Arisan Keluarga

SETELAH kedatangan mereka yang kelima atau mungkin keenam, aku baru tahu perempuan-perempuan ini tidak punya pertalian saudara.

Mira Marcela, paling cantik di antara mereka, adalah mantan penyanyi dangdut dan tetap berpenampilan layaknya pedangdut walau sudah lebih tiga tahun meninggalkan panggung. Lena Karmila, pegawai negeri; Siti Amalia Dahlan, konsultan keuangan dan investasi; Faradila Maharani, fotografer alam bebas; Vivian Ivory Sukandar, pelatih senam dan bartender paruh waktu; Dyah Ayu, dokter gigi; Larasati Utami, pelukis, pedagang permata, dan food blogger; Erika Nunez, guru musik; dan Laila Habsah, ibu rumah tangga.

Nama terakhir, meski tidak pernah mengakui, adalah ketua mereka. Laila menyebut kegiatan kumpul-kumpul ini arisan keluarga. Kami merasa sudah seperti keluarga, bahkan lebih dari itu, bilangnya selalu.

Mereka datang sekali saban bulan. Pekan kedua. Sesekali pekan ketiga.

“Kalau menu di sini cocok, kita akan jadi langganan,” ucap Laila di pertemuan pertama kami. Laila–terkenang-kenang dalam ingatan–mengenakan blus putih bunga-bunga dipadu rok model span berwarna abu-abu gelap. Anggun, tapi ketinggalan zaman. Rambutnya dicat cokelat kemerahan.

Ia kemudian memilih meja di ruang belakang, bersisian dengan jendela besar yang menghadap ke taman, berjarak beberapa langkah dari piano yang berada di atas panggung kecil dan tidak terlalu tinggi.

“Di antara kami ada yang pintar main piano, lho, dan hampir semuanya suka menyanyi. Tapi, eh, ngomong-ngomong, ini bukan sekadar pajangan, kan?”

Sejurus itu Laila menekankan ujung jari ke tuts–wajahnya langsung semringah tatkala mendengar nada nyaring yang melenting.

Pastilah! Ini Petrof Chippendale klasik berpelitur mahogani bikinan Ceko. Bukan sembarang piano. Namun, Laila benar untuk satu hal: Petrof ini sebelumnya memang hampir tak pernah disentuh, kecuali untuk dibersihkan. Dan Erika Nunez, sepanjang bisa kuingat sejak mulai bekerja di sini, adalah tamu pertama yang memainkannya. Pada kedatangan perdana mereka di satu sore berhujan ringan, ia mengiringi Mira Marcela melantunkan dangdut.

Mungkin agak sulit membayangkan dangdut dengan piano—tanpa liukan seruling, rambas gitar, petikan mandolin, dan pukulan gendang. Namun, sore itu, dan sore-sore berikutnya, mereka memang memperdengarkan dangdut. Dari Ikke Nurjanah ke Elvi Sukaesih ke Evie Tamala ke Rhoma Irama, dari para ratu dan raja di istana langit ke penguasa-penguasa panggung Pantura sebangsa Enny Sagita atau Sodiq Monata.

Setelah tiga empat lagu, Mira Marcela biasanya menepi, menyerahkan panggung kepada Erika untuk tampil sendirian mengantarkan jazz-jazz klasik yang manis. Beberapa yang kuingat, ‘My Foolish Heart’, ‘My One and Only’, juga ‘You Do Something to Me’ dari Ella Fitzgerald. Tak ketinggalan lagu yang barangkali jadi favoritnya, ‘Home’. Erika pernah bilang dia sangat menyukai Michael Buble.

Lalu tiba giliran yang lain, kecuali Dyah Ayu. Suara saya jelek sekali, katanya. Kilah generik yang kerap dilontar orang-orang yang mengelak menyanyi. Belakangan, aku tahu alasannya tak sesederhana itu.

Pada kedatangan mereka yang kesepuluh atau mungkin kesebelas, aku tak melihat Dyah. Dari sembilan kursi yang kami sediakan, hanya delapan yang diduduki. Meski demikian, Laila tetap memesan menu untuk sembilan orang.

Perkara menu ini juga menarik. Aku sudah hapal menu-menu yang mereka pesan. Rata-rata memiliki dua tiga pilihan menu yang dipesan berganti-ganti. Biasanya Laila akan mengonfirmasi menu-menu pesanan ini sehari sebelum kedatangan.

Dyah Ayu suka makanan Jepang. Favoritnya Shabu-Shabu dengan Original Collagen Soup yang kadang-kadang divariasikan dengan Tantan, Konbu, atau Sukiyaki. Kemudian Spicy Salmon Roll Sushi dan Chicken Nanban, tapi kadang kala dia memesan Rawon Iga atau Nasi Goreng Kampung juga–dengan Ikan Teri Medan dan dua telur mata sapi. Minumnya, Rich Mango Smoothies atau Lemon Brush: teh merah dari Afrika Selatan dicampur sari buah citrus.

Awalnya aku sempat berpikir dia sekadar berhalangan dan telat datang. Terjebak macet, barangkali. Jalanan kota ini makin sesak. Berbagai macam kebijakan diterapkan pemerintah tak juga banyak membantu. Di masa sibuk, terutama petang menjelang malam, butuh berjam-jam untuk lepas dari antrean. Namun, sampai usai acara, Dyah tetap tak ada. Rawon Iga dan Lemon Brush utuh tidak tersentuh. Bahkan tidak ada yang minta dibungkuskan untuk dibawa pulang. Di meja, letak peralatan makan dan minum pun sama sekali tak bergeser.

“Ibu dokter sudah tidak bersama kita,” kata Laila ketika akhirnya rasa penasaran ini kusampaikan dua bulan berselang. Laila, dan anggota arisan yang lain, memanggil Dyah dengan sebutan ‘ibu dokter’.

“Pecah kongsi?” celetukku mencoba bercanda.

Laila menggeleng. “Sudah tidak ada. Sudah meninggal dunia.”

“Astaga! Kapan?”

“Tiga bulan lalu.”

“Kenapa?”

 “Esofagus. Kanker kerongkongan.”

Agak lama aku baru mengerti. Saat itu anggota arisan sudah makin berkurang. Siti Amalia tidak datang lagi. Juga Vivian, Lena Karmila, dan Mira Marcela. Tidak ada dangdut lagi. Bahkan kemudian tidak ada denting piano lagi. Petrof Chippendale kembali teronggok sepi. Pada minggu kedatangannya yang terakhir, Erika Nunez memainkan ‘Home’ hampir secara terus-menerus.

“Tujuh belas kali,” kata Laila. “Setelah pengulangan keempat, atau kelima, saya mulai menghitungnya. Erika memang tidak bilang apa-apa, tapi saya merasakannya sebagai pertanda.”

Pekan itu mereka tinggal bertiga. Laila, Faradila, dan Larasati yang duduk di kursi roda. Larasati datang bersama seorang laki-laki muda, kira-kira 19 atau 20 tahun, yang ia kenalkan sebagai anak tirinya. Larasati tidak mampu berjalan lagi.

“Fibrosarcoma, stadium empat. Sudah makin dekat ke ujung,” ujarnya dengan suara lirih, tapi dingin.

Tak banyak orang kena penyakit ini, bilang Larasati pula. Jenis kanker tulang yang terbilang langka, konon terjadi hanya pada satu dari sejuta orang, yang sebenarnya pun bahkan lebih banyak menyerang laki-laki daripada perempuan.

“Dari jumlah yang sedikit ini, saya jadi salah satunya. Saya benar-benar beruntung,” katanya diikuti tawa berderai. Faradila ikut tertawa. “Iya, kita memang orang-orang beruntung,” sambungnya setelah tawa reda.

Seketika kurasakan desir halus di dadaku. Setelah sekian lama akhirnya kutemukan jawaban kenapa tidak seorang pun dari mereka pernah mempertontonkan kesedihan. Mereka memang selalu tersenyum, selalu tertawa-tawa, bergoyang dalam dangdut seperti orang-orang berbahagia. Termasuk Erika Nunez.

Tahun 1997, Erika menikah dengan seorang laki-laki Spanyol. Mereka bertemu setahun sebelumnya. Erika yang sedang belajar musik di Paris, bersama beberapa kawannya menyeberang ke Madrid untuk menonton konser AC/DC. Erika sebenarnya tidak begitu suka rock. Distorsi-distorsi gitar yang melesat menyayat-nyayat berpadu hentakan drum yang memburu lebih cepat dari detak jantung tak pernah bisa ia nikmati dengan nyaman. Terlalu bising. Namun kali itu, melulu lantaran tak ingin kesepian ditinggal sendirian, ia ikut.

Sehari setelah konser, Kamis petang 11 Juli 1996, beberapa jam sebelum kembali ke Paris, Erika dan kawan-kawannya singgah di satu kafe. Laki-laki itu pemusik di sini. Pemetik gitar dan pianis. Dia mengundang Erika dan kawan-kawannya, yang duduk di jajaran meja paling dekat dengan panggung, untuk menyumbang suara. Namun Erika memberi lebih. Ia bernyanyi sembari memainkan piano dan laki-laki itu mengiringinya dengan gitar dan menatapnya tak lepas-lepas.

“Setelahnya mereka juga saling tak lepas, pacaran sebentar, lalu menikah. Erika berhenti kuliah dan terbang ke Madrid untuk tinggal bersama dia. Mereka menyanyi dan main musik dari kafe ke kafe. Hidup yang indah dan berbahagia. Sampai kemudian kanker menggerogoti payudara Erika dan bajingan itu meninggalkannya,” kata Laila.

“Cerai?”

 “Saya tidak tahu pasti, tapi mungkin tidak. Sampai akhir hayatnya Erika tak juga menanggalkan nama bajingan itu dari belakang namanya.”

“Apakah dia masih berharap?”

“Bagi kami, satu hal yang tertinggal untuk dibanggakan adalah harapan. Kami bersemangat karena merasa masih punya harapan. Kami memupuknya tiap hari. Walau di lain sisi kami juga sadar, betul-betul sadar, bahwa harapan tidak selalu tumbuh jadi kenyataan.”

“Kecuali untukmu, Laila,” potong Larasati tiba-tiba.

Laila terdiam, tampak tercekat. Di sebelahnya, Faradilla menghela napas, lalu melempar tatap ke luar jendela. Ada sepasang kupu-kupu terbang berkejaran.

“Mungkin, Laras,” kata Laila. Suaranya kedengaran bergetar. Untuk pertama kali kulihat ada kebeningan yang mengaca di matanya. “Setidaknya sampai sejauh ini.”

Aku juga belakangan tahu, di antara anggota arisan, memang hanya Laila yang telah melewati masa sulit. Rangkaian kemoterapi yang ia jalani mampu menekan pertumbuhan sel kanker yang menyerang sistem limfatiknya Persisnya Limfoma Non-Hodgkin. Kanker yang tadinya stadium 3 itu belum sepenuhnya pergi. Sewaktu-waktu bisa kembali.

“Saya selalu bilang ke yang lain, tidak usah berpikir dan berbicara tentang mati. Kita berpikir dan berbicara tentang hidup, bagaimana meniti dan menikmati waktu tersisa. Ternyata waktu saya dan teman-teman bergerak ke arah berbeda,” kata Laila kepadaku pada kedatangannya yang berikut lima bulan berselang. Ia datang sendiri. Faradila telah pergi, menyusul Larasati yang mendahului tiga bulan sebelumnya.

Laila mengaku lelah sekaligus bersalah. Ia menyesal pernah menulis di media sosial perihal upayanya menghadapi kanker. Tulisan-tulisan ini memang sangat menggugah (aku pernah membacanya), hingga tak heran—meski belum jadi penyintas seutuhnya—banyak yang memintanya berbagi pengalaman untuk memotivasi penderita lain. Laila menyambut penuh semangat. Ia bicara di forum-forum diskusi, seminar, dan gelaran-gelaran acara menyambut hari kanker. Ia juga menginisiasi pembentukan komunitas, dari yang sifatnya serius sampai yang ringan seperti arisan.

“Sering saya kuat-kuatkan diri, bahwa segala kematian adalah urusan Tuhan, tapi tetap saja perasaan bersalah itu datang tiap kali mendengar ada teman berpulang. Saya berpikir untuk berhenti bicara tentang harapan. Buat apa jika selalu berakhir dengan kekecewaan?” katanya.

Laila mulai menangis. Aku menggeser duduk ke sampingnya, meletakkan tangan dengan hati-hati di meja yang bersusun sembilan menu berbeda. “Kecil atau besar, lama atau sebentar, bahkan terwujud atau tidak terwujud, harapan tetap membahagiakan, Mbak. Selama ini aku melihatnya pada teman-teman Mbak,” ujarku.

Laila terdiam, lama, lalu bangkit dari duduknya. “Terima kasih,” ucapnya sebelum beranjak pergi. Sekilas kulihat senyum di bibirnya.

Besok hari terakhir pekan ketiga. Belum ada tanda-tanda dari Laila.

Medan, 2022-2024

T Agus Khaidir
Latest posts by T Agus Khaidir (see all)

Comments

  1. Bamby Reply

    Alur yang bagus. Menunggu giliran dapat bagaikan arisan.

  2. Faris Reply

    Vevgrhr

  3. S. Reply

    Wow. Mantap. Iramanya asyik banget, ceritanya juga bagus. Terima kasih sudah nulis cerita ini, Pak Agus.

  4. Biru Reply

    Keren, tersampaikan rasa menyayat hati

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!