Anomali Tradisi Sastra Kita Kini

pinterest.com

Ingat benar saya ungkapan Raudal Tanjung Banua beberapa tahun silam bahwa mestinya ada tiga pilar dalam tradisi kesusastraan, yakni kreator, pembaca, dan kritikus. Saya sepakat.

Lalu, apa yang kita saksikan hari ini?

Membludaknya jumlah kreator sastra: penyair, cerpenis, novelis. Masukkan pula para penulis naskah lakon.

Bagaimana soal populasi pembaca?

Patut disyukuri—meski tak besar-besar amat, atau lebih tepatnya, masih jauh dari harapan ideal. Sebagai pembanding belaka, novel Haruki Murakami dalam peluncuran seminggu pertama di Jepang bisa terjual sampai sejuta eksemplar. Di sini?

Tengoklah Cantik Itu Luka, misal. Alih-alih jutaan, bertahun-tahun banyaknya dari pertama terbit—sebelum diterbitkan Gramedia—tak juga mencapai angka 100.000 eksemplar.

Bagaimana dengan buku novel dan puisi yang baru saja mendapatkan penghargaan dari Kusala Sastra Khatulistiwa 2017, Dawuk dan Di Ampenan?

Dawuk tak terjual sampai 1.000 eksemplar. Di Ampenan, tak terjual sampai 1.000 eksemplar.

Bagaimana pula dengan novel-novel dan puisi-puisi lainnya karya kontemporer anak negeri?

Mudah diterka jawabannya. Itulah cermin riil populasi pembaca sastra kita. Ini menjadi lebih kelam bila ditakikkan kepada fakta bahwa sebagian besar pembaca sastra serius itu adalah para kreator sastra. Tentu saja, jumlah pembacanya bisa lebih besar dibanding jumlah penjualannya, sebab tidaklah banyak para penulis sastra yang rela untuk senantiasa membeli buku-buku sastra yang dibacanya.

Sampai di sini, populasi kreator sastra yang sangat banyak jumlahnya mencerminkan situasi anomali antara jumlah terbitan buku sastra dengan populasi pembaca dan angka penjualannya. Dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya tidaklah benar-benar berbanding lurus antara jumlah kreator dengan jumlah pembacanya. Tegasnya, tidak terlampau banyak kreator sastra yang menerapkan secara disiplin pengertian primordial bahwa penulis sastra haruslah juga pembaca sastra.

Di kalangan kreator sastra sendiri, hasrat menulis lebih tinggi dibanding hasrat pembaca. Dapat dibayangkan kondisinya di kalangan pembaca sastra nonkreator dan pembeli buku sastra nonkreator.

Lucu memang. Tapi tak mengapa, semoga suatu saat kelak kita beranjak memasuki level lebih gemar membaca ketimbang gemar menulis, apalagi hanya gemar berbicara.

Kini soal pilar ketiga, yakni kritikus sastra. Adakah kritikus sastra yang menghasilkan buku-buku kritik sastra?

Mungkin ada. Pilihan sadar saya pada kata “mungkin” sekadar untuk memperlihatkan betapa pilar ketiga inilah yang paling nestapa menderita.

Para akademisi sastra, termasuk dosen-dosennya, amatlah langka yang menelurkan tulisan-tulisan kajian sastra, baik tentang suatu buku sastra atau personal kreator sastra, dalam bentuk-bentuk buku atau publikasi yang mendalam. Inlah kenyataannya. Jauh lebih banyak para penulis apresiasi sastra (tidak perlu disebut kritik sastra) yang asalinya adalah kreator sastra dan tidak memiliki kompetensi akademik ilmu-ilmu sastra, yang mengisi ceruk kosong ini. Tentunya, tinjauan teoretik yang berbasis akademis lebih memungkinkan mencetak hasil kajian yang diskursif dibanding tinjauan-tinjauan ala kadarnya oleh para kreator sastra yang tak berbasis akademis sastra itu sendiri.

Lalu ngapain saja selama ini para akademisi sastra?

Silakan Anda jawab sendiri, ya.

Yang pasti, tanpa sokongan intensif dan kritis dari pilar ketiga tersebut, ibaratnya perjalanan sastra kita sekadar melaju tanpa kompas teoretis-akademis. Jika kita memafhumi bahwa kajian-kajian teoritis-akademis berfungsi untuk memberikan kritik dan inversi pada kemungkinan-kemungkinan suatu diskursus—ini berlaku pada semua disiplin wacana—maka kondisi sastra kita terlihat asal berjalan saja. Soal kesandung, terkilir, terjerembap, bahkan ngawur—katakanlah begitu untuk kegiatan menulis yang tidak dilandaskan pada parameter dan argumentasi diskursus-kreatif tertentu—itu menjadi konsekuensi nyatanya kemudian.

Orang mungkin akan gampang menyatakan bahwa kegiatan menulis sastra adalah kegiatan kreativitas dan inovasi yang tidak boleh disekat oleh tata pakem apa pun. Harus dibebaskan, dilepaskan, agar terbang seluas-luasnya. Oke, saya sepakat. Tatapi, tepat di detik itu, di sebelahnya persis, bukankah sangat bisa dibayangkan adanya teks-teks sastra yang mengatasnamakan kebebasan kreatif dan inovatif itu semata berangkat dari keadaan nirwacana? Lalu, apa bedanya “kebebasan kreatif” dengan “ngelantur omong kosong” jika tak berlandaskan bangunan analisis, argumentasi, world view—pendek kata, suatu diskursus?

Saya kira tidaklah positif untuk menyatakan diri kreatif jika kepala dan hati kita ternyata tak memiliki landasan apa-apa, sekadar nulis, asal jalan, pokoknya berbeda, yang penting jadi. Saya kira kreativitas dan inovasi itu tidaklah lahir dari ruang kosong, kengawuran, ketidaktahuan arah, tetapi niscaya berfondasikan suatu state of mind yang bisa dijelentrehkan, didiskusikan, bahkan diperdebatkan.

Pada derajat inilah kerinduan pada para akademisi sastra untuk membentangkan jalan-jalan kritik menjadi keniscayaan yang sebaiknya segera diinisiasi, dilahirkan, dan kemudian ditradisikan.

Teknisnya bisa saja begini: wajibkan saja secara akademis kepada para mahasiswa sastra untuk mengkaji karya-karya sastra kontemporer dan memublikasikannya. Jika ini diterapkan, niscaya atmosfer kajian kritik sastra kita akan berdenyar. Oh ya, satu hal yang saya perlu pertanyakan lagi: apakah para dosen sastra peduli pada sastra itu sendiri?

  

Kafe Basabasi, 15 Desember 2017

Edi AH Iyubenu

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!