
Ayo lekas dikurung. Jangan diberi ampun
“Pak, apa ini lakon apa?”
“Sstt. Kita sudah tertinggal. Nanti habislah cerita”
**
Dia masih mengabaikanku. Sudah dua jam dari berita yang dia ceritakan. Sorot matanya belum berpindah. Padahal aku sudah bilang “sudahlah”. Matanya seperti setengah melamun, setengah lainnya berpikir keras. Aku jadi ingat saat perkataanku tak digubrisnya dulu. Saat aku mulai bawel, sementara dia sedang khusyuk melakukan sesuatu. Dia tak mengatakan apa-apa. Mata hiraunya seolah berkata: aku sibuk, jangan diganggu. Dan saat ini, mungkin matanya mengatakan hal yang sama.
Sudah enam tahun. Sudah kurasa segala masam dan pahit perkataannya. Tapi aku tetap mencintainya seperti pertama kali aku mencintainya. Mungkin lantaran sikapnya yang seperti itu, menghiraukanku semaunya, yang membuatku mencintainya hingga saat ini. Lelaki goblok yang tidak tampan. Dan aku perempuan bodoh yang beruntung mendapatkannya.
Aku tahu dia resah, masih saja dia gigit-gigit bibir bawahnya sendiri. Kebiasaan lama. Kalau seperti itu, yang kubisa hanyalah menunggu. Semoga tak lama. Tapi aku tak mau jadi angin. Tapi dia tetap jadi batu. Kalau terus begitu, kami akan sama-sama bisu. Apa boleh dikata, aku bisa apa. Angin seperti apa yang hendak menghempaskan perkataan sebongkah batu.
Ada baiknya kami pergi menemukan suasana baik. Aku membawanya dan belum tahu ke mana, yang penting kami bisa bercengkerama. Langkah kakinya pelan. Dia hanya mengikuti gandenganku. Aku memapahnya seperti membawa orang linglung. Lalu tiba-tiba aku tahu harus ke mana. Matanya tak sengaja melirik satu kedai. Kedai kopi. Aku tahu, kopi akan membuatnya cukup baik.
“Aku pesankan kopi sebentar, setelah itu bicaralah.”
*
“Apa yang kulakukan? Seharusnya, mereka tak membunuhnya seperti pengecut. Kalau memang dia harus mati dibunuh, cukuplah dibunuh, tak perlu dibantai.”
Di meja lain, seseorang mengeluh. Sendirian. Mungkin ia mengeluh untuk menciptakan omong kosongnya sendiri. Atau mungkin juga pada dirinya sendiri. Atau dirinya adalah omong kosong itu sendiri. Persetan. Si lelaki, pacar si perempuan yang memesan kopi, melirik ke arah meja lain. Dilihatnya seorang berkaus putih yang dari tadi menutupi wajah dengan kedua tangannya. Dia meracau samar.
Tak lama si perempuan datang sambil melihat wajah resah pacarnya. Tapi si lelaki belum bisa mengucapkan sepatah kata pun. Mereka berdua saling tatap, hanya beberapa kejap saja. Seorang pelayan datang dengan air muka yang juga resah. Dua cangkir kopi hitam terhidang datar. Si lelaki mulai mengontrol dirinya. Dia nyalakan sebatang rokok. Seruput pertama untuk cangkir kopi yang kontras: hitam-putih. Agaknya cukup menenangkan.
Si perempuan masih menatapnya. Kini si lelaki terlihat agak lebih baik. Matanya hidup, hadir untuk wajah pacarnya yang cantik. Tapi si lelaki itu belum mematahkan satu kata pun, hingga si perempuan akhirnya memulai dengan sebatang rokok. Lelaki itu kini menggubrisnya sebentar, tahu bila pacarnya mulai bosan. Sesekali juga dia melirik ke samping. Memastikan seseorang di meja lain. Orang itu masih ada. Masih menutup wajahnya.
*
“Aku mencintaimu.”
“Terima kasih.”
Dia mengeja dua patah kata dan mengakhiri dengan sebersit senyum hambar tapi meyakinkan. Bibir bawahnya tak lagi digigit. Matanya hadir, bicara: aku sudah di dekatmu. Itu cukup baik buatku.
“Apa yang terjadi?”
Dia tak mengatakan apa-apa lagi. Hanya asap mengambang keluar dari mulutnya. Dia melirik ke samping untuk kesekian kalinya. Aku tak mengerti. Ada seseorang di meja lain. Seorang lelaki dengan kaus putih yang menutupi wajahnya. Tak kulihat orang itu memesan sesuatu di mejanya.
“Siapa orang itu?”
“Seharusnya aku mengenalnya.”
Lima kata yang baru dia ucapkan. Semuanya dari pertanyaanku. Tak apa. Tapi, aku baru sadar, tempat ini cukup sepi. Hanya ada tiga-empat meja terisi, itu pula dua orang di meja berbeda sepertinya akan beranjak menuju kasir. Lainnya sudah bersiap-siap dan terlihat merapikan diri mereka. Aku memastikan, setidaknya meja kita masih memesan dua cangkir kopi. Hanya seorang lelaki di meja lain itu, yang kukira cukup kacau.
“Aku akan memastikannya, tunggu sebentar.”
Sepuluh kata dan dia melengos pergi.
*
Si lelaki menginjak sisa rokoknya, beranjak ke meja lain. Meja itu hanya terpisah tiga meja kosong ke samping. Si lelaki mulai memastikan apa benar mengenal orang asing itu. Pacarnya melihat sambil mengisap sepertiga batang rokok. Seseorang itu akhirnya memperlihatkan wajah kacaunya. Si lelaki memastikan pernah melihat wajah itu. Sementara pacarnya masih memantau dari jarak yang cukup.
“Pemandangan itu buas.”
Orang itu menyambut dengan sebuah pernyataan. Padahal si lelaki masih berdiri. Ditatapnya wajah kacau itu.
“Siapa? Kancil.”
“Jangan pura-pura lugu!”
“Kau yang mestinya bertanggung jawab, Pak!”
“Ya. Aku! Aku sutradaranya.”
Si lelaki akhirnya mengambil kursi sambil sesekali melirik wajah pacarnya dari jarak yang cukup. Dia menarik napas agak dalam dan menghelanya setenang mungkin. Dia mengatur napasnya. Mengontrol dirinya agar tak terbawa suasana.
“Tambang itu,” lanjut seseorang itu.
“Bukan soal tambangnya! Kau tidak mengerti.”
Suara keduanya agak keras. Si perempuan samar-samar mendengar, mulai khawatir, tapi si lelaki menengoknya sekali lagi. Seolah-olah matanya kembali bicara: aku baik-baik saja. Seolah-olah juga si perempuan mengerti, memulai dengan rokoknya yang ketiga. Lelaki itu juga mengeluarkan rokoknya di saku kemeja. Mengontrol suasana.
“Bicaralah pelan-pelan. Aku tak mau pacarku mendengar.”
“Ini soal tambangnya. Soal tambangnya! Kalau Kancil tak mati, tambangnya tidak teriak. Kau tahu akibatnya?”
“Ya. Tapi masalahnya, itu pembantaian. Bukan pembunuhan!”
“Kau tahu kenapa aku di sini? Itu pembunuhan yang pengecut!”
“Kau menghindar?”
“Kalau aku bisa hilang. Aku tak akan hanya lari.”
“Tapi semua orang sudah tahu beritanya. Dia dibunuh seperti barbar.”
*
Dia terlihat tegang. Alisnya meruncing, mata seriusnya menatap orang itu. Aku tak lagi bisa mendengar pembicaraan mereka. Apa yang terjadi? Siapa orang itu? Tapi sepertinya dia akan kembali ke sini. Gesturnya akan mengembalikan dirinya ke sini, bersamaku. Tepat. Dia kembali, tapi dengan wajah agak kacau. Aku belum berani bertanya. Dia tak lebih menyukai pertanyaanku. Dia lebih suka aku diam, sebelum mulutnya mematahkan kata untukku. Baru sepuluh yang kuhitung.
Kopi hampir dingin. Malam akan semakin tawar bila tak ada pembicaraan. Tapi aku masih menunggunya mematahkan kata lagi. Aku menatapnya dengan mantap sekali lagi. Seketika, aku diam. Aku tak bisa berkutik. Dia menatapku, lagi-lagi bicara lewat matanya. Tangannya mengambil rokok di saku kemeja, entah ke berapa. Kupastikan lagi orang di meja lain itu. Sekarang dia yang mencuri-curi pandang ke arah kami. Kuhiraukan.
“Maafkan aku.”
“Tak perlu.”
“Boleh aku tanya?”
“Katakanlah, kau tak seperti biasanya.”
“Seandainya aku terlibat, akan kau tetap seperti ini?”
“Mungkin.”
Dua puluh dua kata. Dia tersenyum padaku. Senyum yang tak kukenali.
**
Si kancil anak nakal, suka mencuri ketimun. Ayo lekas dikurung. Jangan diberi ampun.
Lampu padam. Pertunjukan usai. Penonton bertepuk tangan. Terkesan. Penampilan ketiga aktor yang menawan. Pembawa acara muncul kembali.
Tapi, ketika orang-orang masih berisik mengagumi. Saat pembaca acara mulai mengenalkan para kru, seorang bapak dan seorang remaja yang duduk di belakang berteriak: KALIAN MEMPERMAIKAN KEHIDUPAN!
Bandung, 2016
—buat Salim Kancil yang dibunuh, waktu itu.
- Aktor Itu Berbicara Tentang Hal Lain - 21 April 2017