Lagi-lagi, kita berada di penghujung tahun. Akhir tahun datang menyapa tanpa kompromi-kompromi, tanpa minta kesepakatan, juga abai terhadap pelbagai kondisi prasyarat. Momen akhir tahun sebagai suatu etalase keberwaktuan kembali membawa manusia dalam gumulan-gumulannya. Manusia yang larut dalam peristiwa historis, merunut tapak demi tapak perjalanan, menancap kenangan-kenangan, hingga akhirnya tiba pada sentrum ini.
Sudah barang tentu, berbagai refleksi, ulasan, hingga analisis filosofis bisa memberikan pembedahan kepada panggung waktu penuh makna tersebut. Para penyair tampil menawan dengan syair-syair syahdu mengelus hati, segenap filsuf membeberkan ulasan-ulasan filsafatinya, kaum religius menyuguhkan renungan-renungan tematis berkelas. Semua menanak waktu. Kita pun sama; membuat refleksi dengan cara masing-masing.
Perihal manusia dan waktu seyogianya menghantar kita pada satu hal yang pantas disadari. Manusia sungguh merupakan makhluk menyejarah. Eksistensinya kini merupakan suatu keberlanjutan dari setiap peristiwa yang terlalui. Dari waktu ke waktu, ia mengalami suatu perubahan. Ada pembentukan diri dari endapan pengalaman kehidupan; pertambahan usia, perkembangan fisik dan mental, pembentukan pola pikir dan perilaku. Saya sepakat sama ujaran filsuf Prancis Henry Bergson ini, “Bertahan hidup artinya selalu siap untuk berubah; karena perubahan adalah jalan menuju kedewasaan. Dan kedewasaan adalah sikap untuk selalu mengembangkan kualitas pribadi tanpa henti.” Dengan ini, akhir tahun merupakan tempus afirmatif tentang bagaimana manusia bertahan hidup, berubah, dan mengembangkan dirinya.
Di atas panggung waktu, akhir tahun adalah salah satu titik suaka jelajah manusia. Menyoal tentangnya boleh jadi merupakan salah satu respek mahaluhur terhadap kehidupan. Para pemikir kritis tak segan buru-buru mencegat. Bahwa merenungi waktu dan kehidupan itu sendiri mestilah berlangsung sepanjang saat, bukan menunggu momen-momen melodramatik seperti ini, lalu membuat permenungan menggugah jiwa—yang kubu lain pun tanpa telat menyuguhkan ragam pandangan dan kritisi. Setiap kita tentu punya perspektif tersendiri.
Terlepas dari itu, akhir tahun sebagai suatu penghujung waktu dalam tatanan kalender lunar memang menempati posisi istimewa. Di atas sadel akhir tahun, manusia menanti, hendak mewaktu lagi dalam pergumulan tahun yang baru. Ini merupakan isyarat bahwa dalam hidupnya, manusia punya saput-saput momentum konvensional untuk dikenang. Sampai pada titik ini, masihkah kita berani menyangkal kalau hidup itu melintang dalam rentetan waktu kronologis?
Perjalanan hidup manusia dalam rentang waktu satu tahun, kita sebut sebagai kenangan. Akhir tahun dan kenangan lantas menjelma dua keselarasan yang saling berpagutan satu sama lain. Bahwasanya akhir tahun merunut ulang kenangan, melanggengkan kembali jejak perjalanan ke dalam permenungan. Di dalamnya ada ingatan, evaluasi, dan introspeksi. Kenangan di atas pentas akhir tahun membantu manusia memberi kredit poin bagi kebermaknaan langkahnya. Juga pendedahan serentak pemafhuman diri atas ujaran “hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dihidupi”-nya Sokrates.
Mudah dipahami karenanya bagaimana akhir tahun dan kenangan yang termampatkan dalam bingkai waktu tumbuh sebagai realitas tak tersangkalkan. Menukil Agustinus dari Hippo (354-430), realitas waktu terdiri dari tiga faset; masa lampau, masa kini, dan masa datang. Namun, filsuf serentak teolog abad pertengahan ini, melihat secara kritis bahwa ketiga realitas waktu termaktub hanyalah merupakan buah konstruksi pikiran manusia. Sebab, yang lampau dan akan datang tidaklah eksis (sekarang). Tak berada dalam kekinian. Yang kini juga pasti berubah wujud jadi lampau. Ia akan segera bergegas. Ia bukanlah keabadian.
Saya tidak hendak menggunjing soal yang lampau, yang kini, dan yang datang. Yang terpenting ialah bagaimana memaknai masa sekarang dari endapan pengalaman masa lalu demi proyek hidup pada masa datang. Kita seyogianya kuasa melihat endapan segala kebaikan yang telah ditanam sepanjang tahun ini; juga keburukan yang ditebarkan; kesuksesan yang didapat; kegagalan yang datang menggerogot; kebahagiaan; juga kesedihan yang menyayat hati; demi misteri masa depan yang menanti tanpa lelah.
Inilah kredit poin makna yang termaksudkan di atas. Selanjutnya, karena manusia adalah makhluk yang hidup dalam kemewaktuan, seperti tutur Heidegger, membuat komitmen hidup untuk masa yang akan datang dengan sendirinya menjadi sepenuhnya perlu. Sederhana saja, bukankah komitmen selalu lahir dari evaluasi dan introspeksi atas dudukan di atas?
Kita pada akhirnya harus percaya, betapa akhir tahun dan kenangan bukanlah sekadar horizon hidup manusia yang teralami begitu saja. Manusia berpartisipasi di dalamnya dengan akal budi dan nuraninya untuk senantiasa bercenung. Semuanya sungguh tak terlepas-pisahkan dari waktu. Waktu telah menghantar kita tiba pada titik ini. Dan lantaran diskursus waktu, akhir tahun, dan kenangan bukanlah sumirat keabadian, langkah kita dengan sendirinya belum tuntas, tapak kita masih tetap berjaga, sehingga kenangan hidup adalah kekuatan untuk menyambut hari esok.
Gairah hidup maju mesti senantiasa terguratkan dalam perjalanan hidup selanjutnya. Demikian mafhumnya. Sebab, yang fana adalah waktu. Kita abadi://Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga//sampai pada suatu hari//kita lupa untuk apa.//“Tapi. Yang fana adalah waktu, bukan?”//tanyamu.//Kita abadi (Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982).
- Akhir Tahun dan Kenangan - 31 December 2015