Anak Kolong dan Sebaris Kisah dari Dalam Barak-Barak Militer

Anak Kolong dan Sebaris Kisah dari Dalam Barak-Barak Militer
Anak Kolong dan Sebaris Kisah. Sumber gambar: YONIF 514

Anak kolong adalah sebutan untuk anak seorang anggota TNI dan atau anak yang besar di tangsi tentara. Istilah ini dipakai sejak masa penjajahan Belanda (sumber: Wikipedia.org). Tentara yang sudah berkeluarga ditempatkan di barak kecil dan sering kali tidak cukup untuk dimasukkan dua tempat tidur di dalamnya. Alhasil, anak-anak harus rela tidur di kolong ranjang.

Menjadi putra putri dari seorang prajurit TNI memang gampang-gampang susah. Seperti dua sisi mata uang, kehidupan kami selama menemani Ayah mengemban tugas negara memiliki suka dan duka. Sukanya, tentunya kami memiliki perasaan bangga dalam hati (jangan diartikan sebagai sebuah kesombongan) bahwa Ayah termasuk orang-orang yang dipercaya untuk menjadi garda terdepan dalam menjaga persatuan dan kesatuan NKRI tercinta. Sebuah cita-cita yang telah ditanamkan oleh para leluhur pendiri bangsa pada para pandunya.

Bagi yang sempat tinggal di asrama tentara, tentu merasakan keseruan menjadi “miniatur” Indonesia. Warga di asrama tentara umumnya memang datang dari berbagai penjuru negeri, sehingga rasa nano-nano dalam bermasyarakat begitu terasa. Yang membuat berkesan, karena sebagian besar dari kami jauh dari keluarga besar di kampung halaman, maka kami menjadi layaknya keluarga. Dukanya, ah biar saya ceritakan belakangan.

Tidak bisa dibilang selalu mulus memang kehidupan seorang anak kolong. Cap sebagai anak yang “sok” maupun “mentang-mentang” kerap kami terima tanpa sebab pasti. Entah karena tampilan Ayah yang dianggap sangar karena seragam lorengnya, atau karena didikan keras yang diterima selama pendidikan hingga tak jarang terbawa di keseharian, sehingga kami ikut terkena image negatif.

Selain cap buruk tersebut, salah satu bagian tersulit yang harus kami lalui adalah seringnya orang tua berpindah-pindah tugas, meskipun tidak semua anak kolong mengalami hal ini.

Saya pernah merasakan tinggal di salah satu asrama tentara, tepatnya di asrama Yonif 514 Bondowoso selama hampir tujuh tahun, sebelum Ayah dipindahtugaskan ke Malang pada 2002. Namun, saya lebih memilih untuk menetap di kota kelahiran saya di Mojokerto dan tinggal bersama Kakek dan Nenek. Alasannya sangat sederhana, malas cari teman baru. Di kampung pun, saya tetap mengalami kesulitan beradaptasi bahasa. Saya yang dalam keseharian di asrama terbiasa memakai bahasa Indonesia, di awal kepindahan sangat “kagok” ketika harus bercakap-cakap menggunakan bahasa Jawa. Maklum saja, di kampung saya, seseorang dianggap kurang sopan jika menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, kecuali di sekolah tentunya.

Masih melekat kuat di benak saya, bagaimana suasana di asrama militer. Pagi-pagi sudah terdengar suara sirene yang mengisyaratkan bagi semua prajurit untuk segera menunaikan baktinya. Garasi kendaraan-kendaraan tentara, gudang persenjataan, hingga dapur umum semuanya masih terekam jelas di dalam ingatan meskipun kenangan itu sudah saya lewatkan hampir lima belas tahun lalu. Berangkat sekolah, sering kali terlihat “om-om” tentara—sebutan saya dan teman-teman sepermainan di asrama untuk para anggota TNI yang masih bujangan—sedang berolahraga, bapak-bapak kami yang tengah baris-berbaris dengan rapi ketika upacara, dan orang-orang berpakaian loreng berlalu-lalang di hadapan kami. Ketika sedang bermain di tepian lapangan upacara, jika “beruntung”, kami bahkan bisa menyaksikan om-om tentara yang sedang terkena hukuman oleh para seniornya dengan push up atau berguling-guling sepanjang tempat yang berpasir tersebut.

Salah satu sudut asrama yang paling terkenang adalah sebuah diorama peperangan di sudut lapangan upacara yang terpampang dengan gagahnya. Beberapa tulisan perenyuh hati terukir menemani relief-relief yang mengilustrasikan medan pertempuran tersebut. Salah satu di antaranya “Lebih baik pulang nama daripada gagal di medan perang”. Sebuah slogan yang pastinya memiliki makna lebih bagi mereka para pengemban tugas memelihara kedaulatan negara. Bagi kami, para putra-putri tentara, kehilangan begitu banyak momen kebersamaan dengan ayah (atau ibu yang termasuk anggota tentara wanita) merupakan suatu hal yang nyaris tidak bisa dihindari. Lebih dari itu, kami bahkan harus siap bila Ayah pulang sebatas nama dari medan pertempuran. Ya, segala kemungkinan memang bisa terjadi di daerah konflik.

Saat terjadi upaya separatis di Timor-Timur (sekarang Timor Leste) tahun 1999, Ayah termasuk salah satu pasukan yang diberi amanat bertugas di sana selama beberapa bulan. Saya yang kala itu masih balita harus merasakan bagaimana lost contact dengan Ayah karena terbatasnya sarana komunikasi. Ibu juga tak hentinya mengirimkan doa bagi keselamatan Ayah dalam setiap sembah sujudnya.

Ketika mengetahui rombongan pasukan kembali ke asrama Yonif 514 dengan selamat, bahagianya hati sungguh tak terperikan. Seolah terali beban berat terlepas begitu saja dari pundak kami, para keluarga yang ditinggal bertugas, begitu melihat orang yang kami cintai kembali dengan selamat tanpa kekurangan suatu apa pun.

Duka karena kehilangan banyak waktu bersama Ayah tak hanya saya dan sebagian besar anak tentara lainnya rasakan, kala adanya tugas di daerah konflik yang mencekam. Suasana yang harusnya bisa kami lewatkan bersama dalam balutan kegembiraan seperti Idul Fitri sering kali pupus karena panggilan untuk bertugas. Beberapa tahun belakangan, justru Ayah sering kali harus berlebaran di pos-pos pemantauan arus mudik bersama para anggota TNI lain dan aparat kepolisian. Kami sekeluarga hanya sempat bersama ketika shalat Id dan bermaaf-maafan di rumah. Seusai itu, secepat kilat Ayah akan mengganti baju kokonya dengan seragam tugas, berpamitan kepada kami, lalu mengendarai motor tua berwarna birunya menuju posko mudik yang telah diinstruksikan oleh sang komandan. Telah menetap di kampung halaman, bukan berarti kewajiban tugas di saat yang tak terduga hilang begitu saja

Hal seperti ini tak pelak selalu menjadi bahan guyonan keluarga besar kami ketika acara halalbihalal keluarga besar. Kelima butir dalam Sumpah Prajurit memang mengharuskan kami rela menjadi “yang kedua” setelah urusan negara.

Soal kedisiplinan, jangan ditanya. Ayah adalah orang yang paling anti dengan istilah jam karet. Ketika membuat janji dengan orang lain, beliau akan sampai di tempat tujuan bahkan setengah hingga satu jam lebih awal. Terlambat sekian menit saja, maka harus bersiap-siap mendengarkan lantunan geremengan atau kalau sedang kurang beruntung hentakan suara tinggi beliau. Sabetan segenggam sapu lidi pernah mampir di kedua lutut hingga “membangunkan” saya yang ketiduran dan lupa kalau ada janji dengan beliau.

Beberapa tahun ke depan, Ayah akan berpurna tugas. Jangan ditanya seperti apa rasanya, karena saya belum tahu, hehe. Bercanda. Pastinya akan sulit dibayangkan. Dari yang sehari-hari melihat beliau dengan seragam loreng dilengkapi berbagai aksesori, termasuk ikat pinggang kopel, sepatu tali model bot, hingga baret hijau berlambang Cakra Sapta Agni, atau dengan setelan seragam hijau lumut dengan segala badge lengkap dengan topi berbentuk seperti peci untuk upacara, dan beberapa pakaian khas yang lainnya, menjadi hanya menggunakan pakaian “nongkrong” dan meninggalkan segala atribut kemiliteran.

I swear I’m gonna miss those moments like crazy someday. Ketika menyaksikan beliau berbalutkan pakaian prajurit andalan Ibu Pertiwi, dengan mantra saktinya, Kartika Eka Paksi, prajurit gagah perkasa tanpa tanding yang menjunjung cita-cita tinggi, keluhuran nusa bangsa serta keprajuritan sejati. Namun itulah hidup, bak roda yang akan selalu berputar kata para bijak cendekia. Justru perputaran itu harus tetap dijaga, agar bisa terus mengukir lembar-lembar cerita baru dalam sejarah kehidupan setiap insan di muka bumi, hingga saat Sang Maha Hidup bertitah pada si jagat raya untuk menutup kisahnya.

Malang, 29 November 2016

Rizky Amalia
Latest posts by Rizky Amalia (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!