Sejauh-jauh burung terbang, akhirnya akan kembali ke sarangnya. Pepatah ini betul-betul dirasakan oleh gerombolan perantau yang memenuhi sudut-sudut tanah air, terutama mulai pertengahan bulan Ramadhan hingga pasca Lebaran, bahkan. Kerinduan untuk mudik ke kampung halaman ini tentunya juga dijamin sukses menggedor-gedor bilik jiwa orang-orang yang tinggal di negeri seberang. Antusiasme saat berbuka puasa, shalat Tarawih, makan sahur, pun berbagai aktivitas lainnya seakan tak kuasa melepaskan diri dari kepungan hantu-hantu bernama mudik ini.
Tapi, tunggu dulu.
Pepatah lama Tionghoa itu ndak akan berlaku bagi Murabbi Ruhina yang Mulia Imam Felix beserta jamaahnya. Puasa tahun ini, Imam Felix beserta jutaan ratusan ribu jamaahnya di perantauan sudah pasti ndak akan mudik untuk sekadar merayakan Lebaran. Ada beberapa alasan yang sangat junil, bahkan lengkap dengan dalil syar’i-nya, di balik alasan Imam Felix beserta jamaahnya enggan mudik dan merayakan Lebaran di kampung halaman.
Mudik = Tradisi
Mudik itu kan tradisi. Warisan turun-temurun belaka. Bukan ajaran Islam. Bahkan, dalam deretan rukun Islam, ndak ada satu pun yang menyebut mudik. Buniya al-islam ‘ala khamsin, tutur Kanjeng Nabi. Rukun Islam itu masih ada lima, yang itu-itu saja. Sejak zaman Nabi sampai akhir zaman. Karenanya, rukun Islam ndak usah ditambah-tambahi, misalnya: rukun Islam nomor empat, berpuasa pada bulan Ramadhan, ditambah mudik untuk berlebaran dan cipika-cipiki dengan keluarga dan sahabat.
Jangan pula kamu “mengurangi” rukun Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh Kakek Syahrur, misalnya. Jangan. Jangan karena kamu sama-sama lulusan sarjana eksak kayak Hafidz Ary Syahrur, lalu menyatakan bahwa rukun Islam harus didekonstruksi agar tetap mampu bergandengan mesra dengan laju peradaban kekinian. Ndak usah. Kalau ngeyel, kamu bakal dicap kafir, dan neraka merupakan tempat kembali yang layak bagimu.
Bahkan, sangat mungkin darahmu menjadi halal di halaman masjid Imam Felix kalau masih berani ngelamak kayak Syahrur. Lha ya to, di tangan Syahrur, rukun Islam dikepal sedemikian rupa, lalu diremas-remas hingga klimaks tersisa seupil. Rukun Islam, bagi Syahrur, yang benar hanya ada satu: percaya kepada Allah. Sedangkan, kesaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah bagi yang mampu, adalah rukun iman, bukan rukun Islam.
Islam sebagai satu-satunya agama langit, yang berakhir pada Nabi Muhammad melalui Nabi Ibrahim, Nabi Ya’qub, Nabi Musa, dan Nabi Isa itu diturunkan dan didakwahkan oleh mereka dengan risalah-risalah yang berbeda satu sama lain. Muslim pada masa Nabi Nuh, misal, adalah mereka yang percaya kepada Allah, Hari Akhir, dan beramal shalih. Orang-orang yang beriman setelah masa itu, yang mengikuti millah Nabi Ibrahim, disebut hanif. Orang-orang yang percaya pada kerasulan Nabi Musa disebut Yahudi. Orang-orang yang membenarkan kerasulan Isa disebut Nasrani. Dan, orang-orang yang percaya akan kerasulan Nabi Muhammad disebut mukmin. Karena itu, Aisyah dikenal dengan sebutan Ummul Mukminin—mengacu kepada umat Muhammad, bukan Ummul Muslimin, yang berlaku kepada seluruh orang Islam sejak dahulu.
Karena itu pula, bagi Syahrur, menganggap rukun Islam sebagai sesuatu yang final, dan karenanya berlaku seragam terhadap seluruh muslim, termasuk sesat pikir. Sesat pikir, karena jika kesaksian atas kerasulan Muhammad dan beberapa ritual lainnya dianggap rukun Islam, tegas Syahrur, lalu bagaimana mungkin keislaman Fir’aun (QS. Yunus [10]: 90) dianggap sah, padahal ia hidup di era Musa; bagaimana mungkin keislaman Hawariyyun (QS. Ali ‘Imran [3]: 52) dianggap sah, padahal mereka hanya kenal Al-Masih Isa bin Maryam; bagaimana mungkin pula dianggap sah keislaman orang-orang terdahulu, yang tidak pernah mendengar kerasulan Muhammad, tidak dibebani zakat, puasa Ramadhan, dan berhaji?
Tetapi, ya sudahlah. Biarkan Syahrur saja yang memblejeti rukun Islam ndakik-ndakik. Biarkan saja pula Imam Felix dan kaumnya tetap berpijak pada madzhab pokoke: pokoknya al-Qur’an dan hadits ndak menyinggung secara tekstual tentang mudik. Wong kenyataannya memang ndak ada nash yang memerintahkan umat muslim untuk bersilaturahmi dan kangen-kangenan bersama keluarga setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Apalagi, silaturahmi bisa dilakukan kapan saja, sesuai kebutuhan dan keadaan isi dompet.
Karena itu, bagi kawan-kawan yang tahun ini mudik Lebaran, lalu di jalan ketemu pemudik dengan ciri-ciri celana cingkrang, jidat hitam, beraroma parfum nyegrak campur keringat, yakinlah bahwa mereka bukan jamaah Imam Felix. Kalaupun di kemudian hari kok diketahui sebagai bagian dari jamaah beliaunya, tentulah mereka layak dicap murtad karena keluar dari ajaran madzhab pokoke itu.
Mudik = Pulang ke Kampung Ruhani
Kalau Cak Nun mengandaikan term mudik berasal dari bahasa Arab, yaitu dha’a, yang berarti kehilangan, maka mudhi’ berarti orang yang kehilangan. Mulai dari soal kehilangan kepercayaan dari rakyat, kehilangan harta benda, kehilangan pacar, hingga kehilangan keperawanan, semuanya masuk terminologi mudhi’.
Berdasar term ini, orang-orang yang berduyun-duyun mudik menjelang Lebaran dapat dikatakan sebagai orang-orang yang berupaya menemukan kembali sesuatu yang dirasa hilang selama mereka berada di perantauan.
Apa sesuatu yang hilang itu?
Jika mengacu sejauh-jauh burung terbang, akhirnya akan kembali ke sarangnya, sesuatu yang hilang itu adalah kampung halaman: asal usul yang sejati. Segala nostalgia hingga nestapa yang dulu terjadi di kampung halaman, baik bersama keluarga maupun sahabat, semuanya tak dapat diulang dan dijumpai kembali di tanah rantau. Maka, mudik menjadi momentum yang tepat sekaligus efektif untuk menemukan kembali sesuatu yang hilang itu. Terlebih, saat Lebaran, semua keluarga dan sahabat masa lalu bisa berkumpul kembali setelah dipisahkan oleh jarak geografis yang sangat kejam.
Masih menurut Cak Nun, sesungguhnya seseorang tidak dapat mengelak mudik. Hidup sejatinya adalah untuk pergi dan untuk kembali. Orang-orang yang merantau ke tempat dan negeri yang jauh sekalipun, sukses atau belum, takkan bisa ke mana-mana jua, selain pada saatnya harus menyerahkan batang leher kepada monster bernama mudik. Ikhlas maupun terpaksa.
Tapi ya itu kan menurut Cak Nun, Kiai Mbeling itu. Cak Nun jelas tak sama dengan Imam Felix.
Bisa jadi, mudik di benak Imam Felix adalah pulang ke kampung ruhani, bukan pulang ke kampung halaman. Ini berarti bahwa seseorang harusnya “pulang” ke ruhani masing-masing dengan cara mengeja hati dan jiwa secara terus-menerus setiap saat tanpa lelah: sudah siapkah ia pulang ke pangkuan Ilahi Rabbi? Jika belum siap, tentu saja ia harus lekas-lekas berbenah lagi menyiapkan bekal. Ayatnya sudah jelas: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Dan sudah pasti mudik dalam pengertian beginian bisa dilakukan setiap saat. Ndak hanya setahun sekali. Makanya ya logis untuk tidak perlu dirayakan, dihebohkan. Persis! Ini serupa dengan ndak pentingnya merayakan Valentine Day sebagai hari kasih sayang sebab dalam Islam kan kasih sayang itu setiap hari, bukan kok setahun sekali. Bener, kan, Wi?
Jadi, kalau kamu tahun ini ndak mudik, itu ndak apa-apa, asal kamu jamaah Imam Felix.
Lebaran = Meniru Pakaian Orang Kafir
Lazimnya, jelang Lebaran, orang-orang menyiapkan segala sesuatu yang serbabaru, termasuk busana. Seolah-olah, Lebaran belum absah rasanya kalau tidak mengenakan pakaian baru. Tapi, tolong jangan kebablasan mengartikan “serbabaru” saat Lebaran itu dengan misal mengganti istri lama dengan istri baru. Apalagi, istri lama ndak rela diperbarui. Kamu pasti celaka: nuansa Lebaran yang semestinya bertabur bahagia bakal porak-poranda dihantam prahara memperbarui istri.
Memang ndak semua orang hanyut dalam urusan “serbabaru” ini. Tapi jumlahnya kalah jauh dibanding kelompok yang memaknai Lebaran dengan “serbabaru”. Tidak baru berarti tidak Lebaran, tidak kembali fitri.
Ini pulalah yang kian memantapkan Imam Felix untuk menolak mudik: selain itu berbau mubazir, trend ini sangat rentan terjebak untuk meniru gaya orang kafir dalam berbusana. Bahasa agamanya tasyabbuh (penyerupaan)—dalam terminologi negatif. Hadits yang bisanya dijadikan landasan adalah “Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad).
Untuk urusan tasyabbuh, Imam Felix jelas say no! Haram! Seorang muslim dan muslimah harus senantiasa menjaga identitasnya dengan tidak mencontoh perilaku orang-orang kafir. Biar nggak ikutan kafir. Kayak bunglon. Meski kesannya lalu iman itu adalah bunglon.
Jadi, agar tak terjebak tasyabbuh, untuk kehati-hatian level dewa, untuk tidak disebut paranoia, mendingan kamu kenakan saja pakaian Lebaran seadanya. Pakai saja baju koko yang sudah kamu miliki. Pilihlah warna putih biar lebih afdhal.
Agar tampak sedikit berbeda, kelihatan rada gres tanpa khawatir jatuh pada tasyabbuh, mudah saja kok untuk menyiasatinya. Misal, kalau baju kokomu lengan panjang, potong saja jadi lengan pendek. Beres. Atau, agar tampak semakin syar’i, tambahkan sedikit kaligrafi Arab di bagian punggung, misalnya kaligrafi: uthlubul ‘ilma minal ‘aidzin wal fa-izin.
Sumber gambar: wowkeren.com
- Koreksi Radikal atas Narasi Sejarah dan Kebudayaan Islam Klasik - 18 February 2017
- Alasan-Alasan Mengapa Felix Siauw Enggan Mudik - 23 July 2015
- Tegangan Tinggi Ustadz Karbitan - 18 June 2015