Artikel Sembilan Belas Tahun Lalu

ilustrasi cerpen 29mei

Aku pulang. Kembali ke kota tempat pertama kali kuputuskan untuk bercita-cita menjadi malaikat. Kota yang dikidungi segala mahkota Jawa, Jogjakarta. Kota yang telah sembilan belas tahun kutinggalkan. Dengan alasan tidak ada rumah sakit yang menerimaku semasa itu. Dengan sebab tak ada yang mampu menolongku sewaktu itu. Jadi aku pergi, jauh… meninggalkan gubuk seistimewa kastil yang telah lama kutiduri bersama istriku.

Sebenarnya aku kembali bukan karena anak-anak yang duduk melingkar di lapangan dengan cahaya-cahaya lilin itu memanggil-manggil. Bukan pula karena merasa terharu mereka masih ingat kudapan kesukaanku, entho-entho. Namun, kepulanganku ini adalah tugas terakhir sebelum didaulat menjadi malaikat sejati. Tugas terakhir.

***

Leres, Pak. Aku ingin jadi malaikat,” jawabku setengah abad lalu.

Plak!

Telapak tangan berkecepatan tinggi seketika menubruk pipiku. Panas, tapi aku tidak menangis. Karena sudah mantap dalam hatiku, aku ingin menjadi malaikat.

“Ternyata ora salah yang Bapak dengar dari gurumu! Kamu ini geblek apa geblek?! Tidak ada manusia yang bisa jadi malaikat! Tidak ada!!” bentaknya dengan napas naik turun.

Aku menunduk, memperhatikan betapa kotornya jari-jariku akibat main dhelikan, yang akhirnya tidak selesai karena diseret Bapak ke balik tembok tetangga. Padahal waktu itu aku sedang jaga.

“Malah diem wae! Kamu ini main di lapangan saja terus, biar telingamu kopoken kena debu! Diajak ngomong orang tua tidak ngerumangsani! Wis ayo pulang, biar ibumu yang ngurus! Biar kamu punya cita-cita yang bener!”

Toh akhirnya Bapak tidak melanjutkan amarahnya meski kerah kaus oblongku masih ditarik kasar hingga masuk rumah. Bapak hanya marah sewaktu, lalu membiarkan Ibu mengambil alih. Ibu pun tidak melakukan hal-hal yang berarti. Beliau lebih suka meratakan gabah di bawah terik ketimbang memintaku tidak bercita-cita menjadi malaikat. Beliau kapok. Tentu saja tidak ada Ibu yang ingin diabaikan sepanjang celotehan nasihatnya lagi.

Karepe tho. Ibu bicara juga dianggap tukang loak lewat,” gerutu Ibu ketika melihat Bapak menyerahkan aku padanya. Sesuai dugaan, Ibu lebih suka menasihati gabah agar menjadi beras Rajalele yang mahal ketimbang menasihatiku. Beliau tahu, aku lebih suka diam ketika tidak setuju daripada membantah.

Berangkat dari situ, aku meyakini orang tuaku tak mampu menahanku. Semenjak saat itu, tidak ada lagi yang bisa menghalangi jalanku menjadi malaikat. Tidak ada.

***

Hampir saja aku mendapatkan penghargaan Pulitzer. Semacam penghargaan yang diberikan kepada wartawan berdedikasi tinggi, profesional, pandai memotret, dan piawai dalam meliput berita di tengah-tengah konflik sekalipun. Siapa pun tidak akan bisa membayangkan betapa bahagianya aku. Aku hampir berada di puncak tertinggi, impian semua wartawan.

Sekalipun bukan itu misiku. Kau tahu, aku hanya ingin menjadi malaikat. Cita-cita yang tak berubah sejak aku masih bermain kelereng, karambol, dan dhelikan. Cita-cita semustahil membangun seribu candi dalam satu kedipan mata.

Aku tahu ada banyak malaikat yang patut kita ketahui. Dan aku sangat memuja Raqib dan ‘Atid. Dua malaikat pencatat, penulis. Mencatat dan menulis semua hal yang terjadi tanpa menyertakan sensor sedikit pun. Dua malaikat pejihad kebenaran. Dan aku ingin menjadi mereka. Menulis, memperjuangkan kebenaran.

Tahukah, aku hidup pada zaman di mana rekayasa adalah hukum mutlak. Sebuah paradoks yang bila seseorang menggulingkannya meski hanya dengan ujung kuku maka ia akan berakhir di tiang gantungan. Saat-saat di mana polisi dan ABRI bukan lagi pelindung, melainkan sipir penjara raksasa bernama negara. Jaring-jaring kemunafikan seluas nusantara berpusat pada pion utama yang tak bisa dilengserkan meski dengan pemilu terbuka. Pion berbahaya yang tak bisa kusebut namanya itu—yang pada akhirnya ia mati tak lama setelah itu—merupakan orang (yang terpaksa jadi) nomor satu selama berpuluh-puluh tahun.

Dan aku terus menjadi malaikat saat itu. Menuliskan kebenaran demi kebenaran. Dari satu taktik licik hingga jutaan kedok busuk. Mulai dari penggusuran berdarah hanya untuk sebuah waduk hingga pembantaian gerombolan korban fitnah hanya untuk pemulusan pembengkakan anggaran. Aku menulis semuanya. Berita paling valid yang pernah tercetak di media. Data paling detail, sedetail catatan Raqib dan ‘Atid.

Selalu ada berita balasan sehari setelah ketermuatan beritaku. Sebuah data alibi penyerang, seolah membuat berita yang kugarap tak lebih bermakna dari ampas kopi.

Itulah awal mula mereka menyadari ada seorang malaikat muda yang sedang tumbuh di rimba jurnalistik yang pekat; aku. Lalu datanglah malam berhujan itu disertai sebuah ketukan pintu. Malam di saat kupersembahkan senyum termanis—dan terakhir—pada istri yang tengah manja menahan tanganku. Malam yang akhirnya menggugurkan Pulitzer untukku.

“Jangan dibukain, Mas. Terlalu dalu untuk bertamu baik-baik.”

Naif sekali, aku mengabaikan peringatan istriku. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi, aku harus menulisnya. Sekalipun itu hanya tetangga yang meminta bantuan diperbaiki gentingnya seperti biasa.

Tapi aku salah, tidak ada tetangga yang biasanya, malahan ada sebatang besi yang langsung mencuat ketika aku membuka pintu.

Bug! Plak! Duak! Klonthang! Dug! Jduk! Prang!!! Dan sederet bunyi penganiayaan lainnya hingga membuat sekujur tulangku ngilu.

Lalu gelap.

***

Aku tidak ingat ada rumah sakit yang menerima kondisiku saat itu. Kepala berlubang akibat hantaman besi yang bertubi-tubi. Tubuh bonyok sana-sini hingga istriku histeris memanggil-manggil namaku. Sesekali ia memukul-mukul perutku yang terburai seperti mi kelamaan direbus dan mengataiku nakal, tidak mempertimbangkan peringatannya.

Ia tidak tahu aku masih mendengarnya. Aku masih mencatat suaranya sampai saat ini, di dalam kepalaku. Karena tidak lama kemudian aku dibawa ke tempat yang sangat jauh dari kampungku. Terpisah dari istri, anak, dan segala bau-bauan jurnalistik. Hingga akhirnya aku sembuh dan menetap di sana. Tubuhku sudah jenjang seperti dulu. Kepalaku simetris sempurna. Tapi, satu yang kusesali sampai sekarang. Aku bisu dan tidak ada saraf yang bisa menggerakkan jari-jariku untuk menulis. Itu semua karena bagian paling vital di dalam otakku rusak. Aku tidak bisa bicara atau menulis. Tuhan sepertinya memperingatkanku untuk berhenti menjadi malaikat.

Namun, sembilan belas tahun kemudian, aku bersyukur masih bisa ke mana pun yang aku mau. Melihat segala keindahan dunia yang berada jauh, di dasar bumi. Hanya mata orang bisu sepertiku yang bisa melihatnya. Orang-orang melihat keindahan itu hanya seluas bingkai lukisan; rumah mewah, tanah, uang, perhiasan, jabatan…. Justru aku melihat semua itu sebagai mantra hitam. Perusak kebenaran. Ingatkah, aku hampir menjadi malaikat sungguhan. Hampir! Hanya butuh menunaikan satu tugas lagi. Tugas terakhir.

***

Aku terkesiap melihat pasang-pasang mata berkilauan menatapku malam itu. Rasanya terpanggil kembali ke masa muda dulu, saat berulang kali aku diminta menjadi narasumber di pelbagai acara jurnalistik. Aku selalu memberi pencerahan—kata mereka—dengan trik menulis berita sesuai kenyataan, tanpa bumbu fiksi. Mereka segera menanyaiku berbagai hal. Aku bersemangat sekali saat memperkenalkan diri bahwa aku mantan jurnalis yang pernah tinggal di sini. Saking bersemangatnya aku sampai kaget, malam itu—untuk pertama kalinya setelah sembilan belas tahun—aku bisa menulis lagi!

Dengan cepat aku menulis, kegirangan, kesurupan, kesetanan! Sampai-sampai salah satu anak muda yang berada di dekatku menatap ngeri sambil bergumam, “Apa yang Bapak lakukan?!”

Aku tersenyum. Puas sekali rasanya bisa menulis kembali.

Mereka segera mengerubung, membaca tulisanku yang rapi; UDIN, 32 TAHUN, WARTAWAN, PENIKMAT ENTHO-ENTHO. Mereka mengangguk-angguk takjub, sementara aku terus menulis dengan gaya penulisan khas seorang jurnalis.

Kubiarkan mereka mengagumiku sejenak dan menggunakan waktu itu untuk mencomot satu entho-entho dan menghabiskannya dalam sekali lahap. Enak sekali.

“Lalu, kenapa Bapak jalan-jalan tengah malam begini di sini?”

Aku segera menulis lagi. Kali ini lebih pelan. Keajaiban bisa menulis lagi yang sudah lama kurindukan ini, jujur, membuatku sedikit lupa akan misiku ketika pulang ke Jogja.

“ADA TUGAS,” tulisku, lalu berpikir sebentar, “SEBELUM JADI MALAIKAT.”

Aku langsung teringat pada sembilan belas tahun lalu. Tepat di jalan tenggang penuh sawah yang sekarang hanya tinggal sepetak lapangan ini, semua bermula. Aku mendengar istriku tersedu sepanjang malam. Aku hanya bisa melihatnya dengan kondisi sama seperti ini, bisu, kehilangan fungsi saraf. Istriku mengatakan, sisa darahku yang tercecer dilarung ke sungai sebagai alternatif supranatural untuk mengetahui siapa pelaku penganiayaan terhadapku. Toh akhirnya tak ada hasil. Police line dipasang terlambat, seolah memang kasusku sengaja dibiarkan geripis oleh waktu. Banyak pejabat penting yang membuat pengalihan-pengalihan tak bermutu. Rasanya biadab, melihat istriku dibiarkan penasaran oleh insiden ini sementara mereka seenaknya membuat alibi. Aah! Andai aku bisa bicara waktu itu! Akan kukatakan pada istriku! Akan kukatakan apa yang sebenarnya terjadi!

Tanpa sadar aku menulis sambil bergetar, bergoyang, menggeliat, menggelinjang, mengamuk sejadi-jadinya. Mataku memerah.

“Pak, tolong tenang, Pak! Tenang!” Mereka terlihat memohon. Tetapi aku terus menulis sampai kertas yang mereka sediakan tak muat lagi. Aku menulis di tikar, di daun-daun mangga yang berguguran. Aku terus menulis dan menulis. Ini kesempatan terakhirku untuk mengatakan semuanya! Sebelum kembali bisu dan bertangan lumpuh….

“…PENGUASA KALIAN….”

Mereka menahan napas. Aku menggerakkan spidol dengan sangat pelan. Tapi wajah-wajah yang menatapku semakin pucat, pias sekali. Tak lama kemudian tumpukan uang Cina di depanku cepat-cepat dibakar. Asapnya membumbung sampai ke langit. Aku tidak peduli. Aku ingin menulis lebih banyak lagi. Aku ingin menulis sangat banyak! Tapi, hanya butuh satu kata lagi untuk menyelesaikan semuanya.

“…PEMBUNUHKU.”

Mereka terbelalak, lalu terpekik, “Jelangkungnya di luar kendali! Tolong! Tolong!!”

Mereka lenyap di belokan gang tepat saat spidol yang kugenggam terkulai di tikar yang penuh dengan tulisanku. Sebuah artikel penting, sebuah bukti di balik misteri kematianku. Aku menghela napas lega. Tugas terakhirku telah terlaksana. Tugas terakhir untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi sembilan belas tahun lalu pada dunia.

Kemudian aku terbang tinggi ke angkasa. Meninggalkan raga berkepala bathok dan lengan kayu yang disambungkan spidol. Aku kembali bisu, kembali kehilangan fungsi tangan untuk menulis. Tapi aku berhasil menjadi malaikat sungguhan. Memperhatikan semuanya, mencatat segalanya.

Kudus, Januari 2015

*Tulisan ini kudedikasikan sepenuh hati untuk Kang Udin (alm.), seorang wartawan Jogja yang dibunuh tahun 1996 di depan rumahnya.

Shoma Noor Fadlillah
Latest posts by Shoma Noor Fadlillah (see all)

Comments

  1. Muhamad Basori Reply

    sampai merinding baca nya

  2. Tsalis Nur Sholikhah Reply

    Dalam bgt,dr semua cerpen di basa basi,,ini yang paling memikatq

  3. GEMAS Pusat Reply

    Mengalun begitu indah. Saya merinding membacanya

  4. Riswandi Reply

    keren bener!

  5. Rahardian Shandy Reply

    Kelas! Ini yang paling memikat!

  6. kadarwati TA Reply

    cerpen bagus ini terlewat dari pantauanku, jadi baru bisa baca sekarang. tapi keren anget 🙂

  7. Diy ara Reply

    keren! aku pernah denger cerita ini dari dosen tua dari UNS. keren deh!

  8. Ade Ubaidil Reply

    penyampaian yang baik dan mengalir. Mantap mbak Shoma (y)

  9. Rahma Fadhila Reply

    Aliran ceritanya begitu memikat! Keren, Kak!

  10. Torianu Wisnu Reply

    ekskresi yang keren. 2 jempol!

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!