Apesnya Presiden Jokowi

Jokowi

Sapardi Djoko Damono rasanya perlu menambahkan bait baru untuk puisi Hujan Bulan Juni yang sangat fenomenal itu, dengan nada begini kira-kira: “Tiada yang lebih tabah dari Jokowi….”

Buku-buku sejarah dunia tak pernah memiliki catatan tentang seorang presiden yang setabah Presiden Jokowi dalam menghadapi keapesan yang bertubi-tubi. Keapesan-keapesan yang begitu setia dipersembahkan oleh rakyatnya sendiri sejak pemerintahan barunya terbentuk.

Anda tak perlu sok-sok amnesia pada ngawurnya pertikaian KIH (Koalisi Indonesia Hebat) versus KMP (Koalisi Merah Putih), yang jelas bertumpu pada sentimen politik Pilpres sebelumnya. Konflik politik yang terus terseret ke gedung parlemen itu begitu nyaring, vulgar, dan iihhh menjijikkan.

Ingat gimana mulusnya pencalonan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri dulu? Bagaimana mungkin seluruh anggota Dewan sepakat total pada sosok calon yang kontroversial itu, termasuk faksi oposisi yang khittah-nya kritis?

Catatan analitis lalu menguraikan dengan jeli: kaum oposisi emoh dijadikan tameng politik cantik Jokowi di hadapan Bunda Mega yang cintrong puol sama BG; mereka tak sudi Jokowi nyilih tangan nggo naboki wong.

Namanya juga politisi lulunggg bermadzhab fungsionalis garis keras ala William James, ya logislah mereka tak kalah ciamiknya dalam bermain oli-oli politik untuk mencoli kursinya. Sekalipun mendurhakai nurani rakyat, pastinya!

Pura-puralah diterima secara aklamasi si BG itu, biar bola panas kembali ke tangan Jokowi. Terbukti, Jokowi pun mumet ditimpuk psikologi fungsionalisme ini. Senyumnya memudar. Dia lalu memilih diam, menggulirkan bola calon Kapolri pada dribel waktu.

Kemudian, meletuslah telenovela kriminalisasi itu: seluruh jajaran pimpinan KPK diperiksa polisi. Dengan bumbu perkara yang gampanglah untuk bikin kita mengelus dada. Ada yang karena soal administrasi kependudukan, sangkaan menyuruh pihak berperkara menyuap di masa bertahun silam, hingga tudingan menembak penjahat yang dilakukan anak buahnya kala bertugas tahunan dulu.

Presiden Jokowi pun sontak jadi “sasaran bully”. Mulai tudingan lamban, ke mana presiden, sampai mana bukti komitmenmu pada pemberantasan korupsi. Beliau juga diserang gara-gara meminta Polri tidak menahan Novel Baswedan melalui jumpa pers. Katanya, gaya komunikasi presiden buruk! Harusnya titah formal begitu melalui podium kepresidenan, bukan tepian jalan. Jokowi diolok-olok karena kulitnya, bukan esensi titahnya. Jiahhh….

Percaya deh, kalau pun Jokowi menitahkan sabda itu dari podium negara, pasti para penyinyir akan tetap menggebukinya: itu bentuk intervensi presiden pada kedaulatan hukum! Hasyuh….

Lain lagi cerita vonis eksekusi mati para pengedar narkoba dari luar negeri itu. Sejak awal tahun, kabar eksekusi berembus kencang, terutama sejak Tony Abott hingga Ban Ki-moon seturut mendikte Jokowi mengampuni mereka. Jokowi dinyinyirin sebagai presiden yang penakut. Antek asing! Giliran eksekusi masuk injury time, pekik-pekik penolakan eksekusi meluas. Argumentasi HAM diseruakkan. Dan, ya iya, lah, tentu Jokowi yang lagi-lagi jadi samsaknya: mana bukti keberpihakanmu pada HAM?

Mary Jane beruntung sekali malam itu karena ada novum dari Filipina atas kasusnya, sehingga eksekusinya ditunda. Sontak, sergahan pun melesat bagai anak panah: wah, ternyata Jokowi gentar sama Filipina!

Ntar ya, catat saja, bila proses peradilan di Filipina selesai, lalu kejaksaan melanjutkan eksekusi Mary Jane, dijamin Jokowi akan kembali ditimpuki. “Ternyata presiden kita memang haus darah!” Duh iyung….

Kemudian, berembuslah angin reshuffle kabinet. Sudah lebih tujuh bulan kabinet Jokowi berjalan, sederet ketidakpuasan berarak bagai arwah gentayangan. Topan pun menampar Jokowi. Iya, topan nyinyiran. Misal: “Mau reshuffle gimana juga, jika presidennya cengar-cengir begitu, hasilnya tetap zonk.”

Oloohh…oloohhh….

Lantas, soal pidato Jokowi yang dituding keliru menyebut kelahiran Soekarno di Blitar. Syahdan, yang benar Surabaya. Tanpa ampun, Jokowi pun dibengepin. Mulai dikatain “pemalas ngecek validitas materi pidato” hingga “begonya nggak ketulungan.”

Sebodohlah Guruh Soekarnoputra bilang, bapaknya dilahirkan di Surabaya. Cindy Adam juga. Tapi sebagian lain, termasuk ajudan, menyatakan ia dilahirkan di Blitar. Sebuah jejak sejarah yang memang telah kontroversial bahkan sejak Soekarno sendiri masih hidup.

Yang penting, sekali lagi, samsaknya ya Jokowi; bukan Soekarno, keluarganya, atau pun para ahli sejarah. Pokoknya Jokowi!

Dan, yang terbaru, ada bapak tukang becak yang meninggal entah kenapa kala mengantar tamu Jokowi di pernikahan Gibran. Sekali lagi, penyebabnya entah apa. Jokowi lalu secara khusus memberikan santunan kepada keluarga almarhum.

Apa daya! Tak terbendung, Jokowi pun segera dimasak asam manis pahit kecut bacin mbahmu.

Sungguh, betapa apesnya Jokowi di kursi kepresidenan yang diraihnya secara legal-formal-konstitusional itu. Tak ada sedikit pun kebijakannya yang bernilai benar. Pokoknya, Jokowi harus selalu salah, sebab ia selalu apes!

Bukankah beliau ambekan pun akan tetap kalian nyinyirin sebagai fals dan memicu efek rumah kaca, kan?

Ataukah, jangan-jangan sejatinya kita diam-diam mengimpikan Jokowi jadi presiden berkarakter Machiavellian ya, Sang Pangeran?

Ataukah, kita rindu Jokowi menjadi The Smiling General, Pak Harto?

Ataukah, kita ingin men-de javu­-kan Jokowi pada sosok Bung Karno yang berapi-api dalam setiap pidatonya dan ngudud bareng dengan para pemimpin dunia?

Iiiihh, saya mati akal, tak tahu cara mempuisikan keapesan-keapesan Jokowi dengan indah bagai Hujan Bulan Juni-nya Sapardi itu. Yang saya mengerti kini hanyalah: mari akui saja dengan jujur bahwa berkat ketabahan hati Jokowilah kaum negative thinking, su’udzan, oposan ngehek, penyinyir kesepian, hingga pencari proyek, sukses meraih masa keemasannya. Keemasan nyinyir!

Bersyukurlah, Ahlul Contong. Mumpung nyinyirin presiden belum membuatmu tiba-tiba hilang dari muka bumi!

Sumber gambar: tempo.co

Edi AH Iyubenu

Comments

  1. Erin Reply

    Hihihi… Ahlul Contong tuh apaan? 😀
    Ono2 wae ngunekke wong 😀

    • EDI AH IYUBENU Reply

      Ngonekke nyinyiran dengan nyinyiran. Haaa….adus sik rin…

      • Umi Sakdiyah Reply

        adus ndingin, jungkatan terus wedakan ben ora kaya medi sawah 😀

  2. Afina Gigikita Reply

    Wah mantep nih tulisannya haha

  3. me Reply

    kerennn tulisannya ….. ahlul contong ahahahahaha

  4. Umi Sakdiyah Reply

    Ahlul contong, bener-bener koplak, ngakak jadinya heheheh

  5. Umi Sakdiyah Reply

    Izin shae nggih mas Edi, maturnuwun :v

  6. N. Firmansyah Reply

    Speechless baca tulisan ini..

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!