membawa serta kain putih yang menutupinya. Ia menyusuri rumah sakit, lalu memasuki pintu yang bercahaya, dan secara ajaib berjalan menuju rumahnya.
Keadaan mulai rumit ketika si lelaki menjadi anonim, keberadaannya menjadi tak kasat, ia hanya bisa memperhatikan apa yang terjadi di hadapannya. Teka-teki dimulai ketika si perempuan menyelipkan lipatan kertas kecil pada celah dinding rumah sebelum ia pindah. Di sini sang sutradara mulai bermain-main dengan waktu—memajukan maupun memundurkan, dan kita juga turut serta menjelajahinya bersama hantu.
Banyak hal terjadi pada rumah itu, mulai dari penghuni baru yang sopan yakni seorang ibu dan tiga orang anak, berganti segerombolan pemuda yang menggunakan rumah tersebut untuk pesta, sampai rumah tersebut dihancurkan, rata oleh tanah, dibangun gedung perkantoran, dan waktu tiba-tiba mundur teramat jauh ke belakang, ke masa di mana belum ada bangunan apa-apa di situ, hanya tanah berumput yang dihuni keluarga primitif (entah dari zaman apa). Seakan-akan si lelaki dipaksa untuk melihat masa depan dan sejarah rumah tersebut.
Sebagai sesosok hantu, si lelaki bukan berarti tak bisa melakukan apa-apa. Ia bisa menyentuh benda-benda, menjatuhkan, bahkan membantingnya. Memang tak afdol rasanya jika menggunakan judul seperti A Ghost Story tapi tak menunjukkan hal supranatural sama sekali.

Pernah terlibat di film yang sama (Ain’t Them Bodies Saints, 2013) tentu tak susah bagi David Lowery untuk membentuk hubungan yang solid antara ia, Casey Affleck, dan Rooney Mara. Yang menarik adalah film-film David Lowery selalu mendapatkan respons positif dari para kritikus film, terbukti dari banyaknya nominasi maupun penghargaan yang ia dapatkan, sebut saja tiga kategori yang ia menangkan di Deauville Film Festival 2017 untuk film ini (Critics Award, Revelations Prize, dan Jury Prize), selain itu tiga film yang ia sutradarai (Ain’t Them Bodies Saints, Pete’s Dragon, dan A Ghost Story) semuanya mendapatkan rating “certified fresh” di Rotten Tomatoes. Perpindahan genre yang David Lowery lakukan juga membuat penggemarnya semakin penasaran, dari Ain’t Them Bodies Saints yang kental akan nuansa crime-drama, lalu beralih ke animasi, Pete’s Dragon, dan kini ia kembali ke drama lewat A Ghost Story.
Melankolis, Puitis, dan Mindblowing
Tempo A Ghost Story sering kali lamban. Teknik pengambilan gambar dominan still, dan beberapa scene kita temui menggunakan teknik one-take. Sebut saja ketika si perempuan sampai di rumah sepulang dari rumah sakit. Ia memakan satu loyang pie, dan adegan berlangsung kurang lebih 5 menit tanpa cut. Tapi bukan berarti film ini akan membosankan. Lompatan-lompatan interval waktu membuat kita penasaran apa sebenarnya yang ingin sutradara ceritakan lewat “penjelajahan” ini, dan jangan lupa tujuan sang hantu belum tercapai—mengambil lipatan kertas peninggalan kekasihnya di celah dinding rumah mereka.

Sesekali penulis teringat akan film pendek Ismail Basbeth berjudul Shelter (2011). Apabila di film Shelter kita dihadapkan pada permasalahan seorang lelaki yang berusaha menarik perhatian seorang wanita di dalam bus dengan cara menyentuh dan menggerayangi tubuhnya, tapi sama sekali tak digubris, diakhiri dengan adegan wanita tersebut turun dari bus lalu menemui lelaki tadi tergeletak di jalan karena kecelakaan dan ditutup dengan kutipan “love the one you’re with… while you can.”, di A Ghost Story justru sebaliknya—si perempuan yang tak digubris, dan (entah menyesal atau tidak) si lelaki menjadi sesosok hantu yang anonim.
Mungkin jika Yorgos Lanthimos (sutradara Alps, Dogtooth, The Lobster) berkolaborasi dengan Dennis Villeneuve (sutradara Sicario, Arrival) membuat sebuah film drama, lahirlah A Ghost Story ini. Lewat tempo lamban, nuansa melankolis, dan pembawaan yang puitis ala Yorgos, dipadukan dengan plot twist yang mind-blowing ala Dennis.
- Penyesalan yang Selalu Datang Terlambat; Review Film Drive My Car (2021) - 2 March 2022
- Valak yang Tak Lagi Mencekam; Review Film The Nun (2018) - 12 September 2018
- Mendengarkan Album Baru Alex Turner… eh, Arctic Monkeys - 30 May 2018