Saat duduk di bangku sekolah lanjutan pertama, dulu, dalam pelajaran Penjaskes, kami diperkenalkan pada suatu adagium yang berbunyi begini; mens sana in corpore sano. Artinya; akal yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat. Karena adagium tersebut berada di dalam buku pelajaran kesehatan jasmani, maka jelaslah, untuk apa adagium itu dipelajari.
Apakah akal? Ia adalah “sistem”, semacam OS pada hardware bernama otak. Dalam bahasa asalnya, Bahasa Arab, akal—yang ditasrif dari kata dasarnya ’a-qa-la—hampir semuanya memiliki makna berpikir atau tadabur. Akan tetapi, saat kita menggunakan frasa “akal sehat” (bukan ‘aqlun sihhah atau sahihah), maknanya berubah. Frasa yang demikian itu telah dipahami dan secara konvensi taat terhadap pemahaman masyarakat penggunanya, pengguna bahasa Indonesia, sesuai dengan yang tertera di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Boleh jadi, akal yang dimaksud di sini bukan berarti semata-mata akal, tapi juga jantung, bisa juga batin. Akan tetapi, pernyataan akal (yang) sehat itu tidak selalu sama dengan spirit rohani. Memang benar ada ungkapan laa diina liman laa ‘aqla lahu (tiada agama bagi orang yang tidak berakal) yang menyatakan bahwa ajaran agama itu sebetulnya rasional, tapi pernyataan di sini bukan menunjukkan prioritas akal, melainkan semacam hujah bahwa yang mestinya diyakini oleh umat itu bukanlah takhayul atau waham.
Acapkali, adagium itu muncul dalam versi bahasa Arab yang tak lain merupakan salinannya. Ungkapan itu adalah; “العقل السليم في الجسم السليم” yang artinya, ya, tentu saja sama dengan versi latinnya tadi (akal yang sehat berada di tubuh yang sehat). Sekilas, ungkapan ini mirip hadits, bukan? Sekurang-kurangnya mirip kaul ulama.
Sejauh ini, kita tidak punya masalah dengan pernyataan tersebut. Ia diwujudkan dalam bentuk anjuran agar supaya kita memperhatikan tubuh yang sehat dan bugar. Pernyataan berikutnya; maka dari itu kita harus berolahraga dan mengasup makanan yang sehat dan bergizi. Dan pernyataan di atas tidak salah sama sekali, sudah benar.
Adagium di atas sesungguhnya merupakan terjemahan dari larik pertama puisi karya Juvenal, seorang penyair Romawi. Nuruddin Asyhadie mengingatkan, bahwa teks yang semula berupa puisi panjang tersebut nyatanya telah mengalami “amputasi” karena ada bagian yang dihilangkan, dan celakanya, bagian yang dipotong justru merupakan bagian pentingnya. Apa dampaknya? Adagium yang mestinya religius pun berubah materialistik.
Selengkapnya, teks tersebut berbunyi; orandum est ut it, mens sana in corpore sano (Berdoalah kamu agar memiliki akal yang sehat pada tubuh yang sehat). Inti dari adagium tersebut adalah “anjuran untuk berdoa”. Adapun harapan dari doa tersebut adalah; “memiliki akal yang sehat pada tubuh yang sehat”. Karena bagian “anjuran berdoa” itu yang dihilangkan, maka subjeknya berubah. Akibatnya, statemen menyimpang dari yang dikehendaki oleh penyair Juvenal.
Di dalam Islam, term “aqlus salim” (akal sehat) tidaklah populer. Yang disebut bahkan hingga dua kali di dalam Alquran adalah “qalbun salim”[1]. Adapun qalbun salim bermakna “hati yang bersih”. Memang sama-sama soal salim (sehat; selamat; bersih), tapi keduanya berbeda secara ide. “Qalbun salim” atau hati yang bersih adalah tidak adanya keraguan di dalam bertauhid. Hampir semua mufasir menafsirkannya begitu, kecuali Said bin Musayyab yang memaknainya “sakit”, itu pun dengan makna metaforis, yaitu hati yang tetap ingkar atau kufur kepada Allah sehingga ia dianggap sakit. Sementara Al-Bughawi dan At-Thabari memahami term “qalbun salim” sebagai hati yang bersih dari syirik, tidak jauh berbeda dengan pendapat Ibnu Abbas yang menyatakan kalau kondisi itu adalah “syahadat”, yakni bebas dari syirik.
Berdasarkan penjabaran di atas, akal sehat—dengan pengertian kita sehari-hari sesuai kamus, bukan dengan pemahaman perenialisme atau lainnya—yang bisa dan biasa berpikir logis atau rasional, boleh jadi dan sangat mungkin berada pada tubuh seseorang yang sakit (secara jasmani). Sebaliknya, tubuh yang sehat (corpore sano) sangat mungkin menyimpan “akal sakit”. Kalau melihat kenyataan di lapangan, yang banyak terjadi malah justru kemungkinan yang kedua, mengingat banyaknya orang jahat, termasuk koruptor, yang rasa-rasanya tidak ada satu pun yang sedang sakit pada saat mereka beraksi. Koruptor biasanya sakit kalau mulai jadi tersangka atau terdakwa.
Meskipun demikian, Islam tidak hanya membicarakan hal-hal yang spiritual belaka. Pembicaraan kesehatan jasmani juga dibahas di dalam beberapa tempat. Fairuzah mengelompokkan ayat-ayat al-Qur’an yang mengindikasikan ke arah itu.[2] Ia, misalnya, membahas rahasia dan keutamaan di balik nama tanaman yang disebut di dalam al-Qur’an, seperti buah tin, zaitun, madu, jahe, delima. Fairuzah juga membahas hal-hal yang lebih teknis, seperti mengapa darah dan bangkai diharamkan, misalnya. Menurutnya, secara ilmu gizi, makanan halal dan bergizi memiliki dampak dan peranan penting dalam menjaga keseimbangan mental.[3] Sementara darah dan bangkai hukumnya haram. Dampaknya akan berkebalikan dengan yang di atas dan sebab itulah ia tak boleh dimakan. Perlu diingat, makanan dan tumbuhan itu hukum asalnya adalah halal (seperti ikan, sayur, telur, dan ini sehat karena merupakan sumber protein, vitamin, karbohidrat) tapi dapat berubah haram jika diolah atau didapatkan dengan cara yang tidak benar, seperti dari hasil mencuri atau dibersihkan dengan air yang tidak dapat menyucikan.
Berdasarkan gambaran di atas, wajar apabila makanan haram itu jelas-jelas dilarang di dalam agama Islam.[4] Di samping itu, Islam juga memberikan perhatian atas aturan lain, di antaranya makanan dan minuman yang halal tapi makruh (seperti air dan nasi yang dikonsumsi dalam keadaan terlalu panas) atau syubhat (seperti makanan yang diragukan kehalalan dan kesuciannya). Terkait ini, Ibrahim As-Syabrahiti—sebagaimana dinukil Al-Ghazali—membagi makanan pola makan (dan tentu saja halal) ke dalam tujuh tingkatan: pertama, makanan sekadar untuk memenuhi kebutuhan; kedua, makan/makanan yang lebih dari itu, seperti makanan bergizi agar tubuh lebih energik (untuk beribadah); ketiga, makanan penambah stamina agar tenaga tidak sekadar mampu untuk beribadah yang wajib saja, melainkan agar juga mampu melakukan ibadah sunah; keempat, makanan yang dapat membuat kita kuat bekerja/mencari nafkah; kelima, makanan yang memenuhi—kira-kira—sepertiga perut alias lebih dari sekadar kebutuhan; keenam, makanan yang lebih dari itu, yang sekiranya membuat kita sangat kenyang (dan status ini sudah berada di level makruh, artinya lebih baik dihindari), dan; ketujuh, makan kekenyangan sehingga berbahaya bagi kesehatan. Level ketujuh ini hukumnya haram meskipun yang dimakan adalah makanan halal. Pasalnya, kondisi sangat kenyang dapat merusak ingatan dan berpotensi memancing timbulnya nafsu.[5]
Berikut adalah contoh kiasannya. Daging kuda diharamkan oleh mazhab Maliki tapi diperbolehkan oleh ketiga mazhab yang lain (Syafii, Hanafi, Hambali)[6]. Dalam menghadapi kondisi seperti ini, sebaiknya kita menghindar saja selagi bisa. Maksudnya, sebaiknya kita menghindari perselisihan antar-mazhab dengan cara “mending” untuk tidak mengonsumsi daging kuda meskipun kita mengikuti mazhab Syafiiyah. Begitulah salah satu cara meninggalkan yang diperselisihkan atau yang berpotensi makruh.
Dari sekian ulasan di atas, tersisa satu catatan penting, bahwa “kesehatan” rohani tetap ditempatkan di posisi pertama, selalu lebih dulu dan diutamakan daripada kesehatan jasmani. Setidaknya itu tampak dalam, misalnya, beberapa redaksi doa-doa keseharin. Salah satunya adalah doa berikut ini, doa memohon kebaikan lahir batin: اللهم اجعل سريرتي خيراً من علانيّتي واجعل علانيّتي صالحةً (yang artinya; Ya, Allah. Jadikanlah [bagian] batinku lebih baik daripada jasmaniku. Dan jadikan jasmaniku juga baik).
Jika ada ungkapan kelakar yang menyatakan bahwa “cari yang haram saja susah, apalagi yang halal”, maka percayalah itu hanyalah penyelewengan atas kemampuan kita saja. Al-Ghazali berkata, tidak sulit untuk mendapatkan yang halal jika kita merasa cukup dengan satu baju kasar dalam setahun dan dua potong roti kering untuk sehari-semalam. Tapi, gaya hidup telah mengubah segala-galanya, termasuk cara makan dan mempertimbangkan makanan. Manusia telah melampaui jauh keinginannya. Ia ingin semua hal agar syahwatnya terpenuhi. Katanya, ini logis, masuk akal, karena sesuai dengan panggilan naluri. Maka, muncullah panggilan akal sehat untuk melampiaskan syahwat dan pada saat yang sama telah mengesampingkan kesucian hati.
[1] Qalbun salim adalah ketidakraguan dalam bertauhid. Ia disebut di dalam surah Asy-Syuara’ (ayat 89) dengan pengertian ketulusan hati dalam menerima kenyataan adanya Hari Kiamat. Sementara di dalam surah As-Shaffat (ayat 84), konteksnya adalah kisah tentang nabi Nuh, tetapi penjelasannya tentang proses nabi Ibrahim yang mendatangi Tuhannya dengan hati yang suci.
[2] Di dalam bukunya Makanan Sehat dalam al-Qur’an, 2013, Pustaka Ilmu.
[3] Buku Makanan Sehat dalam al-Qur’an, hal. 167.
[4] Kecuali dalam keadaan darurat, seperti makan bangkai (binatang yang mati tanpa disembelih atau disembelih tapi dengan tanpa menyebut asma Allah) ayam jika dalam keadaan lapar dan membahayakan terhadap jiwanya, seperti berada di tengah hutan belantara.
[5] Maraqiyul Ubudiyah (syarah Bidayatul Hidayah) karya Syaikh Nawawi al-Bantani
[6] Di antara yang tiga mazhab tersebut masih ada yang menghukumi makruh tanzih, meskipun secara umum adalah halal.
- Puisi M. Faizi - 14 May 2024
- Menerjemahkan Kemustahilan - 22 October 2020
- Akal Sehat: Antara Akal yang Logis dan Hati yang Sakit - 14 October 2019
Anonymous
terimakasih atas pecerahannya pak,,
Farah
Terima kasih atas ilmu dan pencerahannya pak:)
Mutia
Sungguh seperti oase ditengah sahara tulisan ini benar2 menyejukan pak
Aulia Srifauzi
Terimakasih pak, tetap berkarya
Yahfi Ilham Maulana
mksih banyak pak , ilmunya sangat membantu
Asyiqulloh
Terimakasih K. Faizi, sehat selalu K. Faizi agar terus menginspirasi kami di setiap karyanya
Ahmad Ramdani
Tubuh Manusia pada hakikatnya memiliki tugas yang berbeda, kalau fungsi tangan dengan kaki itu sama, niscaya kehidupan Manusia akan menjadi rancu. Terimakasih atas penjabaran perihal wawasan ini.