Apa yang Salah dengan Postingan Travelling?

 

ilustrasi buat postingan traveling
Sumber gambar statravel.co.uk

“Manusia ini tak selamanya bebas mempergunakan tubuh dan hidupnya.”

Pramoedya Ananta Toer

Kita percaya karya fiksi adalah karya rekaan. Tetapi, apa yang bisa kita jelaskan bila ada karya fiksi yang pada suatu tahun kemudian ternyata menjadi kenyataan?

Yukhio Mishima pernah menulis cerpen berjudul “Patriotisme” di tahun 1970. Cerpen ini berkisah dengan detail seorang tentara yang melakukan seppuku; bunuh diri dengan mengiris perutnya. Setamsil dengan harakiri, seppuku dalam tradisi Jepang kuno dipilih sebagai “jalan paripurna” untuk menyelesaikan rasa malu tak tepermanai. Siapa sangka, beberapa tahun kemudian, Mishima mengakhiri hidupnya dengan cara serupa tokoh cerpennya, seppuku.

Kini, jika punya, bukalah novel Bukan Pasar Malam Pramoedya Ananta Toer, halaman 48-49. Di situ Pram menulis: “Bukankah kaki itu dulu seperti kakiku juga dan pernah mengembara ke mana-mana? Dan kini kaki itu terkapar di atas kasur ranjang rumah sakit. Bukan kemauannya. Ya bukan kemauannya. Rupa-rupanya manusia ini tak selamanya bebas mempergunakan tubuh dan hidupnya. Dan kelak begitu juga halnya dengan kakiku.

Tepat pada malam sebelum meninggalnya Pram, seperti ditulis Zen R.S. dalam Menjelang Berakhirnya Pasar Malam, ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri narasi fiksi itu terjadi persis pada sosok Pram. “Bukankah kaki itu dulu seperti kakiku juga dan pernah mengembara ke mana-mana? Dan kini kaki itu terkapar di atas kasur ranjang rumah sakit.

Dengan nada gojek, saya berkata kepada beberapa kawan di sebuah kafe yang berseberangan dengan Hotel Grand Millenium di kawasan hiruk-pikuk Bukit Bintang, Kuala Lumpur, bahwa akan lebih aman buat penulis untuk tidak menulis cerita yang berbasis “siklus natural”, seperti menjadi tua, lemah, sakit, dan mati, sebab dikhawatirkan narasi fiksinya suatu hari benar-benar menjadi kenyataan. Kawan-kawan terbahak. Di antara tawa itu, lamat-lamat saya teringat dawuh Nietzsche dalam Sabda Zarathustra, “Sekarang aku berdiri di puncak penghabisan, yang telah begitu lama menungguku. Ah, jalan terberat yang harus kujalani ini. Ah, aku hendak memulai pengembaraanku yang paling sunyi.”

Ya, kami memang sedang menggunjingkan tulisan Zen yang berjudul Keluyuran di Tengah Kota (Jawa Pos, 13/10/2015). Tidak ada satu pun dari kami yang menyangkal kejunilan Zen. Melalui esai itu, Zen mengkritik tren jalan-jalan (travelling, keluyuran, ngebolang) yang memesat beberapa masa ini sebagai “…rentan terantuk menjadi perayaan nasionalisme yang sloganistis dan hipokrisi yang menutup-nutupi kebobrokan negeri sendiri … lantaran travelling kini menjadi bentuk lain dari kolonialisme.

Pasca Perang Dunia II yang ditandai dengan runtuhnya Kekhalifahan Ustmaniyah (Ottoman) dan terbentuknya negara-bangsa (nation-state), kekuatan militer haram didapuk untuk memuluskan tujuan apa pun, kecuali Amerika dan sekutunya, tentu. Lalu tampillah penetrasi budaya sebagai “metode invasi baru” dengan mendesakkan sebuah “nilai kultural asing”, yang di dalamnya niscaya mengendon selubung-selubung ekonomis dan politisnya. Globalisasi, pasar bebas, sekularisme, feminisme, dan liberalisme, misal, merupakan ikon-ikon populer yang datang dari Barat, meruah luas ke kamar-kamar kehidupan kita sehari-hari.

Gaya hidup kita pun bergeser dari generasi ke generasi. Sebagian tradisi eksotik adiluhung warisan leluhur tumbang berkalang tanah. Tinggal kenangan.

Tradisi karapan sapi, misal, kini tak lebih dari tontonan wisata travelling belaka. Banjaran nilai ritual yang bersumber pada “cara mengada” masyarakat Madura, sebutlah relasi organisme manusia dan sapi berbasis ekologi tegalan khas Madura hingga ekspresi tasyakuran pascapanenan, telah digantikan sekadar perayaan sloganistis bertampang postingan Instagram atau Facebook. Pada garis ini, klaim Zen mendapatkan kesahihan sanadnya.

Tetapi, tepat di sebelahnya, pandangan Edward S. Kennedy, “Berharap semua pejalan seperti Che Guevara, tentu gegabah dan naif….” menjadi input pelengkap dari sudut lain untuk “bersikap adil sejak dalam pikiran”, bahwa “manusia ini tak selamanya bebas mempergunakan tubuh dan hidupnya”. Manusia secara primordial niscaya takkan pernah bisa steril dari “konstruksi nilai” yang tercetak pada pikiran dan batinnya sejak lahir, senihilis apa pun ia, termasuk Nietzsche. Inilah titik-titik scramble kebudayaan manusia yang amat kompleks, bagai scramble Shibuya Jepang, yang darinya lantas lahir keragaman pandangan dan perilaku yang sangat complicated.

Mengolok travelling sebagai media ndelok-ndelok (side seeing) yang sekecil apa pun niscaya menyumbangkan keluasan dan kematangan world view seseorang, tentu tak bijaksana. Bahkan sekalipun di permukaan semata dirayakan dalam keriangan postingan sosial media yang gumunan. Sebaliknya, menahbiskan travelling yang ber-caption narasi kritis-reflektif atas realitas-realitas “kebobrokan negeri sendiri” sebagai tarekat kecendekiaan para pejalan, atau travelling kelas satu yang diimami Che Guevara, juga tak adil sama sekali.

Dikotomi dua gaya travelling ini jelas sama tidak eloknya, sebab hanya akan menjebak kita terjerembap pada definisi manusia super adalah pemurung macam Jose Mourinho dan manusia yang penuh cengar-cengir macam Juergen Kloop adalah loser tiada guna. Ia sepenuhnya mengidap logical fallacy karena mereduksi “suasana batin’ yang amat privat-personal.

Bahkan kendati titik pijaknya adalah proses pendewasaan world view, menakar rengkuhan nilai travelling seseorang hanya dengan berdasar postingannya sangat sulit dipertanggungjawabkan kesahihannya. Traveller yang memosting keindahan salju abadi di antara kabut-kabut gunung Fuji boleh jadi jauh lebih “tulus, ultim, dan berspiritual” dibanding mereka yang mengunggah foto serakan sampah di gunung Merbabu. Ini setamsil benar dengan sangat sumirnya memasrahkan kualitas iman yang kita yakini searas dengan kemurahan hati untuk empati dan berbagi pada berkilaunya peci putih, baju koko, dan sarung Lamiri, misal.

Tentu saya mafhum, sebagai gelitikan seorang sahabat, kritik Zen atas riuhnya fenomena travelling kekinian patut disambut jemawa. Zen benar, idealnya memang jalan-jalan ke mana pun mampu menjadi Kawah Candradimuka bagi welstanchauung yang lebih cantik. Travelling yang tidak mendonorkan makna apa pun pada pikiran dan batin tentu hanya menyisakan kerugian material, waktu, dan energi. Tetapi hasrat mulia demikian jangan sampailah membuat kita lupa untuk tertawa dan berbahagia bersama orang-orang tercinta dalam sebuah perjalanan.

Jadi, gumunan di bawah keanggunan Hagia Sophia bukanlah dosa, asal menjadi cerita di dalam jiwa. Jadi, sante saja, lah.

Edi AH Iyubenu

Comments

  1. Arien TW Reply

    mungkin saya terlalu bodoh untuk memahami tulisan ini… dan entah kenapa, saya juga sama sekali tak punya ketertarikan membaca tulisannya zen (yang mungkin terlalu sulit juga bagi saya), hehee… 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!