Pepatah “pengalaman adalah guru terbaik” sudah lazim didengar. Tetapi jarang sekali yang mempertanyakan lebih lanjut apakah pengalaman itu dan bagaimana dia dapat memberi pengajaran kepada kita. Maka, tidak mengherankan jika masih saja ada di antara kita yang terus-menerus terjebak pada pilihan dan langkah yang salah dalam menjalani hidup.
Pengalaman adalah bagian dari masa lalu dan dengan demikian dapat diidentifikasi sebagai “Sejarah”. Menempatkannya sebagai sejarah akan memberi pandangan yang lebih serius. Sejarah tidak harus dipahami sebagai sesuatu yang jauh dan besar, melainkan hal-hal yang sejatinya dekat sekali dengan diri kita. Selama tidak ditempatkan pada posisi itu, orang-orang sangat mungkin menganggap remeh pengalaman di dalam dan di luar dirinya, serta semakin meninggalkan sejarah di tempatnya berasal, di belakang.
Sejarah sudah terlalu jauh ketinggalan di belakang dan oleh karena itu harus ada akselerasi sehingga dia mampu memandu di depan. Sejarah harus didekatkan kepada mereka yang sejatinya membutuhkan tetapi enggan menjemputnya di belakang, entah karena tidak tahu, tidak mau tahu, atau bahkan bosan. Sejarah memang hanya akan menjadi rongsokan bertumpuk-tumpuk pengalaman dan ingatan, jika tidak dirawat dan senantiasa diabaikan. Ini merupakan kewajiban bersama, tetapi akan lebih baik jika dipandu oleh sejarawan.
Sejarah dan sejarawan, meski tidak begitu dirindui, namun sejatinya adalah yang paling dibutuhkan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat. Kuntowijoyo, sejarawan sekaligus sastrawan besar yang kita punya, pernah berujar bahwa sejarah itu baru bernilai jika dapat disituasikan pada masa kini. Dengan begitu, sejarah baru memiliki arti. Siapa yang dapat membantu masyarakat memberi arti sejarah itu? Benar, sejarawan. Akan tetapi, kekakuan dalam memandang sejarah tidak hanya menjangkiti masyarakat, namun juga para sejarawan. Tidak sedikit dari mereka yang merasa cukup bertanggung jawab dengan sejarah melalui pemublikasian artikel-artikel di jurnal ternama, yang padahal jauh dari jangkauan sasaran utamanya, masyarakat biasa nan cepat bosan ini.
Menikmati Sejarah
Taufik Abdullah, sejarawan kenamaan Indonesia, dalam sebuah seminar pernah menyatakan bahwa sejarah itu akan terlalu kejam jika diceritakan seluruhnya. Pernyataan itu tidak salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Sebagaimana kekinian, di masa lalu juga banyak sekali kejadian seru dan membahagiakan. Bukankah kita pasti memiliki kenangan pada masa kecil atau beberapa tahun ke belakang yang jika diingat lagi akan mengundang gelak tawa? Konteks inilah yang juga luput dari perhatian. Kita sering kali hanya ingat bagaimana sejarah diajarkan di sekolah, saat jarum jam mendadak melambat geraknya.
Sejarah padahal mempunyai satu fungsi menarik, yakni rekreatif. Pembelajaran akan menyenangkan jika disampaikan oleh sosok yang menarik dan dengan cara yang tak kalah menarik. Inilah tantangan yang harus dijawab oleh sejarawan dan mereka yang menekuni sejarah. Sejarah seharusnya tidak lagi hanya dipandang sebagai bangunan tua yang tidak terawat, dokumen usang yang kekuningan dan rapuh, atau foto dan video bernuansa hitam-putih semata. Sejarah tidak boleh lagi menjadi pelajaran yang paling ampuh meninabobokkan siswa di ruang-ruang kelas. Sejarah harus menjadi tujuan, bukan lagi sekadar pelarian bagi calon-calon mahasiswa yang ingin sekali lolos ke universitas negeri.
Beruntungnya upaya menghadirkan fungsi rekreatif dari sejarah sudah mulai tumbuh. Salah satunya dapat dilihat dari industri perfilman. Jika kita peka terhadap apa yang sedang terjadi, tentu kita akan merasakan nuansa sejarah hadir pada film-film yang rilis di bioskop belakangan ini. Film Mencuri Raden Saleh adalah yang termutakhir. Menariknya, dua film horor yang tayang dalam waktu belum lama ini juga bernuansa historis, sebut saja Ivanna dan Pengabdi Setan 2: Communion. Film Ivanna menyuguhkan penonton dengan gambaran masa silam pada saat-saat akhir kolonialisme Belanda dan awal pendudukan Jepang. Sedangkan Film Pengabdi Setan 2: Communion diberi konteks Indonesia pada saat dasawarsa pertama pasca-Kemerdekaan, melalui cuplikan-cuplikan Konferensi Asia-Afrika (KAA) hingga masa Orde Baru, yang identik dengan penembak-misteriusnya.
Film Sejarah: Bukan Kudapan
Beberapa judul film yang sudah disinggung di awal juga tentu hanya sedikit dari banyak judul film sejarah atau bernuansa sejarah lain yang pernah rilis di Indonesia. Beberapa judul itu disajikan hanya agar pembaca tidak perlu repot-repot merogoh memori terlalu dalam, sehingga dapat dengan mudah menghadirkan persepsi yang sama dengan yang diharapkan.
Sekali lagi, perkembangan film-film sejarah dan bernuansa sejarah jelas sangat membahagiakan. Akan tetapi masih ada masalah yang belum selesai dari rangkaian fenomena itu. Seperti yang kita ketahui, film sejarah dan film yang bernuansa sejarah tentu berbeda. Film sejarah adalah hasil dari upaya mengalihwahanakan peristiwa sejarah ke dalam bentuk tontonan di layar lebar atau televisi, sementara film bernuansa sejarah hanya berupa percikan kejadian-kejadian di masa lalu kepada mata dan pikiran kita yang kalut. Film sejarah mengandalkan bukti, sementara yang lebih bernilai bagi film bernuansa sejarah adalah imajinasi.
Kita tidak sedang memberi justifikasi benar atau salah pada film-film bernuansa sejarah maupun film-film sejarah yang beredar dan sedang pesat pertumbuhannya. Keduanya harus senantiasa diberi ruang yang adil untuk berkembang dan mewarnai dunia hiburan. Sebagian tantangan untuk menjadikan sejarah lebih berarti melalui fungsi rekreasi sudah terjawab. Sejarah sudah dapat dinikmati dengan luas, namun sayangnya masih sebatas kudapan.
Jika boleh berharap lebih, terutama kepada diri penulis sendiri, sejarah sudah harus level up dengan menjadi hidangan utama. Jika pun masih belum mampu memproduksi film sendiri, sejarawan harus hadir entah itu sebagai pengarah atau sejenisnya untuk memastikan film sejarah yang ditampilkan sedekat mungkin kepada objektivitas. Sangat miris jika film itu baru dikritik oleh sejarawan sesudah rilis, yang sejatinya membuka tabir ketidakberdayaan mereka dalam menghasilkan karya sejarah yang open-access, bukan hanya bagi lingkar akademisi namun justru seluruh masyarakat. Generasi Z sedang menggandrungi bentuk-bentuk hiburan yang demikian itu dan menjadi saat yang tepat bagi film sejarah ditentukan arahnya, cukup sebagai kudapan yang menghibur atau maju dengan menularkan nilai-nilai luhur.
- Sosok Besar di Narasi Sempit - 9 November 2022
- Arah Film Sejarah - 14 September 2022