Jika menelusuri KBBI, kau akan menemukan lema areta. Termasuk kelas nomina, diserap dari bahasa Yunani, dan diartikan sebagai ‘keberanian dan kebajikan yang dimiliki seseorang yang menyebabkan dia dihormati oleh orang lain’.
Kata orang, nama adalah doa. Sepertinya, doa kedua orang tuaku tidak dikabulkan sepenuhnya. Atau mungkin, belum. Namaku Areta. Bisa dikatakan aku bijak, berani juga, tapi aku tidak dihormati karenanya. Mereka justru lebih sering iri hati. Aku menyebutnya kaum khisit.
***
Aku berkenalan dengan Sasi saat Ospek kampus enam bulan lalu. Ketika melihat dia dikerjai senior, aku tergerak untuk maju dan membelanya. Hasilnya, kami dihukum bersama. Tapi itu kemudian membawa keuntungan bagiku.
Dengan rambut lurus sepunggung dan kulit putih bersih, sebenarnya Sasi sangat cantik. Tapi karakternya lemah. Bukan fisik yang kumaksud. Daya pikirnya yang lemah. Kurasa dia jarang terluka, hati maupun fisik. Mungkin, orang tuanya selama ini merasa bisa membelikan putri mereka kebahagiaan, termasuk cinta dan perhatian dari orang-orang di sekitarnya. Kubayangkan, masa kecil Sasi dihabiskan dengan mendengar ucapan-ucapan jangan; jangan lari-lari, nanti jatuh; jangan main ke luar, sedang hujan; jangan jajan, nanti sakit perut; dan jangan-jangan yang lain.
Denganku, Sasi langsung suka. Aku memang seperti spons, bisa menyerap cairan apa pun yang disentuh. Dan Sasi butuh orang yang mau menerimanya apa adanya, bukan karena dia anak orang kaya, tapi karena dia gadis 18 tahun yang mudah terluka karena selama ini terlalu ketat dijaga.
Aku tahu orang tua Sasi mengawasiku, seakan aku adalah jamur yang menempel di kulit putrinya, harus segera diberantas. Masa bodoh. Sasi yang memintaku menempel padanya. Dan seperti kukatakan, aku mendapat untung.
Sasikirana Halu Adyansyah gadis kaya yang terbiasa serbaada. Mana tahu dia apa itu berkeringat demi sesuap nasi. Makan nasi saja dia jarang, lebih sering roti. Dan aku yang kemudian dianggapnya pahlawan karena berusaha menolongnya, tiba-tiba terangkat derajat menjadi sahabat. Sejak enam bulan lalu, di mana ada Sasi, di situ ada aku. Aku malah merasa seperti Cinderella, bisa merasakan hotel bintang lima, naik pesawat dengan tiket VIP, dan seharusnya bisa nonton langsung Adam Levine kalau saja tidak batal konser. Upik abu yang beruntung, kata sebagian orang yang mengaku temanku, diam-diam di belakang.
“Kamu pernah jatuh cinta, Ta?” tanya Sasi suatu ketika sambil menyendok Haagen Dazs-nya.
“Nggak,” kataku, sibuk membenarkan tali sepatu. Jangan bayangkan aku akan menggunakan dress seperti tuan putri di depanku ini. Kami bersahabat, dengan syarat tak terucap. Aku, meskipun bersedia menemaninya ke mana-mana, harus tetap menjadi diriku sendiri.
“Tipe cowok kamu seperti apa?” tanya Sasi lagi ketika aku mulai menyendok es krim bagianku juga. Es krim yang tidak begitu aku paham kenapa harganya bisa demikian mahal.
Aku mengangkat bahu, malas menjawab, sibuk menikmati es krim yang memang berbeda dengan es krim biasa.
“Kalau Bian?” Saat bertanya, matanya berusaha menangkap reaksiku.
Sabian Nugraha yang disebut Sasi adalah tipikal pemuda yang dengan mudah dapat disukai. Jago olahraga, aktif di organisasi, ramah, sedikit nakal, kekayaannya jangan ditanya, dan seterusnya. Model-model tokoh utama cowok di sinetron remaja.
Aku hanya menautkan alis, hingga tercipta lekuk kerut di antara keduanya.
Sasi tersenyum, sepertinya puas dengan ekspresiku.
“Jangan bilang siapa-siapa, ya. Aku dan Bian sebenarnya sudah bertunangan dari kecil. Biasa, demi kelancaran bisnis. Tapi, aku nggak pernah menyesali pertunangan ini. Dia calon suami yang sempurna, kan?” Lalu Sasi lanjut berkisah tentang pertunangan mereka dan mengapa mereka belum siap mengumumkannya. Klise.
Kejadian itu tiga bulan lalu. Dan sejak nama itu disebutkan, aku tahu yang harus kulakukan.
***
Jika kau kira ini adalah kisah cinta, silakan coba tebak lagi. Sudah kubilang, aku memiliki kebijaksanaan, dan urusan cinta tidak termasuk di dalamnya. Cinta, bagaimanapun kecil awalnya, akan merusak kebijaksanaan.
Sejak tinggal berdua saja, aku sering mendengar Ibu berkata, berulang-ulang, “Jangan percaya cinta, Reta. Jangan pernah biarkan dirimu jatuh cinta.” Masa kecilku dihabiskan berdua saja dengan Ibu. Jangan tanya ke mana ayahku. Namanya saja aku tak tahu. Aku bahkan tak boleh menyebut kata “ayah” di rumah. Itu kata tabu. Bisa membuat Ibu tiba-tiba mengamuk dan bukannya mendapat jatah jajan, aku justru akan menuai memar.
Ibu memang melarangku jatuh cinta, tapi tidak pernah melarangku membuat orang jatuh cinta.
Berapa lama biasanya kau jatuh cinta? Ada yang sejak pada pandangan pertama, atau butuh satu minggu, atau satu bulan, atau bertahun-tahun. Laki-laki adalah makhluk visual, kita sudah tahu. Jadi, setelah kita dirasa pantas secara fisik untuk masuk dalam kategori gadis yang dapat menimbulkan gairah baginya, sisanya akan mudah. Menjadi menarik, menimbulkan rasa penasaran sambil menjaga agar mereka tidak bosan mencari tahu. Membuat para lelaki kasmaran tidak harus selalu berpenampilan medok dan seronok. Itu cara kampungan dan hanya mempan sesaat. Kita para wanita harus lebih pintar menjerat. Aduh, maafkan kata-kataku. Mungkin, memikat adalah kata yang lebih pantas.
Dan demikianlah aku memikat Bian. Tiga bulan kemudian, saat Sasi semakin menyukainya dengan diam-diam, aku sudah menjadi pelabuhan candu bagi pria idamannya itu. Kami melakukan hubungan diam-diam. Dan itu semakin menguntungkan bagiku.
Lagi-lagi, aku merasa seperti Cinderella. Kali ini, dengan pangeran yang sesungguhnya. Ini nyaris sempurna, kan?
Hingga tiba waktunya, hubungan kami terendus. Bukan oleh Sasi, tapi oleh orang tuanya.
***
“Kau tidak mungkin meninggalkanku, kan?” Bian menyalak penuh emosi melihatku mengurangi isi lemari, memilih yang akan kubawa ke dalam tas. Tidak perlu banyak-banyak. Satu ransel saja, yang penting cukup sampai aku berhasil menemukan tempat tinggal baru. Apakah aku akan membawa sepatu atau sendal saja?
“Jangan pergi, Areta.”
Aku tidak tahu apa yang akan kutemukan dalam perjalanan. Sepatu lebih aman.
“Areta, kumohon….”
Setelah memastikan jam tangan peninggalan Ibu terbawa, aku menuju pintu. Bian masih meratap di depan pintu, tapi tahu tidak dapat menghentikanku. Ada batas ketika laki-laki meminta kita untuk tinggal. Dan mereka biasanya paham bahwa jika kita tidak mau tinggal, maka memohon pun tak ada gunanya.
Aku berhenti sejenak, tergoda untuk mengucap kata-kata perpisahan. Tapi, kemudian tertahan oleh ingatan pada syarat dari Nyonya Riska, ibu Sasi: Tidak satu patah kata pun!
***
“Kau tidak mencintai Bian.”
“Memang tidak.”
Ucapan singkatku membuat Nyonya—dia sendiri yang menyebut namanya dengan nyonya, dan bukan ibu—Riska menggeram. Hanya itu. Dia tidak sudi mengotori mulutnya dengan umpatan.
“Kau juga tidak mencintai Sasi.”
Luar biasa. Bagaimana pikiran itu bisa sampai di otaknya?
“Tadinya kukira kau sengaja memisahkan mereka karena kau jatuh cinta pada anakku.” Nyonya Riska menjelaskan. Kali ini wajahku berhasil terbaca rupanya.
Aku tersenyum sebelum menyahut, “Pemikiran yang aneh.”
“Zaman sekarang, hal begitu sudah mulai tidak aneh.”
Ya, mungkin. Pada akhirnya tidak ada hal yang benar-benar aneh di dunia ini. Apalagi jika menyangkut kebutuhan dasar manusia.
“Berapa?” ujar Nyonya Riska tiba-tiba.
“Apa?” Aku menelengkan kepala perlahan, kembali mampu menguasai diri.
“Jangan pura-pura tidak tahu. Berapa yang kau minta?”
Nah.
***
Sudah kubilang, ini bukan kisah cinta. Ini adalah kisah tentang kebutuhan dasar manusia. Aku cukup bijak untuk melihat peluang dalam mencari uang. Sekaligus cukup berani mengambil risiko. Tapi, seperti kuceritakan sebelumnya, aku tidak dihormati untuk itu. Belum, mungkin.
Kuberi tahu, mencari uang dengan cara begini bisa mendapatkan hasil banyak dengan sedikit risiko. Kelemahannya, makan waktu cukup lama. Jika sudah setahun tampaknya tidak akan membawa hasil memuaskan, maka sebaiknya tinggalkan saja.
Modal yang diperlukan untuk melakukan bisnis ini pun gampang. Kau cukup memiliki kemampuan berpura-pura, belajar beberapa mimik wajah. Khawatir, ramah, gelisah, kasmaran, cemburu, kerlingan. Dan harus meyakinkan. Harus terlihat tulus. Dan—ini yang paling penting—jangan libatkan hati. Seperti ajaran ibuku yang kini hanya bisa tergugu sejak lagi-lagi ditinggalkan laki-laki tempatnya menempel bagai jamur: jangan jatuh cinta.
Hei, hei, jangan menganggapku jahat. Sasi dan Bian tidak dirugikan. Mereka justru akan banyak belajar. Belajar memahami bagaimana cinta sesungguhnya. Setelah kedatanganku. Setelah kepergianku.
Aku tak bisa menyalahkan jika setelah mengetahui kisah ini kau memasukkan diri ke dalam golongan yang iri kepadaku. Kaum khisit. Dan aku merasa kasihan untuk itu.
Amplop dari Nyonya Riska terasa tebal ketika kutepuk. Hangat. Seutas senyum terukir di wajahku.
Saatnya mencari “sahabat” baru di kota baru. Kotamu, mungkin?
- Penting Tak Penting Perihal Teenlit - 26 October 2016
- Membaca Karya Fiksi Memang (Kadang) Tidak Berguna - 28 September 2016
- Imajinasi dalam Rungkup Teknik Berkisah dan Pesan yang Ingin Disampaikan - 12 June 2016