Ditemukannya paus sperma yang mati di Perairan Wakatobi baru-baru ini, dengan perut berisi hampir 6 kg plastik (termasuk di antaranya bekas sandal jepit), merupakan kabar buruk perihal mahabanyaknya limbah plastik di lautan. Adapun limbah lainnya, limbah cair, seperti kebocoran oli pada kapal atau tumpahan minyak mentah, belum masuk hitungan. Anggap saja ia tiada karena tidak kasatmata. Kita sedang menghadapi bencana besar di bumi ini, tanah tumpah darah yang satu, tapi dirusak bersama-sama.
Benarkah populasi ikan di laut sudah kalah secara jumlah dengan limbah plastik yang ada di permukaannya? Jika ini benar, maka betapa mengerikan nasib umat manusia ini, kengerian ini tersamar karena ia seakan-akan tidak berdampak langsung, tidak seperti naiknya nilai tukar dolar atau gempa bumi. Manusia memang makhluk ironis. Mereka dianugerahi rezeki berlimpah, banyak protein pada ikan di lautan yang kaya mineral, malah mengebom terumbu karangnya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dari semestinya. Apa salah mereka? Sudah habitatnya dihancurkan, ikan-ikannya dijaring, bahkan terkadang menggunakan pukat harimau, jaring sapu jagat yang menghabiskan ikan yang kecil dan besar.
Sebab itulah, Allah menegur ciptaan agung yang terbuat dari air mani ini, air yang hina ini, dengan sebuah pertanyaan retoris di dalam Surah Al-Waqiah; “Apakah engkau yang menanam(nya) ataukah Kami yang menumbuhkannya?”. Gaya “ejekan” dengan pertanyaan retoris seperti ini jika dibawa pada konteks pengrusakan lingkungan oleh manusia kira-kira sepadan dengan; “Kalian ini dianugerahi ikan yang melimpah di lautan secara cuma-cuma, tapi mengapa kalian rusak pula habitatnya, emang kalian yang kasih mereka pakan?”
Di dalam Surah Ar-Rum (ayat 41) disebutkan (yang artinya); “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”, padahal, jika mengacu pada Surah Az-Zaitun (ayat 4), manusia adalah ciptaan terbaik. Di sinilah letak ironisme itu: sudah diberi anugerah yang melimpah, malah semakin tamak dan serakah; diberi kekayaan gemah ripah loh jinawi, kaya daratan dan lautannya, eh, masih mengambil sambil merusaknya. Sepertinya, manusia itu, ya, kita ini, benar-benar makhluk egois yang hanya memikirkan diri-sendiri dan hanya sebatas untuk hari ini. Anak cucu biarlah makan limbah dan menikmati kerusakan yang kita hancurkan sejak sekarang.
Mari kita duduk yang tenang dan siapkan segelas kopi dulu agar tidak tegang….
Kerusakan di laut tidak hanya karena kerusakan dan pengursakan di laut, tapi juga karena naiknya suhu udara yang salah satu penyebabnya adalah jumlah emisi karbon dan suhu atmosfer yang naik. Menurut data Hendro Sangkoyo, dekade 2001-2010 adalah yang terpanas dalam tiga dekade terakhir, dengan suhu rata-rata permukaan laut dan pertemuan daratan-udara 0,47 derajat celsius di atas suhu rata-rata 1961-1990. Pada 2012, luas dataran es Arktik di musim panas, penunjuk penting krisis perubahan iklim, mengerut 3,3 juta kilometer persegi (seluas India) dari luas minimum rata-rata 1979-2000. Di dekade yang sama, muka air laut naik 3,2 milimeter per tahun, dua kali kecepatan kenaikan sepanjang abad XX. Dengan tingkat penurunan laju emisi sekecil sekarang, tulis Hendro, diperkirakan kenaikan suhu muka bumi 3,6 derajat celsius pada 2050 atau lebih awal lagi.
Jika lautan “terlalu jauh”, mari kita pindah ke tempat yang lebih dekat, ke meja makan. Elizabeth Royte menggambarkan limbah makanan itu sebagai sebuah “negara sampah terbesar”. Jalan logisnya seperti ini: Sayur yang tidak dimakan dan jadi sampah di meja makan itu juga membutuhkan cahaya matahari saat masih menjadi sayur segar. Ia juga diangkut dengan kendaraan yang menghabiskan energi fosil, dan mungkin saja juga masuk ke ruang pendingin yang menyedot listrik, menyerap minyak, dan seterusnya. Tumpukan limbah ini tampak sepele. Namun, dari data yang dikumpulkan Royte, jika seluruh sisa makanan di dunia ini dikumpulkan, maka ia akan setara dengan sebuah negara penghasil limbah terbesar nomor 3, setelah Tiongkok dan Amerika.
Akan tetapi, dibandingkan dengan masalah besar lain, seperti penambangan batu, baik batu bara atau batu karst, yang paling ringan bawaannya tapi justru paling berat masalahnya adalah plastik, ya, sampah plastik.
Sila sryuput dulu kopinya!
Menurut data yang diperoleh dari wiki atau data lain sejenis, plastik diproduksi secara massal pada awal abad ke-20. Penemuannya mungkin lebih jauh hari sebelumnya. Penemuan ini agaknya dianggap sebagai penemuan puncak, seperti halnya listrik, karena banyak memberikan kemudahan bagi manusia. Ia adalah benda praktis yang bahan bakunya sangat murah.
Apakah si penemu dan pengembang tahu/memperkirakan seperti apakah keadaan Bumi ini setelah mereka tiada dan plastiknya abadi? Mungkin tidak. “Usia” ciptaan mereka itu bahkan mungkin tetap ada sampai sekarang ketika mereka telah lama mati dan dikuburkan. Konon, butuh dua ratus tahun—atau dapat dikurangi menjadi seratus tahun jika angka tersebut dianggap terlalu mengada-ada—bagi tanah untuk dapat mengurai sampah plastik, itu pun jika dibantu oleh paparan sinar matahari.
Namun, menurut penelitian modern, seperti yang dilakukan oleh Ormedia dari University of Minnesota, bahkan air leding pun sudah terkontaminasi plastik. Dengan begitu, apa yang kita sebut dengan degradable ataupun biodegradable plastic (yakni plastik yang dapat hancur dengan sendirinya dalam waktu singkat) itu hanyalah isapan jempol, hanya akal-akalan saja. Sebab, nyatanya, ia memang hancur dan menjadi repihan, tapi ia hanya mengecil dan terus mengecil dan tidak kelihatan, tetapi wujudnya tetaplah ada, hanya berubah bentuk menjadi “mikro”, lalu “nano”. Unsur terkecil repihan plastik yang dapat mengontaminasi air leding itu umumnya berasal dari plastik microbeads yang merupakan kandungan bahan kosmetik.
Beruntung jika ada orang semacam Isroi, peneliti dari Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia di Bogor. Ia, saat ini, sedang mengembangkan apa yang disebut—masih susah pula menemukan istilah Indonesianya—edible bioplastic, bungkus tipis bening serupa plastik, terbikin dari bahan dasar singkong dan tapioka. Artinya, ia serupa plastik tapi aman andaipun tertelan. Menurutnya, bahannya juga bisa dikembangkan dari yang lain, seperti limbah tandan kosong pohon sawit.
Akan tetapi, di samping menemukan bahan-bahan pengganti plastik, tentu saja yang lebih baik daripada itu adalah meluruskan pola hidup dan cara pandang penggunanya, manusia, agar ia dapat menghindar dari penggunaan plastik secara masif. Bayangkan jika bungkus mi instan yang dapat membuat kenyang hanya sekitar 2 jam di perut itu harus bertahan 200 tahun di muka Bumi? Betapa mengerikannya! Lebih ngeri lagi jika kita tahu kalau repihan plastik, jika dijumlah menjadi satu, bisa mencapai 8 juta ton tiba di laut, dan itu dalam satu tahun.
Ironisnya, “umur” (kantong) plastik sangatlah singkat, yakni selama perjalanan dari toko ke rumah. Terkadang, umurnya lebih singkat lagi jika kita berbelanja di mart–mart yang S.O.P-nya mewajibkan—benar-benar diwajibkan—untuk membungkus semua barang belanjaan, bahkan termasuk barang sebesar korek api. Dalam pada itu, “masa aktif” plastik jadi lebih singkat lagi, yakni dari depan kasir (di dekat pintu) ke kotak sampah yang terletak di samping pintu di sebelah luarnya. “Umur”-nya hanya kurang dari 30 detik saja.
Pada dasarnya, alam bekerja teratur dan simultan. Dalam perspektif keimanan, semua itu berlangsung atas prakarsa Tuhan. Akan tetapi, kita dapat menalar kerja organik dan bersiklus ini sebagai salah satu wujud alamiah semesta raya karena adanya keseimbangan. Dari keseimbangan inilah manusia mendapatkan anugerah mahabesar dari alam berupa suhu, cuaca, ketenangan, kesuburan, dan seterusnya. Namun, di masa berikutnya, sifat rakus manusia muncul dan mulailah segalanya berubah secara global, seperti mencairnya banyak gletser di Alaska dan rusaknya (pengrusakan) hutan (tropis) di Brazil dan Kalimantan dan Papua. Itulah salah satu dampak perubahan iklim terdahsyat.
Manusia berbuat amal kebaikan dengan membangun banyak lahan pertanian dan perkebunan tetapi sekaligus berbuat dosa-dosa lingkungan yang lebih besar lagi, yakni merusak ekosistem alam dengan menghancurkan hutannya; manusia membangun kampus-kampus bertingkat yang melahirkan para pemikir, tetapi tentu saja sekaligus menggunakan semen yang notabene berasal dari gugusan batu karst. Nyaris tidak ada prestasi manusia di dunia ini kecuali dengan juga merusak alamnya. Benar-benar makhluk ironis. Setelah mengalami kerusakan parah, mulailah muncul gerakan-gerakan penyelamatan lingkungan. Salah satunya adalah menahan laju kerusakan dengan mitigasi karena berlandaskan prinsip bahwa kerusakan alam adalah bencana Bumi dan segenap penghuninya. Nambah lagi ironisnya.
Apakah hal-hal yang dibicarakan di atas itu terlalu muluk dan melebar? Jika iya, sekurang-kurangnya, anggaplah ia sebagai bacaan pendamping saat kita santai ngeteh atau ngopi. Apakah kita butuh yang ringan-ringan saja? Bicara yang remeh-remeh pun tetap saja ruwet jika ujung-ujungnya adalah gaya hidup manusia, animal plasticum, makhluk yang tidak dapat lepas dari plastik.
Masih terkait plastik, satu “dosa environmental” lainnya adalah yang paling banyak dilakukan oleh kita sebagai anggota satuan terkecil masyarakat, yakni keluarga, yaitu limbah popok-sekali-pakai. Ia adalah dosa paling nge-hits: semuanya tahu; semuanya melakukan. Popok adalah masalah rumah tangga orang sedunia yang gosipnya tidak seramai urusan pangan dan papan. Masalah ini sepi-sepi saja dari trending karena popok identik dengan hal menjijikkan.
Limbah popok-sekali-pakai ini tak kalah mengerikannya dibandingkan dengan limbah sisa makanan. Ia juga tak kalah mencemaskan dibandingkan dengan sampah styrofoam, sampah yang tak bakal hancur ketika cinta sejati sesama anak manusia sudah saling terkubur. Cukup, perbandingan sudah cukup. Esai ini tidak perlu diperpanjang lagi jika hanya untuk menjelaskan kengerian lainnya.
Sebetulnya, nenek-moyang kita telah membiasakan menggunakan kain perca untuk popok. Di samping dulu teknologi gel belum ditemukan, cara ini dianggap ramah lingkungan juga hemat dan aman. Tahukah Anda, apakah bahan dasar gel itu? Tidak jelas dari bahan apa itu dibuat, tapi mungkin saja berasal dari sampah yang didaur ulang dengan cara “diputihkan” melalui proses kimiawi. Sekarang, memang betul kita tidak benar-benar bisa meninggalkan produk popok-sekali-pakai yang jelas-jelas menyumbang sampah sangat besar bagi lingkungan, tapi setidaknya kita bisa menunda pemakaiannya dengan cara kombinasi dengan warisan orang kuna, popok buatan.
Hal ini juga berlaku untuk kasus sampah plastik. Apakah kita ini memang benar-benar mampu melepaskan diri dari jeratan plastik? Mungkin tidak, tetapi yang jelas bisa mengurangi pemakaiannya apabila kita menyadarinya. Seperti apa caranya? Bahwa prinsip dan komitmen “menunda pemakaian barang yang segera menjadi sampah” itu jauh lebih mulia daripada sekadar jargon “buanglah sampah ke tempatnya”. Adapun yang lebih berat daripada keduanya adalah berkomitmen, teguh pendirian memang janjinya.
Jika Ernst Cassier menyebut kita-manusia sebagai animal symbolicum, yaitu makhluk yang berpikir melalui simbol, nyatanya kita ini juga animal plasticum: makhluk yang tidak bisa lepas dari plastik.
- Puisi M. Faizi - 14 May 2024
- Menerjemahkan Kemustahilan - 22 October 2020
- Akal Sehat: Antara Akal yang Logis dan Hati yang Sakit - 14 October 2019
Bairullah
Suka bange.
Gita
Maaf Bang? Memang ada ya surat Az-Zaitun? Maaf ane kurang faham
Anonymous
Mungkin salah ketik. Maksudnya surat At Tin 😂
Mazdon O
Agak kenyal berduri-duri, tapi tetap renyah dan bergizi. Pakai jeda, lagi.. Kopi setiap sesi 😅
Mochammad s
Mantulll Kang. Barangkali sudah saatnya membumikan orientasi akherat yang keberlanjutannya melebihi sustainable development goalnya orang orang.
nugibara
benar-benar tamparan bagi siapapun (termaksud saya) yang suka menyepelekan plastik. tapi apapun itu semuanya kembali pada diri sendiri. Semoga kita semua sadar dan mulai menjaga lingkungan.
M Faizi
Makasih banyak sudah membaca
Idros gila
Siiiiip
Gita
Maaf Bang? Memang ada ya surat Az-Zaitun? Maaf ane kurang faham
Yash
mindset oh mindset. baru sadar betapa mengerikannya diriku :’)
Anonymous
Mengerikan. Tersangkan yang juga berhak di salahkan adalah anak kosan yang tetap menjadkan mie instan sebagai makanan penyelamat dikala penyakit kanker menyerang di akhir bulan. Segeralah beralih dari mie instan ke . . . . (saya sendiri masih bingung)