![](https://basabasi.co/wp-content/uploads/2020/04/b0ba8440cb7ea27d2e59d8bfe709d6d4.jpg)
Beliau berasal dari Nisapur. Berkawan dengan banyak syaikh di Irak. Segenerasi dengan Syaikh Junaid al-Baghdadi, bersahabat dengan Syaikh Abu Turab an-Nakhsyabi dan pernah bepergian bersama. Berteman akrab dengan Syaikh Abu Sa’id al-Kharraz. Wafat sebelum Syaikh Junaid al-Baghdadi dan setelah Syaikh Abu Sa’id al-Kharraz, pada tahun 290 Hijriah.
Tentang gambaran spiritualitas beliau, kisah berikut ini bisa dijadikan starting point untuk menelusurinya lebih jauh. Pada suatu hari, beliau berada di suatu masjid di Ray, Teheran. Beliau hendak membalutkan secarik kain di kakinya sebagai ganti sepatu. Di saat itu, datanglah seseorang yang memberikan Dabiq, sejenis serban asal Mesir yang panjangnya bisa mencapai seratus hasta.
Serban itu sangat mahal. Bagaimana tidak, wong tenunannya juga dicampur dengan emas yang di zaman dulu harganya mencapai lima ratus dinar, selain sutra dan benang tenunnya. Padahal satu dinar saja sama dengan 4,25gr. Sungguh merupakan serban yang sangat mahal sekaligus istimewa.
Lantas, bagaimana Syaikh Abu Hamzah merespons pemberian berupa serban sangat berharga itu? Sangat senangkah beliau? Ternyata tidak, sama sekali tidak. Wajahnya tetap datar sebagaimana sedia kala. Tidak ada tanda-tanda kegirangan di wajahnya seperti halnya seseorang yang baru saja mendapatkan sesuatu yang telah diidamkan. Malah serban itu dipotong, lalu dililitkan di kakinya.
Ketika ditanya oleh orang-orang di sekitar beliau kenapa hal itu dilakukan, padahal serban itu sangat mahal, beliau dengan entengnya menjawab: “Aku tidak suka khianat kepada mazhabku sendiri.”
Dari jawaban itu kita bisa paham bahwa mazhab spiritual beliau tidak lain adalah mazhab “pas-pasan” dalam dunia materi di satu sisi, dan pada saat yang bersamaan beliau menganut mazhab “jor-joran” secara rohani di sisi yang lain. Artinya adalah bahwa beliau mengambil bekal materi dari dunia ini seminimal mungkin, tidak lebih dari apa yang betul-betul diperlukan untuk menopang sembah sujudnya kepada Allah Ta’ala.
Mengamati model mazhab spiritual seperti itu, di antara kita mungkin ada yang mengajukan pertanyaan: bukankah tawaran rezeki materi itu seharusnya diambil sebagaimana semestinya untuk didermakan di jalan hadiratNya? Bukankah dengan rezeki materi yang banyak seseorang bisa beramal sebanyak mungkin? Bukankah rezeki materi yang fana bisa bernilai abadi? Bukankah banyak di antara para sufi yang juga kaya-raya secara materi? Dan lain sebagainya.
Semua pertanyaan itu betul untuk diajukan sebagai semacam gugatan. Akan tetapi juga jelas bahwa setiap sufi itu memiliki jenis jalan rohani masing-masing. Antara yang satu dengan yang lain tidak sama, juga tidak bisa ditukar. Hal itu menunjukkan bahwa jalan rohani yang menuju kepada Allah Ta’ala sangat banyak. Tidak saja sebanyak jumlah para sufi, tapi bahkan sebanyak jumlah makhlukNya. Setiap makhluk datang dari hadiratNya ke gelanggang kehidupan ini dengan cara yang berbeda-beda dan akan kembali kepadaNya dengan cara yang berbeda pula.
Ada orang-orang yang tidak bisa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala kecuali dalam keadaan kaya. Ada orang-orang yang tidak bisa mendekatkan diri kepada hadiratNya kecuali dalam keadaan miskin atau pas-pasan sebagaimana Syaikh Abu Hamzah. Ada orang-orang yang tidak bisa mendekatkan diri kepada hadiratNya kecuali dalam keadaan sehat seperti kebanyakan kita. Ada juga orang-orang yang tidak bisa mendekatkan diri kepada hadiratNya kecuali dalam keadaan sakit seperti Syaikh al-Harits al-Muhasibi yang terus-menerus sakit ambien. Dan lain sebagainya.
Bagi kita, setidaknya bagi saya sendiri, tidak masalah lewat jalan apa pun, yang penting disambut oleh Allah Ta’ala dengan senyuman dan rida yang menjadi dambaan setiap salik yang dengan getar kerinduan senantiasa menuju kepada hadiratNya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Husin al-Harawi - 17 January 2025
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025