Abu ‘Ali ar-Razi

Beliau adalah persis sebagaimana judul di atas. Tidak ada lagi keterangan tentang nama beliau. Tentu saja beliau lahir dan dibesarkan dengan sejumlah atribut yang menyertai nama besar beliau itu. Tapi di dalam kitab yang merupakan rujukan saya dalam penulisan biografi singkat para sufi, Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi, hanya nama itulah yang tertulis.

Saya menuliskan nama sufi di atas di antara biografi mereka yang telah jatuh cinta kepada Allah Ta’ala semata karena kedalaman makna dari sebuah kalimat yang telah dilontarkan oleh beliau sendiri. Dengan tegas beliau menyatakan bahwa kalau engkau melihat hadiratNya menjauhkanmu dari makhluk, maka sesungguhnya Dia memilihmu untuk diriNya sendiri.

Di sini, kita mesti melihat terlebih dahulu tentang bagaimana ciri-ciri Allah Ta’ala itu memilih seseorang sebagai kekasihNya. Tentu saja dengan memprioritaskan orang tersebut di antara orang-orang yang lain. Ketika orang-orang lain dibiarkan begitu saja, hadiratNya memprioritaskan orang itu dengan sepenuh hati.

Perlakuan Allah Ta’ala terhadap orang itu tentu saja tidak dengan menjadikannya manja dan bergelimang harta benda, tapi mutlak dengan penuh perhatian yang menggiringnya untuk senantiasa fokus dan fokus kepada hadiratNya semata. Pada saat yang bersamaan, segala sesuatu yang lain berubah menjadi semakin tiada.

Di saat itu, segala sesuatu yang lain perlahan-lahan tapi pasti berubah menjadi semakin tidak bernilai, menjadi semakin tiada. Di penglihatannya, hanya hadiratNya saja yang semakin terasa ada, hanya Allah Ta’ala yang semakin bernilai. Selebihnya adalah tumpukan barang-barang kosong ketiadaan.

Berarti sudah sangat jelas bagi diri kita bahwa sesungguhnya orang-orang terpilih di hadapan Tuhan semesta alam itu adalah mereka yang memang diproyeksikan oleh hadiratNya untuk menempati kedudukan rohani yang memang sangat terhormat. Dan hal itu mutlak datang dari Allah Ta’ala, bukan dari mereka sendiri.

Andaikan beribu-ribu tahun seseorang beribadah kepada hadiratNya, tapi Dia tidak menghendaki orang tersebut menjadi kekasih, maka selamanya dia akan meringkuk di situ, tidak akan pernah menambah pengalaman rohani apa pun. Karena sesungguhnya dia bukan saja tidak berdaya, tapi mutlak sepenuhnya tiada.

Karena itu, dalam melaksanakan sembah sujud kepada Allah Ta’ala, yang semestinya kita kedepankan adalah sikap rendah hati yang paling puncak, rasa butuh yang paling penghabisan terhadap rahmatNya yang tidak bertepi. Di saat itu, insyaallah kita akan direspons oleh rahmatNya yang tidak terhingga.

Dengan demikian, ketika Allah Ta’ala telah menjauhkan kita dari makhluk-makhluk, sesungguhnya hal itu merupakan kasih-sayangNya yang sangat luas, lebih luas dibandingkan langit dan bumi sekaligus. Di saat itu, kita akan menjadi begitu terkesima menyaksikan hadiratNya, bagaimana mungkin kita yang tiada ini bisa mendapatkan Yang Mahaada.

Di saat yang sangat membahagiakan itu, kita akan terbebas dari segala sesuatu yang tidak perlu, dari segala jibunan yang hakikatnya tidak ada. Kita pun akan merdeka dari segala prasangka, dari segala bayang-bayang yang sebenarnya tidak pernah ada. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!