Aromasha
kala bintang jatuh tengah malam
cericit kelelawar pada dahan
membangunkan bulu roma
bulan redup tertutup kabut
seperti mata ingin menangis
lantaran rindu temu ribuan waktu
ranting-ranting pohon
menunjukkan padaku arah berbeda-beda
hingga usia begini tua
tak ketemu juga rumahmu di mana
angin santer bertiup sepanjang waktu
tercium semerbak harummu
suara cecak bersahutan di dinding rumah
menyuruhku tabah dan menanti tak kenal lelah
aku musafir tanpa ibu dan ayah
dilahirkan dunia dari rahim tanah
diasuh berbagai macam binatang
menyusu pada kayu dan tidur di atas batu
sekali waktu aku bertanya pada belantara
dengan suara berat putus asa:
apakah kau masih setia membaca peta
melingkari pulau-pulau kecil
menuntun perjalananku yang sepi dari jauh
sedangkan kalender matahari sudah lusuh
waktu dekat subuh
setiap hari kusaksikan daunan kuning mengering
jatuh diterpa angin
kawanan burung bersiul pada maut
sambil melepaskan bulu-bulunya
hutan menjawab lewat gema
yang sumbernya entah di mana
kutahu ini orkestra cinta alam raya
seperti laut gaduh, debur syukur tak henti mengguntur
kepadamu aku bersandar
terimalah meski hanya sekadar kabar
sebab apa yang kudengar selalu
/Batang-Batang, 2015
Kidung Sunyi
bunyi air menetes di kamar mandi
bagai musik dari lautan imaji
menggiring sukmaku ke benua tak bernama
tempat cinta lahir dari rahim domba
padang pasir memetik senar harpa
unta-unta mendaki gunung purba
pohonan moksa ke dalam hira
aku lari ke dalam gema
sendiri kudekati kau yang sepi
adakah di situ nyanyi bermakna puisi
beri aku lirik dari sabda dan firman
agar lagu tak sekadar igauan
seperti kutahu
ke arahmu angin menderu
harum kembang hutan-hutan
lampaui batas bumi dan bulan
seperti kutahu
kepadamu burung-burung berseru
tentang malam semu:
waktu yang ditinggalkan cahaya lampu
/Batang-Batang, 2015
Bunga-bunga Merah Musim Hujan
di tepi jalan sepi itu, terhampar ladang kosong
hanya pohonan kelapa satu dua,
menjadi saksi
sejarah kematian
orang-orang yang dibungkam
di depan senjata
mayang jatuh seakan peluru berlesatan
menembus waktu dan kehampaan
ribuan nyawa dipaksa keluar dari pertapaannya
melayang di atas batu-batu hitam
tak punya rumah dan nama
di mataku wajah-wajah kuyu itu tampak
menjelma bunga-bunga merah di musim hujan
memandang kepada orang yang lewat berjalan
“kau piatu anak malang, kenalilah aku ayahmu
gugur di medan tanpa perlawanan
sebagai lelaki terusir
karena menolak sekutu dengan angin malam
diseret ke tengah ladang
maut membayang”
tapi bocah-bocah terus tertawa
kembang-kembang rekah terus dipetik
sedang senja akan datang, menyuruh mereka pulang
kembali ke pangkuan bunda
meringkuk takut,
malam akan merenggut
banyak yang hilang ditelan sunyi
tak pernah kembali
/Batang-Batang, 2015
Tukang Kayu
ia tak pernah cerita padaku
setiap waktu
tak henti ia ketuk paku pada kayu
menjadi bagian dari pintu
kadang aku mendengar
suara kaca diiris dengan pisau
berderit dibawa angin kemarau
berpuluh tahun sudah lewat
kusaksikan wajahnya yang tua
bagai daun kering ladang kerontang
batu-batu hitam
pohon jati atau beringin
tak ada beda baginya
ia lelaki yang sederhana
kepadaku ajarkan setia
jangan tanya kenapa
lantainya lembut hamparan sutra
ia mungkin akan berkata:
“lebih baik jadi pelukis
daripada sekadar kambing di atas kanvas.”
pelukis hanya hamba dari warna
gambar-gambar yang tak selalu setia
bila malam tiba ia duduk di selasar
kepadanya ajarkan satu
yang tampak hanya semu
ia tak pernah cerita padaku
setiap kayu
tak henti ia pukul dengan palu
menjadi bagian dari paku
Batang-Batang, 2015
Sebuah Nyanyian
kau tahu aku bukan anak sulung gelombang
perahuku karam jauh di laut kenangan
sauh dan jangkar terserak di dasar
rindu debar jadi mawar
setelah angin tenggara
membangun menara pasir
kau dan aku berdekapan
saling menghirup bau tubuh masing-masing
sebelum air yang asin menggarami
jejak kita yang terakhir
kita berpisah menuju ruang yang bukan kematian:
sebuah gurun tak berpasir
hutan tak berpohon
gunung tanpa api
tempat segala yang berarti tinggal ilusi:
padang tanpa musim semi
hujan dan kemarau tak dikenal lagi
/Yogyakarta, 2015
Petualang
dari seberang aku datang
mencari bahasa sunyi para nabi
bersampan daun lalang
membelah gunung gelombang
kutinggalkan pisau masalaluku jauh di hutan
antara taring harimau dan gading gajah
kurelakan bulu jantanku gugur
ditimbun ribuan daun
kutahu di sini ada banyak kata
meski bukan bahasa doa
setiap orang telah mencipta keasingan
rumah kehilangan ruang lengang
cinta, ibarat gelas pecah
berkeping runcing haus darah
kulintasi ambang petang
kawanan anjing mendengus tulang
gedung menjulang merentang tangan
seolah menanti hujan datang
namun taman-taman
menolak mendung lewat sepasang mata perempuan
yang duduk jauh di kegelapan
di langit mana aku hendak bernaung?
meletakkan tubuh telanjang
bernyanyi riang lagu kemenangan
bila setiap jarak selalu kusaksikan
kawanan lebah terbang ke arah pasar malam
samadi zikir pohon-pohon dilupakan waktu
kau menjelma desau, aku batu
warung-warung makan sepi gumam
tempias kuning lampion remang
seakan mata dari masa lalu
penuh candi-candi bisu
aku melangkah ke jalan simpang
sejarah dan ilham datang bersilang
kau dan aku bertemu
bagai dua sumbu
/Yogyakarta, 2015
Kepada Malam Jum’at
telanjangi aku dalam sunyimu
jiwa fana telah lama berontak
keluar dari keabadian sajak
tangan yang gagap telusuri senyap
mencari bintang padam
di atas ranjang
bagai bulan tanggal tua
mengintipmu dari jauh
aku bersandar pada jendela
langit dan bumi bertanya
/Sampang, 2015
- Aromasha; Puisi-Puisi Kamil Dayasawa (Sumenep) - 22 September 2015