Apakah Kita Sinis?

apakah-kita-sinis-esai-basabasi-co
Sumber gambar: Wikipedia

Diogenes, si Sinis hidup sebagai kenangan orang sebagai filsuf Yunani yang tinggal di dalam gentong. Dia berasal dari Sinope, sebuah kota di Laut Hitam. Bagi Plato, dia adalah “Sokrates yang menjadi gila”. Ini karena gurunya, Antisthenes dipengaruhi oleh Sokrates. Secara umum, warisan Sokrates tentang sinisme berada dalam ketidakpedulian terhadap kekayaan, kenyamanan, serta perkumpulan. Diogenes mengambil semua warisan ini dan membuat ulang sebagai miliknya. Sokrates, pada akhirnya, mencicipi kenyamanan material, mungkin ia berjalan dengan telanjang kaki, tapi dia sama dengan semua orang, tinggal di rumah; mempunyai istri dan anak; mempunyai pekerjaan. Si Sinis tidak punya itu semua dan memilih tinggal di gentong. Nietzsche yang mengagumi Diogenes sebagai teman “kehendak bebas”-nya, menggunakan tema sinis ini pada pemikirannya tentang “transvaluasi segala nilai”.

Kata sinis sendiri berasal dari kata Yunani untuk anjing. Sinisme telah menjadi semacam filosofi yang mengurangi level kemanusiaan ke level hewan. Tak pelak sinis lebih meninggikan hewan daripada manusia. Hewan memang berupa kecil dan rendah bagi para manusia, mereka hidup dalam ketakutan dan kegelisahan, menghabiskan waktu kerja mereka demi mendapatkan sesuatu tanpa nilai intrinsik yang pantas. Tentunya tidak pernah kita melihat seekor simpanse mencari emas di tambang.

Pada ranah fiksi, beberapa karakter yang sering kita temui mempunyai sifat sinis yang kental. Misalnya Tyler Durden pada “Fight Club”. Sinisme telah bergabung pada pandangan Tyler tentang antikapitalistik, antimaterialistik, di mana ia menyuruh para bawahannya untuk mengobservasi ilusi yang diciptakan di sekeliling mereka. Dia sering meneriakkan pada bawahannya, “Kalian tidak spesial. Kalian tidak indah atau unik seperti bunga salju. Kalian adalah tubuh organik seperti yang lainnya.”

Tyler Durden tidak hanya memandang rendah betapa munafiknya dunia modern. Dia memutuskan untuk menunjukkannya dan menata ulang secara bertahap agar mendapatkan dunia baru yang lebih jujur. Sinisme Tyler adalah anarkistis alami, sebuah senjata utama yang ditargetkan untuk hal tradisional yang kuno—seperti perhitungan weton untuk melihat apakah dia adalah jodoh kita atau tidak.

Sementara karakter yang diperankan oleh DiCaprio dalam film “The Wolf of Wall Street”, Jordan Belfort, adalah kapitalis sinis di mana ia ingin membangun kerajaannya di Wall Street dengan cara menipu orang-orang. Memang karakter ini ada di dunia nyata, namun uang, mobil mahal, seks serta pemakaian obat-obatan adalah puncak eksistensi dirinya. Sinismenya berbahan bakar dari kehidupannya sebelum menjadi miliuner.

Ucapan Jordan, “Tidak ada bangsawan di kaum miskin. Aku telah menjadi orang miskin dan aku telah menjadi orang kaya. Dan aku memilih kaya setiap saat,” membuatnya pada akhir yang buruk di film tersebut. Diogenes mengatakan bahwa mencintai uang adalah ibu kota segala hal yang jahat. Tapi setidaknya Leo mendapat nominasi Oscar walau tidak menang juga.

Ada juga karakter yang mempunyai sifat sinis yang unik adalah Stephen yang diperankan dengan baik oleh Samuel L. Jackson dalam film “Django Unchained” arahan Tarantino. Stephen digambarkan sebagai pelayan pada rumah budak yang loyal pada tuannya yang rasis. Meski dia sendiri juga budak, Stephen memanggil orang seperti dirinya—kulit hitam jika ada yang belum menonton—niggers dan melihat mereka ini lebih rendah derajat daripada dirinya. Sikap sinisnya adalah perlindungan diri yang berlebihan.

Demi bertahan hidup di lingkungan tak memadai, dia memilih untuk memihak musuh. Kemungkinan ia juga harus menghapus identitas aslinya demi mendapat pengakuan yang palsu dari tuannya tapi yang ia dapatkan adalah rasa aman dari orang yang sama seperti dirinya. Akhir yang buruk bagi Stephen, Django menembaknya. Oh spoiler ya?

Kembali pada kisah Diogenes, dia pernah berjalan pada siang hari dengan membawa lampu minyak yang menyala. Ketika ia ditanyai, ia menjawab: “Aku mencari orang yang jujur.” Nietzsche juga meminjam kisah ini pada ceritanya yang terkenal Sabda Zarathustra, yang mencari Tuhan dengan lampu minyak. Zarathustra gagal menemukan Tuhan sama seperti Diogenes tidak menemukan orang jujur. Bagi Nietzsche ini karena yang satu sudah mati dan yang menggantikan belum datang.

Si Sinis tidak pernah menolak keberadaan dewa/Tuhan—walau beberapa filsuf kuno melakukannya—namun tidak lantas ia menghormati mereka. Mereka mengejek apa yang orang lain percayai seolah hanyalah takhayul atau kepercayaan berlebihan, seperti membuat pengorbanan, mengindahkan para peramal dan mereka tidak pernah percaya kuil sebagai tempat suci. Para dewa mampu mencukupi dirinya sendiri dan tidak perlu disembah oleh manusia. Manusia diharapkan mencukupi dirinya sendiri. Itulah kenapa para mertua lebih suka menantu yang punya kerjaan makmur.

Ras manusia adalah binatang yang memiliki kapasitas bahagia yang lebih sedikit dibandingkan binatang yang lain. Bagai burung di sangkar emas tak pernah berlaku karena burung—di sini merepresentasikan binatang, selalu bahagia baik di sangkar ataupun di alam bebas. Toh kalau stres paling mati dan mogok terbang.

Karakter-karakter sinis yang disebutkan, selalu memiliki akhir yang buruk. Apakah sinis itu benar-benar tidak baik bagi kita?

Anna-Maija Tolppanen peneliti dari University of Eastern Finland, dikutip dari situs Tempo.co mengatakan ada studi yang menyebut orang yang mudah sinis lebih cepat meninggal atau kesehatannya buruk. Dia juga menyebutkan orang sinis mudah terserang demensia. Dia tidak pernah menyebutkan kalau orang yang kelamaan menyendiri lebih mudah terserang delusi.

Tolppanen juga mengatakan, pandangan seseorang terhadap hidup dan personalitas orang lain memengaruhi kesehatannya. Jadi para follower Syahrini, kapan terakhir Anda mengecek kesehatan Anda?

Membandingkan hidup semenjana dengan seorang jetset seperti Syahrini terlalu jomplang. Celah yang ada begitu lebar bahkan bagi orang yang hidup dari UMR kotanya, bisa bertahan di akhir bulan tanpa utang adalah prestasi yang perlu diarak keliling kota naik bus tanpa atap layaknya peraih emas Olimpiade. Namun tidak lantas Anda berharap menjadi seperti Syahrini atau orang lain sementara Alexander Agung pernah mengatakan, “Jikalau aku bukan Alexander, aku akan menjadi Diogenes.” Kekayaan dan kekuasaan tidak hanya dilihat punya nilai intrinsik tapi sebagai kejahatan yang mengambil kebebasan. Kita bisa saja bahagia tidak menjadi raja tapi oleh kebajikan untuk mencukupi diri sendiri.

Adanya kaya-miskin, tampan-jelek, mantan-gebetan, merupakan dua sisi mata uang. Anda tak menginginkannya tapi selalu ada. Sinis membuat perbandingan yang berupa—menjadi… tanpa berubah menjadi tanda lain.

Bagi Diogenes dunia ini adalah dunia yang sebenarnya dan dewa tidak punya peranan atasnya. Menyerah pada sikap materialisme bukanlah awal untuk hidup di kehidupan kekal tapi untuk mengamankan kebahagiaan di bumi. Memang bisa dikatakan tujuan utama sinisme adalah untuk memimpin kemanusiaan pada pemahaman apa kebahagiaan itu.

Sinis menginginkan kehidupan orang penuh pemahaman tersebut. Juga untuk membebaskan mereka dari belenggu yang dibebankan pada diri sendiri dan hidup di jalan autentik.

Kita tidak dapat seperti Diogenes, tetapi yang dapat kita pahami tentangnya adalah dengan membuat sederhana hidup ini—berapa banyak yang kita butuhkan tanpa membuatnya mengelilingi obsesi terhadap materialisme.

Kecuali Anda adalah Syahrini yang berkencan dengan Syekh pemilik klub Manchester City di mana paman Anda adalah Florentino Perez serta ayah angkat Anda adalah Donald Trump.

Jacob Julian

Comments

  1. Hasan Hasan Reply

    Sinis itu adalah saat seorang penulis yg bukan siapa2, tapi mencoba selevel dgn penulis yg buku2nya jutaan eksemplar. Saat seorang penulis yg bukan siapa2, tapi nyinyir di media sosialnya kepada penulis yg bukunya ada di mana2. Penulis yg tinggal digentong, merasa dia sudah hebat sekali,padahal dia tdk berkontribusi apapun bagi dunia kepenulisan. Itulah sinis 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!