Seorang yang Telah Kehilangan Kewarasan Bertanya tentang Tuhan
“Kau seorang nabi?”
“Tidak. Aku hanya seorang hamba.”
“Kau Tuhan pemegang otoritas tertinggi?”
“Tidak. Aku tidak mungkin melampaui wibawa akbar-Nya. Ia, sebagaimana tertera dalam nas-nas atau ayat-ayat suci, berkuasa atas yang hidup dan yang mati.”
“Dan, Ia tidak pernah memaafkan dirimu.”
“Bukankah kau tidak tahu aku membawa lentera? Aku mencarinya di desa-desa terjauh, di lembah-lembah yang lembap, di antara bukit batu, di kota-kota termegah seperti dalam buku-buku dongeng. Aku tetap mencari-Nya. Dan, dalam mata orang-orang yang tak berdaya aku menemukan diri-Nya.”
“Dan kau menjanjikan surga dan pelayanan dari 72 bidadari?”
“Benar sekali.”
“Dan mereka percaya bahwa ada surga dan bidadari?”
“Aku sendiri telah melihat semua itu. Aku melihat firdaus, aku melihat bidadari. Dan, pada sebuah gerbang aku melihat Ibu Lilith tersenyum.”
“Tapi kau telah membunuh-Nya.”
“Aku tidak pernah membunuh-Nya!”
“Kau membunuhnya sejak dalam pikiranmu.”
“Tapi aku mencintai-Nya. Aku akan jadi martir-Nya.”
“Darah dan air yang tumpah dari lambung Putra-Nya, hosti dan anggur yang telah ditumpangi dengan berkat langit, tidak membuat tanganmu terbuka. Tidak kau biarkan kepalamu remuk.”
“Tapi aku tahu bagaimana berlaku benar sesuai dengan kebenaran yang tertulis dalam ayat-ayat tentang diri-Nya.”
“Ha-ha-ha, kau melupakan hal yang paling esensial dalam hidupmu.”
“Bagaimana hal itu bisa terjadi sementara aku selalu mematuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya.”
“Orang yang gelap hatinya belum pernah menyadari keberkahan.”
“Ha-ha-ha, potong lidahku bila perkataanku menyesatkan orang, lebih baik tangan dan kaki buntung daripada jejak kakiku menuntun orang ke jurang yang paling kelam.”
“….”
“Malaikat bersama aku.”
“Tidak. Iblis. Iblis selalu bersama orang yang keras kepala.”
“Dan aku keras kepala? Adakah ajaranku menyesatkan orang lain?”
“Tidak ada surga bagi seorang penjahat.”
“Kau utusan Tuhan?”
“Kaupercaya pada orang gila?”
“Kau Malaikat Kematian?”
“Aku orang gila.”
Setelah mengatakan hal itu, si Sinting, dengan wajah semringah menengadah ke langit. Dan, dari arah langit dua belas malaikat menukik tajam. Dalam sebuah kedipan mata si Sinting telah lenyap dari pandangan. Si Sinting lenyap dari halaman rumah ibadah.
Sementara orang yang diajak bercakap itu, tersenyum penuh kemenangan.
Aku tuhan? Ia bertanya kepada dirinya sendiri. Ya, aku tuhan. Ia menegaskan dengan mantap. Sekali lagi, ia memandang ke arah langit dan dengan sebuah gerakkan, ia mulai menari. Ia terus menari hingga malam yang paling kelam menghampirinya, membungkusnya begitu rapat. Malam yang sesungguhnya malam merangkulnya dengan mesra. Dan, ia yakin, seyakin-yakinnya bahwa malam adalah waktu yang paling indah, karena malam selalu menyimpan rahasia keajaiban. Ia percaya bahwa segala di bawah kolong langit ini lebih bergairah ketika malam tiba. Ia percaya malam adalah waktu Tuhan membisikkan wahyu-Nya. Ia hanya yakin bahwa Tuhan sedang bekerja untuknya.
Tentang Kematian dan Malaikat-Malaikat
“Bagaimana kau menjemput kematian?”
“Sembahyang, menjauhkan larangan-Nya, dan menuruti segala perintah-Nya.”
“Tapi tindakanmu mencerminkan pembunuhan. Kau sedang berusaha membunuh-Nya.”
“Kenapa kau berdusta dengan mengatakan hal-hal yang tidak sesuai?”
“Apakah perkataanmu sesuai dengan tindakan? Kau menghujat dan kaupikir itu caramu membela-Nya.”
“Karena seorang kafir lebih baik mati daripada dari lidahnya menyesatkan banyak orang.”
“Apa kau percaya bahwa Dia yang tak kasatmata itu, yang mengatur kehidupanmu, adalah sesosok entitas superior?”
“Aku percaya.”
“Dan kau mengangkat pedang untuk membela-Nya?”
“Ya, aku sudah mengangkat pedang.”
“Sangkamu Dia kecil dan membutuhkan pembelaanmu? Tanpa bantuanmu Dia bisa saja mengirimkan lebih dari dua belas Pasukan Malaikat untuk membela-Nya.”
“Adakah dalam ayat kitabmu tertulis dua belas Pasukan Malaikat yang akan membela-Nya?”
“Sarungkan pedangmu. Nabimu tidak pernah mengajarkan agar kau mengangkat pedang.”
“Sebelum pedang ini kuhunuskan pada lambung jahanam itu, aku belum bisa tenang.”
“Belum waktunya kauhunuskan pedang itu. Sebaiknya kau tidak memperlihatkan kebodohanmu. Sebelum tiba waktu yang kauingin, malaikat-malaikat-Nya telah menggiringmu lalu membuangmu ke kerak neraka.”
“Sebelum tanganku berlumuran darah, aku belum bisa mati.”
“Jadi sangkamu Tuhan itu lemah sehingga kau mesti membela-Nya dengan cara manusia?”
“Aku tahu agamaku adalah kebenaran sejati. Tiada agama lain selain agamaku yang membuat umat manusia memperoleh surga.”
“Kau salah. Agama yang paling mulia dan sakral adalah hatimu sendiri. Keindahan hatimu adalah agama yang paling pertama dan terbaik. Yang membuatmu bisa membedakan perbuatan daging dan roh.”
“Aku tidak mengerti.”
“Tuhan bersemayam dalam hatimu. Jika kau telah melawan kekuatan dagingmu, di sana kau akan berjumpa Tuhan yang menyediakan keteduhan sejati. Tidak perlu kau harus membela-Nya dengan cara manusiamu tapi cukup memahami cinta kasih-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Karena saatnya, Ia akan mengutus malaikat-malaikat kepunyaan-Nya menuntunmu dan menjadikanmu mulia sebagaimana janji-Nya pada semua orang.”
Setelah bicara orang itu terangkat, terus bergerak menuju langit, lalu menghilang. Sang imam itu hanya berdiri terpekur. Dadanya menjadi remuk dan rapuh.
Jika Tuhan adalah Seorang Bocah
Jika seorang nabi telah lahir dari seorang ibu yang tidak memiliki rahim yang sakral, apakah nabi itu layak diteladani? Baiklah, barangkali cerita ini bisa membantumu.
Alkisah, seorang pandai agama mempunyai ribuan pengikut. Setiap ia memasuki satu wilayah, orang-orang dari wilayah tersebut setelah mendengar ajarannya langsung meminta agar menjadi pengikutnya. Siapa pun, bahkan pepohonan, binatang atau batu, yang pernah mendengar ajarannya menjadi percaya bahwa ia adalah satu-satunya utusan yang langsung turun dari surga. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah wahyu kebenaran yang tak terbantahkan.
Ia bisa menguatkan tungkai kaki seorang lumpuh sejak lahir, membuka mata orang buta dengan ludahnya, menyembuhkan seorang tuli dengan menampar, membangkitkan yang mati dengan membisikkan sabda.
Dalam pengembaraannya seorang diri tanpa ditemani pengikutnya, ia bertemu seorang bocah di pinggir pantai. Sebelum memulai percakapan, si pandai agama berdoa, memohon petunjuk Tuhan, sekiranya ia dijauhkan dari malapetaka. Ia tahu bocah itu bukan manusia biasa. Mungkin saja iblis atau malaikat.
“Iblis pun berdoa pada Tuhan,” celetuk si bocah tanpa memalingkan wajah, seperti tahu apa yang dilakukan si pandai agama.
“Aku pergi ke tempat-tempat jauh agar orang-orang datang pada-Nya. Barangkali kau salah satunya.”
“Aku tidak membutuhkan doa-doamu untuk keselamatanku. Aku tidak membutuhkan ajaranmu agar kakiku tidak terantuk dan jatuh ke dalam jurang.”
“Aku tidak memaksamu mengikuti semua titah kudus-Nya. Tapi, kepadaku telah diserahkan semua kebesaran langit dan bumi. Tumpangan tanganku akan menguduskanmu bila hatimu ingin bertobat, sebab Ia telah menyucikan tanganku dengan berkat surga.”
“Sebelum engkau menahirkan orang-orang dengan tumpangan tanganmu, bersihkan noda yang menempel di hatimu.”
“Hanya orang bodoh sepertimu tidak menyadari kebaikan dan cinta-Nya. Engkau membenci-Nya mungkin karena Ia memberimu kelimpahan yang engkau sendiri menolak.”
“Pulanglah! Katakan pada semua pengikutmu bahwa Tuhan tidak membutuhkan agama untuk mengakui keberadaan-Nya. Tuhan tidak membutuhkan komunitas untuk menyembah-Nya.”
Si pandai agama mulai merasa tersinggung. Keinginannya membangun sebuah komunitas seperti mendapat ancaman. Ia berpikir keras untuk membuat si bocah takluk pada kata-katanya.
“Dengan komunitas kami dapat beribadah bersama. Kami percaya bahwa dalam komunitas kami bersekutu. Tidak ada keselamatan di luar komunitas kami dan mereka yang berada di luar kami adalah golongan orang-orang kafir, bedebah, begundal.”
“Sangkamu aku dan mereka yang belum kaujamah dengan tumpangan tanganmu belum merasakan kebaikan, kebahagiaan, dan cinta kasih-Nya? Tuhan yang kami sembah bukan seorang tiran tapi Ia berlaku adil dan pengasih. Cinta-Nya dapat kami rasa dan temukan dalam pandangan mata sesama.”
“Bagaimana kau memuliakan-Nya? Menjauhkan larangan dan mematuhi perintah-Nya?”
“Dengan memuliakan sesama kami memuliakan-Nya.”
“Sedangkal itukah dogma agamamu?” Si pandai agama semringah. Ia merasa akan menang dan sebuah keyakinan mengatakan bahwa bocah ini akan patuh dan taat padanya.
Sebelum ia berkata untuk memojokkan, si bocah bertanya, “Apa kau pernah mendengar kisah seorang bocah yang menciduk laut?”
“Belum. Aku ingin mendengar ceritamu.”
“Seorang imam setelah memperdalam ilmu berdoa, dan mempelajari baik-baik tata cara sembayang dan beribadah, setelah mendapat tumpangan tangan sebagai tanda Tuhan menyertainya, pergilah ia mengembara. Ia yakin benar bahwa ia sudah mengenal dengan baik semua hal tentang tata cara berdoa, karenanya, melalui dirinya ia percaya bahwa akan datang keselamatan. Orang-orang yang percaya kata-katanya akan mendapat berkat berlimpah. Yang mengikuti semua ajarannya akan beroleh kasih karunia Tuhan.
“Tiap hari, sebelum dan sesudah memulai ajarannya, ia selalu berdoa dengan khusyuk. Saat itu juga ia merasa mendapatkan bisikan Tuhan untuk melakukan sesuatu. Ada kekuatan mendorongnya agar tetap berada pada jalan yang telah dipilihnya. Ia bahagia dengan semua yang diterimanya. Tahun-tahun berlalu. Ia yakin telah mengenal Tuhan dengan cukup baik.
“Pergilah ia ke tempat-tempat yang jauh. Suatu hari ia melintas di pinggir pantai dan mendapati seorang bocah sedang menciduk laut. Imam itu terus mengamati si bocah yang mengisi air laut ke dalam lubang yang digalinya. Berkatalah imam itu kepada bocah, ‘Mengapa kau melakukan suatu pekerjaan yang sia-sia, Nak? Bukankah lebih baik kau pergunakan waktumu untuk memuji dan memuliakan Tuhan? Apakah kau tidak ingin mendengar cerita tentang-Nya?’ Bocah itu hanya menoleh sebentar, kemudian bertanya balik, ‘Bagaimana cara mengeringkan laut?’ Imam itu tertawa. Bagaimana mungkin mengeringkan lautan. Sebelum imam itu berbicara, bocah itu menukas, ‘Kau pun tak pernah bisa memahami misteri-Nya.’”
Si pandai agama terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia menerima kekalahan telak dari seorang bocah. Si bocah bangkit, menatap si pandai agama dengan kemenangan tanpa perlawanan. Dalam pandangan mata si bocah seperti ditemukan dua kekuatan: kebanggaan dan penghinaan. Kekuatan itu bagai begitu megah dan mampu menghancurkan keyakinan si pandai agama berkeping-keping. Dalam keadaan serta-merta ia mengutuk dirinya.
“Kau membuat terlihat begitu dungu di hadapan Tuhanmu,” ujar si pandai agama tandas.
Si bocah hendak melangkah pergi ke arah laut. Tiba-tiba, laut di hadapannya terbelah hingga jauh.
“Sesungguhnya, siapa kau?” tanya si pandai agama.
“Aku adalah Iblis. Aku adalah Malaikat. Aku adalah Tuhan.”
“Aku tidak percaya.”
“Dan, aku pun tidak memintamu percaya padaku.”
“….”
“….”
“Ajarilah aku bagaimana menyembah Tuhan-Mu.”
“Pulanglah. Agama yang paling baik di dunia ini adalah bagaimana kaubisa mendengar kata hatimu.”
Neraka bagi Seorang Imam
Malam ketika imam itu mengembuskan napas terakhir, rohnya melihat tabir langit terbuka. Para malaikat bersukacita, melambungkan pujian. Seisi surga bagai bersorak dan berseru. Namanya berulang kali disebut karena semasa hidupnya ia telah melakukan kebaikan-kebaikan, menjalankan semua perintah Tuhan dengan amat baik, menjauhkan semua larangan, berkabung ketika masa kabung tiba, berlaku tapa untuk memurnikan dirinya.
Imam itu pun menjadi yakin dan percaya bahwa dirinya akan bergabung bersama sekumpulan orang-orang pilihan. Ia akan menjadi domba dan berkumpul bersama mereka di sebelah kanan.
Selama masa transisi—masa di mana ia diberi kesempatan selama empat puluh hari—ia memilih berkontemplasi tinimbang berkunjung ke tempat-tempat yang pernah ia singgahi semasa hidup. Ketika bertemu dengan sesama roh yang masih terikat dosa, ia segera mengajari mereka berdoa agar tidak digiring menuju neraka jahanam. Ia berusaha membangun percakapan yang mengarahkan orang pada kesucian.
“Ganjaran bagi pendosa adalah api neraka,” ingatnya pada roh-roh yang ia temui. Ia pun menceritakan bagaimana siksaan yang akan diterima seorang pendosa. Ia menggambarkan neraka jahanam itu serupa jurang gunung berapi, yang di dasarnya terdapat nyala api. Api itu tidak pernah padam karena Tuhan sendiri menyuruh malaikat-malaikat-Nya menjaga tungku raksasa di dasarnya.
Setelah empat puluh hari, Tuhan mengutus Malaikat Malik membawa sang imam kepada-Nya.
“Aku adalah Tuhan yang berkuasa atas langit dan bumi. Kuasa-Ku adalah kudus dan selamanya tetap kudus. Kepadamu Kuberikan neraka karena engkau memuliakan-Ku hanya agar menyelamatkan nama baikmu.”
“Bukankah semasa hidupku aku telah melakukan semuanya demi memulikan nama-Mu? Mengapa Engkau memberiku neraka? Aku berzikir, menjalankan semua ibadah, menjauhkan larangan-Mu….”
Malaikat Malik terus mendorong sang imam terus menjauh dari kumpulan orang-orang yang berada di sebelah kanan Tuhan.
Dari kejauhan sang imam hanya mendengar desis pujian. Hanya itu.
Sebelum suara itu lenyap dari telinganya ia mendengar satu suara penuh wibawa, “Tidak ada nabi yang lebih layak, yang berasal dari kemurahan-Nya. Mengertikah kau akan ini semua?”
Waimana 1, Januari 2019.
- Surat dari Seorang Tawanan - 21 October 2022
- Iblis Putih - 10 January 2020
- Menjelang Badai Lain* - 2 August 2019
Yulius
Keren cerpennya… mas
jika di perkenankan jawab.. saya mau bertanya bagaimana caranya daftar menulis di basabasi
co
yunita karang
cerpen yang menarik
Anonymous
Seru
Anonymous
saya gak paham mas, tapi ini cerpen menjadi objek kajian untuk uas mata kuliah saya :’))
Mas Penan
Mirip gaya Putu Wijaya
Tp bagus, keren