Secara mengejutkan, suatu sore ketika orang-orang Jakarta pulang kerja, ada tiga bidadari turun dari langit, tepat di bangunan tugu Monas. Tiga bidadari itu berbeda rupa satu sama lain: bidadari paling cantik, bidadari biasa, dan bidadari buruk rupa. Tiga bidadari yang telanjang bulat itu bergerak melambai-lambai seperti memperagakan serangkaian perhelatan modelling di catwalk paling mewah. Lentur, semampai, dan melambai syahdu ke tengah kerumunan massa. Mereka melenggang berjalan mengelilingi pelataran bawah tugu Monas. Sekali dua kali mereka bergantian memanjat tiang beton itu. Tangan dan kakinya seperti menyimpan lem, memanjat cekatan pada dinding Monas yang berdiameter 15 meter itu.
“Wow….”
“Uwoowww….”
“Ya, Allah….”
“Subhanallah….”
Orang-orang yang mulai menyemut di taman Monas terkesima dan takjub atas apa yang baru dialaminya.
“Kenapa mereka tidak naik sekalian ke ujung Monas?” tanya salah satu mereka.
“Bukan untuk ambil emas, kaleee. Mereka ngasi pertunjukan pada kite-kite,” timpal yang lain.
“Pertunjukan ape, lu kate?”
“Liat aje sendiri….”
Riuh rendah suara terdengar dari orang-orang yang bertumpuk, berjumlah ribuan itu. Mereka rata-rata makhluk Tuhan berjenis kelamin laki-laki yang sangat berambisi pada sosok bidadari, karena kelak sesudah mati mereka akan masuk surga dan bisa menikmati bidadari sepuas-puasnya. Di antara mereka ada yang mulai diam-diam masturbasi, memasukkan tangan ke dalam celana cingkrang sembari ditutupi dengan tas gendong yang mereka taruh di perut, atau pura-pura menunduk seperti hendak menjumput kerikil dan sejenisnya di tanah. Padahal tangannya kencang mengocok barang binculan di pangkal pahanya.
Menurut kabar yang berseliweran, Tuhan sengaja mengirimkan contoh tiga bidadari untuk dipertunjukkan kepada umat beragama di Jakarta. Tuhan tidak ingin manusia beragama yang gemar menggunakan nama-Nya semakin liar menafsirkan kitab suci. Dia Maha Mengetahui pikiran orang-orang yang beribadah kebanyakan dipenuhi oleh harapan-harapan mendapatkan bidadari di Surga. Tuhan sebenarnya sangat prihatin banyak umat manusia yang salah kaprah dengan ibadah. Pikiran mereka dibebani oleh hal-hal imbalan seperti ganjaran, alih-alih ridha-Nya. Jika nanti mendapatkan bidadari di Surga, umat-umat itu mulai membayangkan pesta seks. Untuk itu, Tuhan merasa sedih jika kebiasaan ibadah seperti itu semakin berkembang dan didakwahkan kepada banyak orang.
Masa lelah-lelah beribadah hanya agar bisa pesta seks bersama para bidadari di Surga? Tuhan kadang merasa geli dan tertawa sendiri.
“Kenapa bidadari-bidadari itu berbeda warna, ya?” tanya yang satu.
“Menurutku agar kita mengerti bahwa nanti di Surga kita bisa memilih sesuai selera. Masa putih semua. Bosen, kaleee,” timpal yang lain.
“Bro, di Surga tidak mengenal rasa bosan.”
“Berarti di Surga kita sudah bukan manusia lagi, ya?”
“Aku ingin yang putih. Karena putih itu cantik.”
“Kalau saya ingin merasakan yang hitam, Bos. Macam si Miriam Chemmoss. Ada tidak, ya?”
“Ada semua, Bos. Surga menyediakan bidadari dengan semua tipe sesuai selera manusia.”
“Kalau bidadari cacat ada tidak?”
“Lho, mereka makhluk sempurna. Apa-apaan Bos ini!”
“Ampun, Bos. Bercanda. Duh, tapi itu lihat ada yang buruk rupa. Saya tak sanggup melihatnya lama-lama.”
“Menurutku, bidadari buruk rupa itu nanti akan menjadi imbalan bagi kita yang ibadahnya tanggung-tanggung.”
“Maksud Anda?” tanya si tubuh tambun di antara mereka.
“Maksudku kualitas ibadah setara dengan hadiah yang Tuhan berikan. Masa hanya karena memenuhi tuntutan wajib beribadah tapi dalam pikirannya masih penuh dengan kebencian dan kedengkian mau disamakan dengan mereka yang melakukan ibadah dengan tulus hanya mengharap rida dari Tuhan? Jelas beda, dong.”
“Itu kata siapa?”
“Kata saya tadi.”
“Dasar! Semuanya cuma berdasarkan pikirannya masing-masing!”
“Ah, sudahlah. Tonton saja mereka mulai bergoyang-goyang.”
Kabar turunnya bidadari di Monas langsung menghentak dan menggetarkan bumi seantero negeri. Orang-orang dari luar Jakarta datang berbirit-birit demi menyaksikan langsung bidadari itu. Mereka datang dengan berbagai cara: ada yang rombongan, dibayarin oleh partai politik, membawa sepeda, bahkan ada yang berjalan kaki.
Asep Budduh adalah di antara mereka yang datang ke Monas dari Ciamis. Dia datang sendirian setelah mendengar liputan live dari semua kanal di tabung televisi 14 inci kesayangannya. Tiga bidadari turun dari langit di Monas, begitulah pesan yang ditangkapnya. Tanpa banyak cincong, Asep langsung menyiapkan bekal perjalanan sekadarnya dengan tas berwarna hitam. Bidadari adalah makhluk yang membuat seluruh tubuhnya bergidik dan pikirannya menerawang tak keruan. Dia berhasrat untuk menjumpai dan—jika mungkin—ingin mengajaknya agar bisa hidup bersamanya. Asep percaya bahwa di negeri ini, di Jakarta, tidak ada seorang pun yang lebih berhak mendapatkan bidadari selain dirinya. Dia juga percaya bahwa bidadari yang dikirimkan Tuhan ke bumi Jakarta adalah hadiah untuk perjuangan dan dakwah yang dijalankannya selama ini. Kegiatan berdakwah dan gerakan memobilisasi umat Islam untuk misi menjaga agama Tuhan telah dilakukannya secara berjilid-jilid. Dia selalu menjadi koordinator lapangan ketika berdemo atas nama Tuhan. Suaranya yang lantang, kasar, dan bahkan tengik dipercaya oleh kelompoknya sebagai tukang orasi, karena dengan satu teriakan saja orang-orang yang mendengarnya langsung keder. Urat lehernya seperti disepuh petir.
Di Monas, Asep terperangah dan nyaris tidak percaya menyaksikan jutaan orang saling menghimpit. Jangan-jangan mereka juga ingin mendapatkan bidadari, pikir Asep. Ah! Asep tak peduli. Dia beringsut ke arah paling depan sembari menutup kedua telinganya di tengah suara teriakan dan gemuruh. Matanya dipasang lurus ke sebuah tugu beton berwarna putih itu. Meski sebentar lagi akan sampai di garis paling depan, Asep belum bisa melihat sosok bidadari itu. Langkah Asep dipasang kuat-kuat menerobos kerumunan ke arah patung monumen yang dibangun oleh Panglima Besar Bapak Republik Soekarno itu. Ketika sudah mendekati Monas, sekitar 100 meter dari tiang beton berwarna putih itu, Asep melihat wajah orang-orang di mana bola matanya seperti menancap pada tugu Monas. Asep ikut melotot mengarahkan pandangan matanya.
“Wow, tubuhnya bidadari yang itu….”
“Kalau begini mah, pengen cepat mati dan masuk Surga….”
“Tobat… tobat… tobat ya, Allah.”
“Tapi na’udzubillah tidak mau pada si buruk rupa itu.”
Suara-suara itu terus mengombak di gendang telinganya. Asep sekali lagi memasang awas pandangannya tepat ke arah orang-orang menancapkan arah matanya. Tapi dia sama sekali tidak melihat apa pun di pelataran Monas itu. Dia tidak menemukan makhluk apa pun di sana selain beton berwarna putih. Dia coba mengusap matanya untuk memastikan tidak sedang mengalami gangguan penglihatan.
Asep kemudian menyisir dan memutari Monas. Dia curiga objek yang dilihat jutaan orang itu sedang berada di sebaliknya. Sembari memutar, matanya nyaris tidak pernah berkedip menatap beton monumen itu. Asep rela bertubrukan dengan orang-orang yang semakin antusias, menyedot bau tengik tubuh-tubuh yang digoreng panas matahari.
Setelah sempurna kembali ke posisi semula dan belum menemukan seonggok makhluk apa\pun di beton itu, Asep mencoba membuka obrolan dengan seorang lelaki tua, “Bapak, bidadarinya masih ada?”
Bapak yang dimaksud menatap Asep dengan wajah aneh. “Masih ada, tuh. Ga liat apa? Coba buka surbanmu biar bisa lihat.”
Asep menahan diri. Dia tidak melanjutkan obrolannya. Muka Bapak tadi terasa sangar dan tidak enak ditatap. Asep bergeser beberapa langkah ke belakang untuk menghindari wajahnya. Setelah memastikan menjauh, dia pelan-pelan melepas surban yang melilit dan bergelantungan di kepalanya. Kepalanya menunduk, berharap setelah surban dilepas dia bisa melihat bidadari yang konon berjumlah tiga.
Deg! Jantungnya terkesiap bukan main ketika matanya kembali melihat beton putih Monas. Kosong. Tak ada makhluk apa pun di sana, alih-alih bidadari!
“Ya, Allah. Cabutlah nyawaku. HambaMu ini ingin hidup di Surga bersama para kekasihMu.”
“Apakah ada jalan pintas menuju Surga?”
“Sudah muak atas semua tetek bengek hidup ini. Aku ingin cepat ke Surga dan bertemu dengan bidadari-bidadari cantik nan aduhai.”
Telinga Asep semakin tak tahan mendengar lenguhan dan teriakan orang-orang yang menyemut di sana.
“Salah satu nikmat yang ada dalam Surga adalah pesta seks. Minta maaf karena inilah yang kita tahan-tahan di dunia dan kenikmatan terbesar yang diberikan Allah Swt. di Surga adalah pesta seks. Kenapa ini? Karena ini yang disuruh tahan di dunia oleh laki-laki,”[i] ujar salah satu dari mereka.
Rasa penasaran Asep semakin memuncak. Dia bergeser ke tengah kerumunan yang dipenuhi oleh sekelompok ibu-ibu. “Maaf, apa bidadarinya masih ada, Ibu?” tanya Asep.
“Jangan pakai mata mesum lihatnya. Buka jubahmu itu!” jawab salah satu dari mereka dengan suara lantang.
Amarah Asep tiba-tiba mencuat mendengar sambaran Ibu tadi. Tapi dia cepat-cepat mundur menjauh. Dia tidak percaya yang dikatakan ibu-ibu itu. Asep membiarkan jubah putih yang membungkus dirinya melekat di tubuhnya. Cukup surban saja yang dilepas. Di sebelah kanan sekitar empat meter, Asep melihat satu keluarga dengan seorang remaja usia belasan tahun yang juga ikut dalam keramaian itu.
“Maaf, Bapak-Ibu. Apakah bidadari masih ada?” kata Asep sembari menunjuk ke arah Monas.
Bapak dan Ibu itu termangu melihat wajah Asep. Muka mereka tampak lemas sekali.
“Memang apa yang Anda lihat, anak muda?” si Bapak balik bertanya.
“Saya bertanya apakah Bapak dan Ibu melihat bidadari?”
“Orang aneh!” ujar mereka berdua sembari membuang muka.
Asep melongo kosong. Pikirannya dihantui keanehan demi keanehan orang-orang yang ditemuinya. Tapi Asep belum kehilangan akal. Kali ini dia memperhatikan secara lekat dua orang lelaki muda yang ada di sampingnya. Dia mendengarkan dengan saksama obrolan yang keluar dari mulut mereka berdua.
“Ajaib ada bidadari turun ke dunia.”
“Aku tak ingin bidadari. Aku ingin kamu yang jadi bidadariku.”
“Di Surga semuanya tinggal minta, Sayang. Tenang aja.”
“Aku ingin minta bidadara-bidadara, termasuk kamu di sana. Masa bidadari cuma berjenis kelamin perempuan!”
“Pasti ada bidadara. Tenang saja.”
Bulu mata Asep bergerak tak keruan mendengar obrolan mereka. Tangan Asep bergetar ingin menghantam muka pasangan itu. Tapi dia tahan dan masih coba bersabar, sembari berteriak “Sinting!” dan berpindah posisi.
Pikiran Asep semakin kacau. Dia lalu memutuskan meloncat melewati kerumunan orang-orang menuju bangunan Monas. Asep seperti kesetanan memanjat bangunan tugu Monas. Suara teriakan dan panggilan orang-orang yang menyaksikan aksi nekat itu terus bergelombang bagai suara keributan massal. Menyaksikan Asep menaiki beton ke pelataran bawah monumen itu, orang-orang belingsatan, antara penasaran, takut, dan kecewa.
“Jangan-jangan ia akan merebut bidadari cantik itu!”
“Kok berani anak muda itu.”
“Mesum, paling. Ga tahanan.”
“Tapi lihat bidadari yang buruk rupa itu. Menjijikkan sungguh!”
“Cukuplah bagiku melihat dari jauh untuk tahu kecantikan makhluk surgawi yang satu itu. Tapi na’udzubillah semoga tidak pernah dipertemukan dengan bidadari si buruk rupa.”
Obrolan mereka menguap begitu saja sembari melihat gerakan gesit Asep yang sudah berdiri di pelataran bawah Monas dengan tas hitam yang digendongnya. Tanpa banyak basa-basi dan memperhatikan orang-orang di sekitar, dia langsung mengeluarkan toa dari tasnya. Dengan berlagak seorang juru kampanye yang hebat, Asep mulai berteriak-teriak memutari bangunan Monas dengan alat pengeras suara berwarna hitam yang biasa dipakainya ketika demonstrasi.
“Saudara-saudara sekalian. Beberapa bulan silam, mungkin sebagian kalian juga datang ke sini untuk mengadili pendusta al-Qur’an dan penghina ulama. Saya di sini bersama kalian, umat Islam yang dijanjikan Surga oleh Allah. Mari saudara-saudara, bertakwalah kepada Allah, menjaga nama baikNya dan mengawal syariat Islam yang diturunkan kepada kita hingga tetes darah terakhir. Gantung orang-orang yang melecehkan agama! Menghina al-Qur’an atau melecehkan Nabi kita!” Suaranya tertahan sebentar.
“Takbiiiiiirrrrrr…!” lanjutnya dengan urat lehernya yang nyaris putus.
“Takbiiiiiiirrr…!”
“Takbiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiirrr!!!”
Sementara massa di bawah terdiam. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut jutaan orang yang menyemut di sana. Asep melongo. Aneh. Dia merasa seperti berhadapan dengan tumpukan mayat. Dia tidak menemukan suasana dan spirit demo yang berkali-kali dipimpinnya di tempat yang sama beberapa bulan silam.
Kerumunan itu masih tanpa suara. Sekali lagi Asep coba meneriakkan ajakan takbir. Tapi tiba-tiba mereka berteriak histeris, berlari berhamburan meninggalkan Monas. Sebelum berlari luntang-lantung, mereka sempat melihat dua bidadari terbang ke langit dan satu bidadari buruk rupa memeluk Asep dari belakang. Bidadari buruk rupa itu seperti kesurupan menciumi seluruh tubuh Asep. Orang-orang tidak tahan melihat mereka berdua. Memuakkan. Wajah Asep tiba-tiba menyeramkan dan menjelma seperti makhluk paling menjijikkan—buruk rupa seperti satu bidadari itu.
Lalu, dari tubuh mereka berdua berhamburan lintah dan kecoa.
“Setan, setan, setan!”
“Menjijikkan!”
“Busuuukkkk!”
Asep mendengar jelas suara-suara aneh yang mereka teriakkan. Sementara itu, Asep masih tetap tidak merasakan dan melihat apa pun di pelataran Monas, alih-alih bidadari. Dia merasa semakin aneh melihat orang-orang berlari berhamburan meninggalkannya.
Di tengah massa yang kalang kabut berlarian itu, langit mulai mendung di Jakarta, dan sebentar lagi dikabarkan akan terjadi hujan deras. Sementara Asep melangkah gontai dengan pikiran aneh, meninggalkan Monas dengan bidadari buruk rupa yang merangkulnya dari belakang….
(Jakarta-Jogja, 2016-2017)
[i] Adalah sebuah cuplikan pidato yang konon membikin kontroversi di Indonesia.
- Muna Mencari Surga - 4 December 2020
- Potensi Menjual Karya Sastra Kita - 18 July 2019
- Sajak-Sajak TerjemahanKarya Nazim Hikmet - 2 October 2018
Anonymous
👍👍